Halaman

Minggu, 31 Januari 2016

modus operandi dan perilaku menyimpang pelaku politik Nusantara

modus operandi dan perilaku menyimpang pelaku politik Nusantara

Lema di kamus politik Indonesia seolah tiap hari bertambah. Antar parpol tak mau kalah, saling berlomba menambah unsur politik. Lepas dari konotasi atau stigma yang memaknainya. Kawanan parpolis, mulai dari oknum ketua umum sampai strata, kasta, status terbawah, mempunyai andil sebagai penyumbang khazanah kata politik. Minimal mencari bentuk kata lainnya atau semakin memperkuatkan terjemahan bebasnya.

Media massa menjadi katalisator, betul-betul sebagai media cerdas menyampaikan, menayangkan secara intensif modus operandi dan perilaku pelaku politik. Agaknya, mendekati pasti dan nyata, demi kejar peringkat dan pesan sponsor, biasanya yang diberitakan, dikabarkan adalah berita/kabar sampah. Namun dikemas secara atraktif, provokatif dan spektakuler. Prestasi politik atau memang sudah kewajiban insan parpol, selalu luput dari uberan awak media.

Ironis, karakter media massa bak pisau bermata dua, karena melakukan dua peran yang kontradiktif sekaligus, yaitu menjilat sekaligus menghujat. Antara judul dengan isi, terkadang tidak nyambung, terkesan ditulis asal-asalan. Kejar jam tayang dan cetak.

Yang saya terakan di bawah ini bukan contoh, saya comot dan cuplik dari laman http://www.indonesiaberprestasi.top/ :
“Kaget Setengah Mati, Era Jokowi Militer Indonesia Tempati Posisi 12 Dunia...”
Indonesia Berprestasi, Top
. . . . . . . .
Situs ini bernama Global Fire Power (www.globalfirepower.com), dimana penilaian peringkat militer dinilai bukan hanya sekedar dari berapa banyak alutsista yang dimiliki, melainkan juga melalui penilaian cadangan energi, modernisasi, kesehatan ekonomi sebuah negara, kemampuan Naval (AL) yang mumpuni, dengan pengecualian terhadap situasi politik suatu negara yang tidak masuk kategori penilaian rating. 
. . . . . . . .
Dengan kata lain,  kekuatan politik dalam negeri suatu negara bukan tolok ukur atau gambaran sesungguhnya kekuatan negera tersebut.

Di Indonesia, lema kamus politik yang sedang naik daun, menjadi peringkat utama bahan pergunjingan, menjadi maskot media massa adalah mégatéga, mégakasus; tumpuan bodong, tumpuan abal-abal, tumpuan kw. Ingat lawak Srimulat, ketika ada pemain tiban, cuma diam. Saat dapat jatah ngomong, dikomentari yang lain : “Ngomong ora ngomong bayarané podo. Ngomong sepisan kliru. Wis ora lucu digeguyu déwé.”

Gonjang-ganjing politik yang dialami oleh parpol berpengalaman di zaman Orde Baru, semakin membuktikan bahwa yang berlaku adalah politik kekuasaan. Keberhasilan meraih cita-cita parpol diutamakan atau dibuktikan dengan mensejahterakan diri sendiri, baru kemudian di periode berikutnya memikirkan nasib rakyat. [HaeN]

Laksanakan Perkara Sunnah Jangan Setengah-Setengah

Laksanakan Perkara Sunnah Jangan Setengah-Setengah

Masih terjadi anggapan, asumsi oleh umat Islam, bahwa Sunnah sebagai salah satu dari lima dari hukum Islam, diartikan sebagai kalau dilaksanakan berpahala, kalau tidak dilkerjakan tidak apa-apa, tepatnya tidak berdosa. Pemahaman terhadap hakikat Sunnah, sejak saya belajar saat Sekolah Rakyat, sekarang Sekolah Dasar, tidak terjadi pergeseran, pengembangan makna secara substansi maupun redaksi. Memang, perjalanan hidup manusia dan dampak perbuatan manusia d dunia, di antara dua tarikan kutub berlawanan yaitu pahala dan dosa. Frasa ‘tidak apa-apa’ terlebih frasa ‘tidak berdosa’ dianggap sebagai nilai tawar yang fleksibel. Bersyukur sudah mau dan bisa mengerjakannya, kalau tidak, merasa tidak ada dampak dosanya. Bahasa kasarnya, untung masih mau mengerjakannya.

