Bahasa Hukum
Pasal 340 KUHP menyatakan:
“Barang siapa sengaja dan
dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam, karena
pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”
Tersurat
dan tersirat betapa unsur “sengaja dan dengan rencana lebih dahulu”,
dalam kasus merampas nyawa orang lain, mendapat hukuman lebih berat atau
maksimal dibandingkan “pembunuhan” tak sengaja / tak terencana. Bahkan jika terdakwa
terbukti secara sah dan meyakinkan telah melaksanakan unsur di atas, berdasarkan
keterangan para saksi, fakta, bukti serta pengakuan di persidangan, apalagi dilakukan
bersama-sama, maka bobot hukuman menjadi masif dan terukur, kata lain dari
seberat-beratnya. Terkadang hal yang meringankan tidak berdampak pada keputusan
hukum.
Orang bisa
saja lepas dari hukum manusia, atau mendapatkan hukuman yang
seringan-seringannya, atau tidak mau menjadi terpidana sendirian, atau masuk
penjara yang menjelma menjadi hotel, namun tak bisa lepas dari peradilan Allah.
Manusia diciptakan Allah sebagai khalifah di muka bumi, maka hukum manusia disusun
untuk mengatur hubungan antar manusia dalam kehidupan bersama. Paling tidak
kita bisa mengambil kesimpulan, betapa makna unsur “sengaja dan dengan
rencana lebih dahulu” bisa mempengaruhi nasib terdakwa menjadi terpidana.
Wajar kita
merenung, jika seseorang sudah mendapatkan/melaksanakan hukum dan hukumanan
manusia di dunia apakah akan terbebas dari hukum dan hukuman Allah di akhirat.
Bagaimana dengan para penegak hukum, aparat yang mengadili dan memutuskan
perkara, apakah akan mendapat bonus pahala dari Allah. Sebaliknya, apa akan
menjadi terpidana.
Ketetapan Allah
Sesungguhnya Allah Azza wa
Jalla menulis semua kebaikan dan keburukan. Barangsiapa berkeinginan berbuat
kebaikan, lalu dia tidak melakukannya, Allah Azza wa Jalla menulis di sisi-Nya
pahala satu kebaikan sempurna untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat kebaikan,
lalu dia melakukannya, Allah menulis pahala sepuluh kebaikan sampai 700 kali,
sampai berkali lipat banyaknya. Barangsiapa berkeinginan
berbuat keburukan,
lalu dia tidak melakukannya, Allah Azza wa Jalla menulis di sisi-Nya pahala
satu kebaikan sempurna untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat keburukan, lalu dia
melakukannya, Allah Azza wa Jalla menulis satu keburukan saja [HR Bukhâri, no. 6491; Muslim,
no. 131].
Bukan berarti kita hanya sekedar menumpuk
niat, ber-ingin, ber-mau, atau sekedar berangan-angan, berwacana, memakai
embel-embel kata ‘jika ada waktu’, ‘jika sempat’ sampai ‘jika ingat’. Kita
jangan bermain-main dengan niat. Niat memiliki kedudukan dan peran sentral
dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam beribadah. Niat sebagai tindakan
hati, tindakan qolbu yang mendasari kerja panca indra, kerja akal, kerja ucap
dan kerja kaki tangan kita. Niat adalah awal dari suatu tindakan nyata, kerja
aksi, kegiatan dan proses kehidupan. Niat yang timbul sebagai reaksi bisa tidak
tulus dan ikhlas. Bagaimana Allah melihat isi hati kita, Rasulullah SAW
bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak melihat (menilai) bentuk
tubuh dan rupa kalian, akan tetapi Allah melihat hati kalian." (HR
Musim). Niat tidak hanya saat akan melaksanakan perintah-Nya, tetapi juga
diberlakukaan saat berusaha, berupaya untuk menjauhi segala larangan-Nya.
Tentunya bukan sekedar niat yang
spontanitas, otomatis karena melaksanakan kegiatan harian yang rutin, tipikal
dan nyaris monoton. “Terbiasa” mengerjakan amal ibadah dalam skala harian
bisa-bisa kita menganggap niat dan berbuat sebagai satu paket. Niat harus
selalu diulang dan diperbarui, karena kadar niat mengandung unsur “sengaja
dan dengan rencana lebih dahulu” untuk semua bentuk kegiatan duniawi,
khususnya untuk setiap jenis kegiatan ibadah atau ukhrawi.
