Halaman

Selasa, 29 April 2014

Trauma Anak Derita Sepanjang Jalan


Peran orang tua terhadap pembentukan akhlak anak sangat dominan, bahkan dapat merubah fitrahnya untuk tidak beragama tauhid. Perjalanan hidup manusia bisa dipengaruhi bahkan ditentukan sejak dalam kandungan. Masukan, asupan, faktor ajar maupun pengaruh lingkungan yang diterima anak balita akan terekam kuat.

Keinginan orang tua agar anaknya bisa ikut program pendidikan anak usia dini, non formal dan informal, tentu harus diikuti dengan pemikiran yang matang. Artinya jangan menyerahkan tanggung jawab proses pendidikan anak ke institusi secara total. Rekam jejak institusi pendidikan yang akan dipilah dan dipilih, diimbangi kepedulian orang tua terhadap anak selama mengikuti proses didik.


Kekerasan dalam lembaga pendidikan anak pra-SD bisa terjadi dan berulang seolah tanpa penyesalan moral dan penyelesaian hukum. Sanksi hukum terhadap pelaku tindak kekerasan terhadap anak, tetap tidak akan mengobati trauma anak. Sanksi adat, sanksi moral atau bahkan sanksi agama bisa diterapkan pada pelaku [HaeN].

Sabtu, 26 April 2014

Koalisi Parpol Islam Bukan Kompromi Keagamaan


Mencermati kiprah dan kinerja parpol (partai politik) jangan pakai kacamata moral. Kawanan parpol di panggung politik tidak menerapkan resep halal dan haram, tidak merumuskan makna ma’ruf dan munkar dalam kehidupan berpolitik, lagu wajibnya hanya kepentingan.  Antar parpol sudah sepakat untuk tidak sepakat, peraturan yang dipakai adalah :  “tidak ada peraturan”, cara apapun sah dilakukan.

Umat Islam yang mendirikan parpol atau hanya sekedar penggembira, sadar tak sadar akan terjebak aturan main berpolitik. Apalagi tujuan utama mendirikan parpol agar dapat ikut pemilu/pilpres, agar dapat berkuasa selama lima tahun. Berlaga di industri politik, rumusan parpol Islam  tak jauh dari fungsi urusan dunia, skala finansial dan stimulus fulus. Konflik internal parpol Islam akibat dominasi persaingan daripada persaudaraan.

Koalisi parpol Islam, karena jauh dari makna poros langit, jelas tak akan bisa dilakukan. Koalisi parpol Islam sebagai kompromi politik, tidak ada sangkut pautnya dengan kompromi keagamaan, jelas tak akan bisa dilaksanakan. Koalisi parpol Islam berangkat dari kepentingan merebut kursi yang sama, maupun membagi kursi kekuasaan, jelas tak akan bisa diwujudkan [HaeN]






Kamis, 24 April 2014

Mewakafkan Diri Sendiri

oleh : Herwin Nur

Makna Substansi
Pasal 1 ayat 1, 2, dan 4 UU 41/2004 tentang “WAKAF”  menyatakan :
1.     Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
2.     Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
4.     Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.

Fokus pada kata kunci “harta benda miliknya”, posisi kita sebagai manusia sejatinya adalah “harta benda” yang diciptakan Allah, sebagai hak milik Allah. Diri kita bukan milik kita. Kita tidak bisa menguasai dan mengatur diri sendiri. Kita tidak bisa menetapkan lama waktu singgah di dunia. Kita tidak bisa menduga apa yang akan terjadi besok hari.

Lebih dari itu, segala sesuatu pada hakekatnya milik Allah, maka janganlah kita merasa berat menafkahkan harta dan rezeki di jalan Allah. Ikhwal ini ditegaskan oleh Allah dalam [QS Al Hadiid (57) : 7] : Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya[a]. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.”

[a] Yang dimaksud dengan menguasai di sini ialah penguasaan yang bukan secara mutlak. Hak milik pada hakikatnya adalah pada Allah. Manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah. Karena itu tidaklah boleh kikir dan boros.

Allah sebagai pemilik tunggal dan mutlak diri kita, kapanpun kita bisa di”wakaf”kan, ditegaskan oleh Allah dalam [QS Al Baqarah (2) : 156] : (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun[b] " 

[b] Artinya: “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali”. Kalimat ini dinamakan kalimat istirjaa (pernyataan kembali kepada Allah). Disunatkan menyebutnya waktu ditimpa marabahaya baik besar maupun kecil.

Kita bisa memilih untuk menjadi wakif perseorangan, organisasi maupun badan hukum, namun jika mengacu kriteria Harta Benda Wakaf (pasal 15 dan pasal 16, UU 41/2004) kita malah menjadi penonton sebatas niat, rencana unggul, cita-cita atau paling tinggi malah menjadi nazhir.