Selama di dunia, umat Islam berjibaku mencari tiket dan kendaraan kembali ke tempat asal nabi Adam a.s dan Siti Hawa diciptakan oleh Allah, di surga atau sebutan lainnya. Kontrak religi umat Islam dengan Allah berbasis dimensi taat adalah melaksanakan semua perintah-Nya secara total sekaligus serta menjauhi segala larangan-Nya dengan sekuat tenaga. Menyoal hubungan antara bentuk perintah-Nya dan larangan-Nya, beberapa sumber dan ahli sepakat ada yang pasti dan ada juga yang tidak pasti. Artinya, bentuk tuntutan yang mengandung konsekuensi hukum untuk dikerjakan disebut perintah (amar). Sedangkan tuntutan yang mengandung konsekuensi hukum untuk ditinggalkan disebut larangan (nahyi), serta yang boleh ditinggalkan dan boleh dikerjakan disebut ibaha. Islam menegaskan :
Jika perintah-Nya berbentuk pasti maka disebut wajib, dan kalau perintah-Nya tidak pasti disebut mandub (sunnah).
Demikian juga dengan larangan-Nya. Apabila larangan-Nya  berbentuk pasti maka disebut haram, dan bila tidak pasti disebut makruh.

Adapun yang dimaksud takhyir (pilihan) adalah hukum mubah. Dengan demikian hukum takhlifi yang digunakan terbagi menjadi lima yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.

Ketika struktur kehidupan ini sudah dibingkai dengan waktu, kita harus cerdas menggunakan mana yang wajib, mana yang haram, sekaligus juga pandai dan pandai-pandai menerapkan secara tepat mana yang masuk kategori sunnah, makruh dam mubah.

Contoh nyata adalah sholat Dhuha. Ada yang menegakkan sholat Dhuha memang cukup sehari sekali karena batasan waktu, itupun dalam batas semampunya, sebisanya, ala kadarnya, minimalis, cukup dua roka’at. Tidak mau berlebihan. Atau jika ‘berlebihan’ dilakukan seminggu sekali, bisa sampai 12 roka’at, diborong dalam satu waktu. Sisanya bisa untuk kegiatan lainnya. Ironis, melakukan sholat fardhu masih diracuni niat karena untuk memnggugurkan kewajiban. Yang penting sudah dilaksanakan, soal apakah sudah sesuai dengan rukunnya, adabnya, atau SOP-nya, urusan belakang.

Padahal, jika kita kupas lebih dalam, kedudukan Sunnah bisa berbatasan langsung dengan Wajib. Kedudukan sholat Tahajud sebagai sunnah mu'akkad yaitu perkara sunnah yang sangat dianjurkan nabi Muhammad SAW. Sholat sunnah bisa menambal sholat fardhu yang bolong-bolong, mampu menyempurnakan sholat fardhu yang mungkin kita kurang khusyuk menegakkannya. Termasuk jika kita memahami keutamaan sholat sunnah Rawatib.

Singkat kata, secara substansi dan redaksi, batasan Sunnah kita maknai sebagai perkara jika diniatkan dan dikerjakan karena Allah, akan mendapat pahala, sedangkan jika tidak dikerjakan memang tidak berdosa, tetapi kita akan rugi.  Merugi secara sadar dan menerus. Memang dalam melaksanakan ibadah, tidak boleh pakai hitung-hitungan. Ibarat memakai prinsip ekonomi, sudah disediakan gratis oleh  Allah, kenapa tidak kita ambil, tidak kita manfaatkan. Sunnah bagaikan kesempatan dan peluang emas yang selalu disodorkan Allah kepada kita, bahkan diramu khusus buat hamba-Nya. Terlebih mengingat dahsyatnya kemanfaatan Sunnah. Minimal, fungsi Sunnah bisa kita posisikan sebagai suplemen, pelengkap yang menyempurnakan nilai ibadah wajib. [HaeN] 

Sabtu, 30 Januari 2016

drama politik “PPP Dukung Pemerintah tanpa Syarat” vs rakyat dukung Pemerintah atau Parpol

drama politik “PPP Dukung Pemerintah tanpa Syarat” vs rakyat dukung Pemerintah atau Parpol


KOCAP KACARITA
Dikisahkan oleh REPUBLIKA.CO.ID, Jumat, 29 Januari 2016, 19:35 WIB, JAKARTA -- Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang digelar di Puncak, Bogor, Jumat (29/1), akan dibawa ke Mukernas Jakarta mendatang.

Ada tujuh poin yang dibahas di Rapimnas dan menjadi keputusan.

“Yang pertama adalah terkait fatwa Mbah Maimun, Ketua Majelis Pakar (PPP),” kata Sekjen PPP Dimyati Natakusumah kepada wartawan.

Yang kedua, kata dia, keputusan PPP untuk bergabung dengan Koalisi Parpol Pendukung Pemerintah tanpa syarat.

Ketiga, adalah kesepakatan soal koalisi permanen dalam menghadapi pilkada serentak 2017 dengan PDIP.