Sejarah hijrah meninggalkan sunah Rasul,
kita simak Rasulullah SAW bersabda : "Sungguh, hanya dengan niatlah,
amal itu sah dan bagi setiap orang adalah apa yang telah diniatkannya. Barang
siapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia berhijrah kepada Allah dan
Rasul-Nya,. Barang siapa hijrahnya untuk dunia yang ia kejar, atau demi wanita
yang dinikahinya, maka ia berhijrah kepada apa yang ditujunya." (HR
Bukhari dan Muslim).
Fungsi Niat
Kadar niat
bisa sebagai setengah usaha, tinggal kita menyempurnakannya dengan ikhtiar.
Kita wajib niat dan ikhtiar, karena soal hasil menjadi hak prerogratif Allah.
Niat sebagai modal awal dalam membangun bisnis dengan Allah. Niatlah yang kemudian akan menentukan
hasil. Kalau niatnya serius, karena Allah, insya Allah pasti berhasil. Kalau
niatnya setengah-setengah, berarti hasilnya juga setengah-setengah.
Dapat dikatakan, niat bagaikan roh dalam perbuatan
ibadah. Seperti halnya tubuh ini, jika tidak bernyawa (memiliki roh) maka jasad
ini ibarat seonggok daging yang melekat di tulang. Tindakan ibadah kita tidak akan bernilai sama sekali jika tidak
dilandasi dengan niat. Segala tahapan tindakan ibadah tidak akan bermanfaat jika tidak dikerjakan
dengan niat yang tulus, ikhlas dan semata karena Allah.
Rasulullah SAW bersabda, " Tidak
ada shalat bagi orang yang tidak berwudlhu dan tidak ada amal bagi orang yang
tidak berniat." Tersurat, kedudukan dan fungsi niat sebagai faktor
penentu amal atau ibadah seseorang. Perbuatan yang nampak kecil dan sepele,
yaitu mengambil duri di jalan, agar orang yang akan liwat tidak tertusuk,
sebagai ibadah yang tidak sepele (cabang iman paling rendah). Niat merupakan pengontrol
dan pengendali hati, sebagaimana seekor kuda tidak akan terarah langkahnya jita
tidak ada tali kendali. Hati pun tidak akan lurus jika tridak didasari niat
yang lurus. Redaksi niat menggunakan doa dan dilakukan berjamaah, misal niat
untuk puasa Ramadhan dibaca bersama usai sholat tarawih.
Secara matematis, kita dapat menggunakan Hukum
Newton II :
Dengan pengertian dan batasan bahwa :
§ “f” adalah gaya atau ikhiar kita
untuk mendekatkan diri ke Allah, selalu berada di jalan-Nya, untuk merintis
karier menghadap-Nya.
§ “m” adalah massa atau besaran ibadah
maupun kegiatan amaliah yang kita lakukan.
§ “a” adalah (percepatan) niat dalam
hati, tidak perlu melafadzkan niat, memantapkan hati
dan tekad yang kuat akan melakukan sesuatu. Niat sebagai pemacu dan
pemicu dalam bertransaksi dengan Allah.
Dapat kita bayangkan, andai “a” = 0 alias
nol/nihil, atau tidak ada niat, maka sebesar-besar “m” jika dikalikan dengan 0
(nol) hasil tetap nol alias nihil. f=m dikalikan 0 (nol), maka hasilnya f=m x 0
(nol) = 0 (nol).
Cuplikan hadits
“Barangsiapa berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia tidak melakukannya, Allah
Azza wa Jalla menulis di sisi-Nya pahala satu kebaikan sempurna untuknya”, jika diterapkan di f=m.a, di mana :
§
“a” berarti baru sebatas niat dalam hati,
ikhlas karena Allah, dan
§
“m” masih nol (belum beraksi), hasilnya tidak
nol.
Diperoleh hasil
:
f = m . a = “pahala
satu kebaikan”
|
Menurut hukum manusia f=m.a
jika “m”= nol, maka pasti f=0.a=0 ! [HaeN].
---------------