Sementara yang keempat adalah, rapimnas ini akan ditindaklanjuti dengan mukernas II di Jakarta.

Kelima, merangkul pihak pengurus Muktamar PPP Surabaya versi Romahurmuziy (Rommy).

Keenam, lanjut dia, setiap pengurus PPP se-Indonesia agar memasang bendera partai di depan rumah masing-masing.
"Terakhir pembaharuan SK-SK DPC dan DPW seluruh Indonesia dibentuk tim lanjutan, dan lain-lain yang nanti akan dibahas pada rapat lanjutan,” kata Dimyati.

Dia mengatakan, PPP di bawah kepengurusan Djan Faridz tidak pernah menandatangani kontrak politik dengan koalisi mana pun, termasuk Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH).

“Kalau yang kontrak politik dengan KMP kan PPP di bawah kepemimpinan Ketum Suryadharma Ali (SDA) dan Sekjen Romahurmuziy (Romi). Mereka yang menandatangani kontrak itu. Kalau kita, baru kali ini kita mendukung Koalisi Partai Pendukung Pemerintah,” ujar Dimyati.

KOCAR-KACIR
Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Apa yang dimaksud dengan ‘rakyat’? Iseng saya buka Kamus Tesaurus Pusat Bahasa, Depdiknas 2008, ternyata ada lawan kata (ant=antonim) dari kata ‘rakyat’, yaitu :
priayi n adiwangsa, aristokrat, bangsawan, darah biru, menak, ningrat, permasan; ant rakyat.

Apakah, akankah, mungkinkah yang disebut darah biru zaman pasca Reformasi adalah kawanan parpolis! Yang notabene merupakan kebalikan dari rakyat.

Jangan berkecil hati kawan, di lema berikutnya terdapat kesamaan makna :
kawula n 1 abdi, babu (cak), budak, bujang, jongos, kacung, pelayan, pembantu, pesuruh, sahaya; 2 barisan, massa, pengikut, orang biasa, rakyat.

Di zaman Orde Lama, kata ‘rakyat’ menjadi andalan politik. Bahkan malah diagungkan atau diterpurukan menjadi ada kasta ‘rakyat jelata’. Kamus tesaurus menjelaskan :
klas  atas papan atas, superior;
klas  bawah 1 inferior, papan bawah; 2 kelas pekerja, proletariat, rakyat jelata.
proletariat n kaum buruh, kaum marhaen, kaum murba, kelas bawah, kelas pekerja, rakyat biasa, rakyat jelata, rakyat kebanyakan.

Ingat Bung Karno dengan ajarannya Marhaenisme, kamus juga menjelaskan :
marhaen a hina, jelata, murba, rakyat, rendah.

Mungkin, yang agak melegakan pembaca, kamus memposisikan rakyat sebagai :
masyarakat n asosiasi, bangsa, kekerabatan, kelompok, klub, komunitas, konsorsium, mahajana, nasion, paguyuban, populasi, puak, publik, rakyat, umum;
populasi n komunitas, masyarakat, penduduk, rakyat, warga.
publik 1 n jemaah, khalayak, komunitas, mahajana, massa, masyarakat, orang banyak, rakyat; 2 a awam, sipil; 3 a komunal, terbuka, umum ant privat.
warga negara n bangsa, masyarakat, orang, penduduk, rakyat;

Jangan lupa, kamus tadi menjelaskan makna ‘rakyat’ dalam lema :
rakyat n anak buah, bala tentara, kaum, orang biasa, orang kebanyakan, orang bawahan, warganegara;
-- biasa proletariat, rakyat jelata, rakyat kebanyakan, wong cilik;
-- jelata kaum kromo, kaum marhaen, kaum murba, kaum rendah, orang bawahan, rakyat biasa, rakyat gembel, rakyat kebanyakan, rakyat marhaen, rakyat murba;
kerakyatan n kewarganegaraan;

Selain kamus tadi, saya coba buka produk hukum yang menjelaskan makna ‘rakyat’, antara lain :

Pertama. UU 56/1999 tentang Rakyat Terlatih, menjelaskan :
Rakyat Terlatih adalah komponen dasar kekuatan pertahanan keamanan negara yang mampu melaksanakan fungsi ketertiban umum, perlindungan rakyat, keamanan rakyat, dan perlawanan rakyat dalam rangka penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.

Kedua. UU 12/2006 tentang Kewaganegaraan Republik Indonesia, menjelaskan :
Warga Negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Ketiga. UU 52/2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, menjelaskan :
Penduduk adalah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.
Yang dimaksud dengan “masyarakat” adalah lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi dan swasta.

Keempat. Permendagri 7/2007 tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat , menjelaskan :
Swadaya masyarakat adalah bantuan atau sumbangan dari masyarakat baik dalam bentuk uang, material dan non fisik dalam bentuk tenaga dan pemikiran dalam kegiatan pembangunan.
Gotong royong masyarakat adalah kegiatan kerjasama masyarakat dalam berbagai bidang pembangunan yang diarahkan pada penguatan persatuan dan kesatuan masyarakat serta peningkatan peran aktif masyarakat dalam pembangunan.
Partisipasi masyarakat adalah peran aktif masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pembiayaan, pemanfaatan, pemeliharaan dan pengembangan hasil pembangunan.

Jadi dimana posisi, status, kasta pembaca? [HaeN]

Jumat, 29 Januari 2016

Jebakan Pasar Bebas Dalam Negeri

Jebakan Pasar Bebas Dalam Negeri

Tidak hanya kenaikan harga kebutuhan pokok atau sembako yang menghantui konsumen. Kebutuhan pokok untuk pangan atau sembako mendadak langka atau bahkan hilang di pasaran; makanan/minuman mengandung bahan pengawet, pewarna dan perasa berbahaya; bercampurnya bahan haram dalam makanan halal cukup meresahkan masyarakat.

Di tingkat internasional, modus operandi pelaku ekonomi dari negara adidaya, kaya/maju atau badan dunia adalah berusaha untuk memperlancar lalu lintas perdagangan antara negara tanpa hambatan. Bahan baku olahan negerinya maupun perusahaan bisa bergerak bebas dalam mencari pasaran dan tenaga kerja yang upah minimum lebih murah, aman, bebas intervensi. Semua ini berdasarkan asas meraih untung optimal dengan modal minimalis.

Di dalam negeri, tata niaga atau rentang antara produsen (misal : petani) dengan konsumen atau pengguna/pemanfaat akhir sering harus meliwati mata rantai bak lingkaran setan. “Setan” yang selama ini dikenal sebagai tengkulak, spekulan, penimbun, rente, dan profesi sejenis. Di lapangan, di pasar, siapa yang bisa mengawasi dan mengendalikan harga pasar? Tugas dan fungsi Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) bisa ditingkatkan sebagai pengawas dan pengendali harga kebutuhan pokok.

Ingat peribahasa “Kerbau punya susu, sapi punya nama” berlaku pada sistem ketahanan pangan era jokowi-JK yang mengandalkan poros maritim. Petani mandi keringat, peras keringat, pelaku ekonomi Nusantara terangkat jadi konglomerat. Petani berjibaku, bergulat melawan lumpur, pelaku ekonomi Nusantara bertambah makmur. Ironis, pelaku ekonomi Nasional mampu mengendalikan dan mengontrol kebijakan Pemerintah.

Jujur saja, semua masalah berpulang pada ‘pengetahuan’ konsumen. Konsumen tidak sekedar mengikuti panggilan kebutuhan isi perut saja, harus arif cerdas, harus bijak mengantisipasi kebutuhan pokok yang dibutuhkan secara bersamaan. Kebutuhan sehari-hari dilaksanakan secara linier dalam satu tahun, dimungkinkan tidak ada permintaan/kebutuhan yang melonjak. Konsumen harus bisa menahan diri, tidak konsumtif, walau jelang hari raya keagamaan, pergantian tahun. [HaeN]

Kamis, 28 Januari 2016

Kasus Century, semakin dipolitisir semakin mubazir

Kasus Century, semakin dipolitisir semakin mubazir

Kasus perbankan Century, pendekatan yang dipakai selama ini adalah pendekatan politik. Memakai kacamata politik. Fokus bukan pada penyebab, atau kasus hulunya, tetapi lebih mengarah kemana aliran dana haram, pihak mana saja yang menerima, kemanfaatan dana haram untuk apa saja.

Selama ini jika suatu kasus dipolitisir, ibarat menegakkan benang basah, semakin diusut, semakin kusut. Semakin diungkit, semakin banyak nama baru terkait. Semakin dipolitisir semakin mubazir, biaya penyelidikan/penyidikan bisa menelan biaya yang tak beda jauh dengan dana haramnya. [HaeN] 14/03/2013

semakin uber urusan dunia, urusan akhirat semakin mendekat

semakin uber urusan dunia, urusan akhirat semakin mendekat

Sebagai pembuka, saya ajak pembaca memanfaatkan waktu luangnya sambil menyimak makna [QS Alam Nasyrah  (94) : 7] : “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain,”. Bisa juga dimaknai apabila kamu telah selesai mengerjakan urusan dunia maka kerjakanlah urusan akhirat.

Jangan diartikan bahwa ada batas, sekat, beda bagi waktu antara urusan dunia dengan urusan akhirat. Tak heran ada yang mengatakan untuk urusan akhirat, nanti setelah tua, setelah memasuki pensiun, atau kalau dikerjakan dalam skala harian nanti kalau ada waktu luang. Wajar kalau manusia ingin bersegera bisa berhubungan dengan orang lain untuk berbagai kepentingan dunianya. Ingin urusan cepat selesai, tidak makan waktu.

Akankah urusan dunia bisa dikerjakan secara paralel dengan urusan akhirat? Justru karena Allah-lah kita berbuat di muka bumi ini. Apapun yang kita lakukan semampu kita, secara loyal dan total, adalah ikhtiar melaksanakan perintah-Nya. Apapun yang tidak kita lakukan, kita hindari dengan sekuat upaya, sebagai wujud nyata menjauhi segala larangan Allah.

Masih ingatkah kita akan cuplikan sunnah Rasul, maknanya jika kita mendekat kepada Allah sejengkal, maka Allah akan mendekati kita  sehasta. Andai kita mendekat kepada Allah sehasta, maka Allah akan mendekati kita  satu depa. Kalau kita mendatangi Allah dengan berjalan, maka Allah akan mendatangi kita dengan berlari.

Naluri bisnis yang menjadikan kita sibuk urusan dunia, seolah melupakan, menjauh, mengingkari urusan akhirat. Bagaimana reaksi dan respon Allah. Sifat Maha Pemurah, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Allah tidak menjauh dari diri kita. Allah tetap menggelontorkan rezeki-Nya kepada siapa saja yang sibuk berusaha. Cuma kita lupa diri bahwa nikmat dunia adalah ujian mencari tiket masuk surga.

Tata pikir, olah akal, sistem logika, kadar nalar yang ada di benak, otak kita, bisa-bisa bisa mencelakakan diri sendiri. Kita merasa tertuntun, terbimbing, terarah, padahal melenakan kita untuk melangkah atau mencampuradukkan antara hukum Allah dengan hukum buatan manusia. Karena usia/umur, atau faktor tertentu, hukum Allah berlaku kepada kita. Begitu kita melangkah, saldo amal bertambah sekaligus argo dosa bergerak sesuai jarak dan waktu tempuh.

Banyak yang merasa suskes dunia berkat kerja kerasnya. Mengira akibat daya juang tak kenal waktu, tak kenal lelah, tak kenal mana kawan mana lawan bisa meraih prestasi duniawi. Menduga keberaniannya berjibaku, mengarungi waktu dan bertarung melawan waktu “sekedar melaksanakan perintah Allah” berbuah manis. Menyangka dunia ada di tangannya dan tak terkuras sampai tujuh turunan.

Pembaca yang budiman, yang arif, atau apapun gelarnya, sebelum menjauh masuk ketulisan ini, ada bagusnya kita tengok [QS At Taubah  (9) : 38] : “Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: "Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah" kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit.

Firman dan peringatan Allah mungkinkah kita bisa, sudah atau belum merasa puas dengan kehidupan dunia.

Jujur saja, orang yang matian-matian mengejar dunia, bahkan sampai mati betulan, hakikatnya hanyalah mengambil jatah yang sudah ditetapkan Allah. Meraih hasil yang sudah menjadi hak prerogratif Allah. Utawa mengejar, mewujudkan angan-angan, mimpi, liwat jalur apa saja, yang pasti akan sampai ke pemiliknya, tanpa ditunda waktu dan dikurangi sedikitpun. Oleh karena itu, apa pun yang kita perbuat tidak akan mempengaruhi jatah yang telah ditentukan Allah untuk kita. [HaeN]

Rabu, 27 Januari 2016

saat rakyat menggeliat

SAAT RAKYAT MENGGELIAT
Kamis, 20/02/2003 08:16

KOBARKAN SEMANGAT "AA GYM" : SAAT RAKYAT MENGGELIAT

Alkisah sejarah NKRI dihiasi dengan berbagai "keuntungan" dalam hidup bermasyarakat. Beberapa peristiwa dan kejadian dari yang mulai sulit diterima cerna oleh akal sehat sampai pada hasil dari akal-akalan produk rekayasa tingkat tinggi, yang hanya bisa dinalar oleh akal yang sedang sehat-sehatnya. Banyak peristiwa dan kejadian yang masuk kategori "tidak diramalkan sebelumnya" justru sanggup meledak dan menggoncang kemapanan nasional.

Ada dua contoh yang mewakili jender di awal 2003, yaitu kasus lelaki mengunyah rebusan mayat manusia dan dari sosok perempuan dengan tenarnya gaya goyang ngebor versi ndangdut jalanan yang masuk dapur rekaman. Ketenaran ke dua makhluk dari dua jenis ini jelas mengungguli ketenaran Bom Bhayangkari - bahkan melangkahi ketenaran kinerja wakil rakyat. Sebagai sesama makhluk sejenis diharap agar RI 1 tidak merasa njomplang ketenarannya atau merasa akan digoyang kursi panasnya. Apalagi beda modal untuk tenar. Banyak kiat dan cara yang dijadikan acuan oleh rakyat untuk menyuarakan hati nuraninya. Acara jemur diri di alon-alon lor Yogya tempo doeloe sampai unjuk raga di jalanan sebagai salah satu upaya menyampaikan uneg-uneg, bahkan lebih dari itu.

Celakanya, berbagai unjuk raga dan sambung suara bisa dipolitisir oleh penguasa negara atau dijadikan komoditas politik dengan mengatasnamakan rakyat yang biasa dilakukan oleh oknum yang ambisius. Sejarah mencatat pula bahwa geliat rakyat, dari arah tak terduga, bisa membakar jenggot para penguasa negara. Kendati sudah ada rumusan demokrasi, kedaulatan di tangan rakyat, akan tetap kalah kuat dan kuasa dibanding jargon-jargon pemegang penyelenggara kedaulatan rakyat. PR besar di era Reformasi kini adalah suara rakyat yang selama Orde Baru terbekap dan terbungkam secara sistematis belum diposisikan secara benar dan wajar. Wakil rakyat hanya menyuarakan kepentingan partai, itupun atas dasar titipan dan pesanan. Dari sisi rakyat sendiri memang terjadi pengkotak-kotakan. Ada yang bisa potong kompas untuk "bersuara", misal sebagai kandidat calon gubernur DKI atau beberapa kasus ganti untung atas pembebasan tanah milik rakyat demi pembangunan Orde Baru. Nasib yang tak berubah dimiliki rakyat yang petani, dari masalah irigasi, pupuk, bibit, pola tanam masih tetap menjebak mereka dalam lumpur kemiskinan.


Mendingan kaum buruh, ada yang mempolitisir sehingga ada oknum politisi yang mengorbit. Pemerintah sudah baik hati dengan menetapkan upah minimum berdasarkan lokasi geografis. Bukanlah bangsa Indonesia kalau tidak aji mumpung. Parpol yang mengatasnamakan rakyat kecil dengan mudah membumi. Tak kalah gampangnya ketika ingin melangit secara duniawi. Jika dihitung bila seorang rakyat iuran Rp 1.000,00 (seribu rupiah) per bulan untuk wakilnya di DPR, wajar kalau seorang wakil rakyat di DPR akan mendapat bonus besar. Main hakim sendiri di jalanan yang membakar penjahat jalanan, yang kepergok dan ketangkap basah, sebagai ciri geliat rakyat atas ketidakperdulian aparat keamanan. Atau sebagai ungkapan ketidakberdayaan menghadapi penjahat berdasi. Siapa yang tidak berdaya? (hn). 

wacana politik vs wacana rakyat

wacana politik vs wacana rakyat
Selasa, 28/08/2007 08:42
wacana politik vs wacana rakyat

tidak semua babakan kehidupan bisa dipelintir apalagi dipolitisir.
tidak semua kejadian patut ditayangkan sebagai ajang gengsi percaturan politik tingkat nasional.
tidak semua peristiwa menjadikan kita semangkin merana, atau semangkin waspada, siapa mencurigai siapa.
namun kita jangan lupa, tumpukan sampah yamg kita hasilkan bisa menimbun dan mengubur kita tegak hidup-hidup.
terkadang kita menghirup dimensi banci.
mungkin dimensi itu sebagai titik temu berbagai kebutuhan dan kepentingan semua oknum manusia pribumi nusantara.

ada yang merasa serba salah.
ada yang baru mengetahui belangnya.
ada yang baru sadar duduk perkaranya.
ada yang meratapi diri betapa indahnya kehidupan.
ada yang tanpa sadar mengutuk masa depannya.

celaka tanpa bisa disangka, ternyata kita berada di timbunan barisan, kerumunan orang antri beli minyak tanah.
bayangkan kalau minyak tanah itu dibagi gratis, bisa duapuluh empat jam nonstop antrian semangkin membludak. berdiri termanggu di antara antrian itu wakil rakyat, politisi kambuhan, kader pemenangan dan pensuksesan pilkada daerah tertinggal, kuli tinta, ............................................... semua membentuk barisan sakit hati, antri menunggu giliran digilir merasakan sama rasa (hn)

Selasa, 26 Januari 2016

SILSILAH PERCAYA DIRI (PeDe)

SILSILAH PERCAYA DIRI (PeDe)
Beranda » Berita » Opini
Rabu, 13/09/2006 10:06

SILSILAH PERCAYA DIRI (PeDe)

Ketika orang agar percaya diri (pede), orang mencoba merokok.
Dengan merokok merasa pede.
Tanpa rokok bak anak ayam kehilangan induk, resah, gelisah, was-was dan bisa timbul rasa minder.
Tanpa merokok seolah kehilangan identitas, nyaris kehilangan harga diri.
Berbagai pertimbangan alasan rasa inilah maka para perokok boleh merokok dengan berbagai gaya, aksi, pose dan di sembarang tempat.
Prinsip mereka, merokok adalah hak asasi manusia beradab, salah sendiri kalau tak mau merokok (perokok pasif).
Merokok itu sehat, membelinya yang bisa tidak sehat.
Akal sehat jangan dipakai untuk memantaskan merokok utawa tidak.

Ketika orang merasa agar kelihatan pede, mulailah budaya memanfaatkan teknologi komunikasi telepon saku utawa telepon genggam, dikenal dengan sebutan hp (baca : hape).
Berhape ria bisa dilakukan sambil apa saja, termasuk merokok.
Bahkan untuk teman ke belakang pun terasa menambahnya nikmat.
Siapa saja, kapan saja, dimana saja orang bebas berhape.

Merokok sambil berhape, utawa sebaliknya [HaeN]

terbahaknya tukang pangkas rambut

terbahaknya tukang pangkas rambut

Ternyata peribahasa “rambut sama hitam, tapi hati masing-masing” tidak berlaku saat saya ke tukang cukur rambut yang buka praktik di sebuah bangunan/ruangan dengan kaca besar berlabel Pangkas Rambut. Yang berlaku adalah “rambut tidak sama panjang, tapi hati sama ingin bercukur”. Bahkan isi hati banyak yang mirip, terbukti ingin cukur rambut di malam hari. Bahkan anak pun dibawa orang tuanya cukur di malam hari.

Pukul 22an, korden sudah ditutup, masih saja ada yang datang. Terpaksa abang pangkas rambut, menolak. Tidak salah jika pelanggan memilih tukang cukur utama. Karena yang lain, ada dua kursi, sedang magang. Kalau sudah bisa, mahir, menguasai ilmu potong rambut, keluar, mendirikan usaha sendiri. Terpaksa ke tukang cukur yang sedang magang, dengan penjelasan ringkas dari tukang cukur utama, apa saja yang harus dikerjakan, sesuai SOP, baru tukang cukur magang beraksi. Pelanggan pun masih was-was, mau tak mau mengikuti gerak-geriknya. Pelanggan akrab dengan suasana ruangan, sambil cukur ngobrol, nonton TV. Ada yang antri duduk di luar. Tanpa tempat parkir, bangunan di pinggir got jalan raya.

Giliran saya cukur, Cuma sekitar 10 menit. Ukuran alat cukur nomer 4, rambut dicukur rata, tanpa dilis, dikerok bulu kuduknya, rambut di tengkuk. Praktis dan cepat. Yang lama antrinya, bisa lebih dari lima orang. Habis cukur dapat bonus pijat. Karena praktis, saya tidak pilah pilih tukang cukur utama. Yang penting ada petunjuk dan restu dari tukang cukur utama, tukang cukur magang bukan masalah.

Suatu ketika, tukang cukur magang tanya sambil memuji sedikit nyinyir : “rambut bapak putih, lebat, tebal. Terakhir kapan cukur?”

Membaca gelagat, saya jawab ringan “Satu setengah bulan.”.

Tukang cukur tampak agak heran, berhenti sejenak :”Cepat tumbuhnya, apa resepnya pak?”

Saya jawab praktis :”Jarang mikir.”
Diluar dugaan, tukang cukur terbahak, sambil bilang ke tukang cukur utama dan yang antri. Mengulang jawaban saya sambil riang. Seorang ibu yang kawal suami yang sedang dicukur, serta merta bilang ke suaminya :”Tu pak, coba jarang mikir, biar cepat tumbuh.” Ternyata kepala sang suami masuk kategori ‘gunawan’. Tepatnya, karena jidatnya menjorok ke atas sebagai tipe pemikir.

“Coba rambut bapak dilis dan dikerik rambut halusnya, rapi.” sambung tukang cukur. Saya diam saja, kalau dijawab, takut bertambah terbahaknya.

Padahal jawaban saya standar, mungkin jauh dari kata komedian. Bisa jadi tukang pangkas rambut memang sedang magang, termasuk magang kehidupan.

Padahal di luar sana, banyak omongan lucu, tingkah laku konyol, yang dipertontonkan oleh komedian di panggung politik Nusantara. Ironis, mau maju ngebanyol, ngelucu, wajib minta petunjuk, izin, dan restu dari bandar politik pemenang pesta demokrasi 2014. Makanya dagelan politik Nusantara walau terasa garing, hambar, hanya menyita dan buang waktu, namun dampaknya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara sangat luar biasa tidak lucunya.

Harapan dan kepercayaan rakyat sudah dipangkas habis. Puing do’a tersisa di pangkuan Ibu Pertiwi. Entah siapa yang akan terbahak terakhir? [HaeN]

Senin, 25 Januari 2016

praktik politik identitas dan modus operandi pelaku politik Nusantara

praktik politik identitas dan modus operandi pelaku politik Nusantara

Disinyalir oleh ahlinya bahwasanya dampak diberlakukannya UU 22/1999 tentang Partai Politik, maraknya partai identitas. Sejauh ini (?) belum ada yang mengkaji, membedah, menganalisa apalagi mensurvei apa dampak lain dari UU 22/1999. Apakah munculnya partai politik lokal (untuk provinsi Aceh : adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara suka rela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan anggota DPRA/DPRK, Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota. Lihat UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh) sebagai eksesnya.

Kita ketahui bersama bahwa UU 22/1999 sebagai pengganti UU partai politik produk zaman Orde Baru. Faktor pertimbangan perlunya ditetapkan UU 22/1999 antara lain memberi landasan hukum yang lebih baik bagi tumbuhnya kehidupan partai politik yang dapat lebih menjamin peran serta rakyat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Belum terhitung dampak diundangkannya UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, semakin mengkokohkan jati diri, eksistensi dan otonomi daerah atau bentuk nyata dari politik identitas.

Menyimak iseng yang tersurat di UU 32/2004 khususnya pada :

Paragraf Ketiga
Larangan bagi Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah

Pasal 28

Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang:
a.     membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain;

Dengan asas pembuktian terbalik, ayat di atas tidak berlaku bagi partai politik atau gabungan partai politik pengusung pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Semangat otonomi daerah semakin menjadikan kalkulasi politik berbasis kalkulasi ekonomi. Asas ekonomi politik adalah mendapatkan hasil yang maksimal dengan modal minimal. Mahar politik, modal politik sebagai konspirasi politik '

Pilkada menambah subur merebak dan maraknya politik identitas yang kontradiksi dengan semangat Putera Asli Daerah. Politik kekuasaan, yang belum disurvei oleh lembaga survei berbayar, apakah akan menggusur kadar politik identitas, karena Rp yang bicara. Atau semakin mengentalkan hakikat politik identitias.

Pemerintah daerah memang tidak “berhak” menjalankan politik luar negeri, bukan berarti bebas berhubungan langsung dengan negara lain. Dimungkinkan kerja sama antar kota, membentuk kota kembar. Sebagai lokasi pembangun nasional yang menggunakan loan atau utang luar negeri. Memintarkan warga negara lain dengan dalih kesepakatan hibah bilateral RI dengan negara asing/lain/tetangga.

Omong-omong, di era Orde Lama, nomenklatur dan eksistensi partai politik dibingkai dalam tatanan dan tataran Nasakom. Posisi Bung Karno sebagai pendiri dan ketua umum Partai Nasional Indonesia, tidak menjadikannya lupa daratan, mabuk kekuasaan (jangan dibandingkan dan disandingkan dengan kadar politik anak keturunannya). Kendati 1948 dan 1965 NKRI ditikam dari belakang oleh kawan seiring yang bernama PKI, tidak menjadikan NKRI lumpuh. Bahkan Pancasila menjadi sakti. PKI menggalang buruh, tani, nelayan sebagai angkatan kelima dan merasa menjadi tulang punggung negara.

Sejarah bergeser, peradaban politik berubah secara drastis. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, membuktikan adanya dominasi negara atas masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan berbegara di masa Orde Baru. Pemilu semasa Orde Baru malah semakin mengkukuhkan dan mengkokohkan pemerintahan Suharto. Alokasi kekuasaan kian terpusat dan fokus di tangan negara dengan kelompok Angkatan Darat sebagai tulang punggungnya. Suharto pandai menggunakan orang pandai menjadi pendukungnya, tak urung ada yang merasa lebih pandai.

Drama politik di éra mégatéga, mungkin yang menjadi tulang punggung negara adalah politik kekuasaan. KP3 utawa Koalisi Partai Pro-Pemerintah bukan bukti original, otentik bahwa politik kekuasaan hanya mengutamakan dan mengedepakan nafsu kuasa, yang mungkin jauh dari pro-rakyat. Hanya sejarah yang membuktikan nantinya. [HaeN]