Ketika kita seolah “tidak memilik apa-apa”, atau kita “bukan siapa-siapa” apa yang akan kita wakafkan. Wakaf bisa yang seolah nampak remeh, sederhana namum dikerjakan secara ikhlas, menerus akan berdampak sistemik. Wakaf tidak harus menunggu kaya. Islam menganjurkan umatnya agar kaya, karena zakat, infaq dan sadakah serta wakaf menjadi berarti, menjadi kemaslahatan bagi umat. Kekayaan batin, jiwa dan rohani bisa sebagai penyeimbang motivasi wakaf harta benda.

Ketetapan Allah
Ditegaskan oleh Allah dalam [QS At Thaqaabun (64) : 16] : Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu[c]. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

[c] Maksudnya: nafkahkanlah nafkah yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat.

Peruntukan Harta Benda Wakaf (pasal 22 UU 41/2004) artinya bagian dari kemanfaatan atau kemaslahatan bagi bangsa dan negara. Dalil manusia untuk berbuat banyak buat bangsa dan negara menimbulkan dogma bahkan stigma.

Terjadi lingkaran setan korelasi antara 3 unsur :  berbuat banyak buat bangsa dan negara – menjadi pemimpin – kaya, kuat dan kuasa. Contoh nyata, bahan kampanye : ada yang merasa prihatin dengan nasib bangsa, minta ijin untuk berbuat baik, (syaratnya) dengan menjadi pemimpin (presiden). Secara politis, untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama manusia harus menjadi wakil rakyat, wajib menjadi pemimpin (kepala daerah dan terlebih menjadi kepala negara) atau masuk jajaran pejabat publik/penyelenggara negara.

Ironis, ketika bencana alam menyapa Nusantara, kepedulian partai politik muncul karena ada liputan langsung media masa, khususnya stasiun TV swasta. Relawan yang berjibaku dengan alam, peduli pada korban bencana alam, tanggap terhadap korban pesawat jatuh di gunung/huran perawan, peka terhadap korban konflik sosial atau SARA, luput dari ekspose pemberitaan dan bentuk sensasi dunia.

Ajaran Islam yang bercorak universal, integral, dan terjaga, dihadapkan atau bahkan dibenturkan pada suatu tantangan yang coba mengisolasikan ajaran wahyu dalam ruang privat. Sementara urusan negara merupakan persoalan publik yang tidak boleh dicampuradukkan dengan agama, karena negara tidak hanya dimiliki oleh rakyat satu agama, akan tetapi melindungi rakyat yang serba multi.

Kita wajib bersyukur, pemerintah telah memberikan ruang dan waktu untuk menjadi Relawan Sosial (UU 11/2009 tentang “KESEJAHTERAAN SOSIAL”).

Kesimpulan, mau tak mau, kita wajib mewakafkan diri kita karena Allah dan di jalan Allah. Niat dan imbalannya adalah berniaga, berbisnis dan berjual beli dengan Allah [HaeN].


---------------

Selasa, 22 April 2014

Evaluasi Manusia Menjadi Khalifah Di Bumi

 Ditulis : Herwin Nur,  23 September 2013 | 21:45



Ilmu Manusia
Sinyalir para Malaikat tentang tabiat dan perilaku manusia, ketika melihat Allah menciptakan manusia pertama Adam a.s, terbukti. Sikap para Malaikat diabadikan dalam [QS Al Baqarah   (2) : 30] : " Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Kerusakan akibat manusia mempraktekkan tumpukan dan deretan ilmunya, merasa wajib melakukan perubahan. Keberhasilan secara politis dan ekonomis dianggap sebagai tolok ukur perubahan. Bumi menjadi obyek perubahan. Perubahan kecil dengan merubah permukaan bumi dengan tujuan menjadi tempat tinggal yang layak bagi manusia. Mengelupas dan mengupas kulit bumi hingga gundul, dengan dalih untuk perubahan. Mengeduk dan menguras kandungan bumi dan laut, dianggap hal kecil sebagai modal perubahan besar.

Makna ‘menumpahkan darah’,  Allah telah meyuratkan [QS Al Baqarah   (2) : 36] : " . . . dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan."

Waktu Dan Ruang
Ternyata untuk “merusak” bumi ada “ilmu”nya, dilakukan secara terencana, terstruktur, menerus maupun atau dampak pembangunan, bisa juga dampak peperangan. Apakah hanya orang yang sarat ilmu saja yang bisa berbuat kerusakan?. Apakah hanya kekuasaan dan kekuatan formal saja yang berhak “merusak” bumi.

Bagaimana jika manusia, khususnya umat Islam, dalam melestarikan atau mengelola bumi, atau sebagai pemilih atau penerus ajaran Allah, memerlukan ilmu atau tidak. Makna khalifah bisa berarti wakil atau pengganti yang memegang mandat Allah, pelaksana kehendak Allah dalam mewujudkan kemakmuran di muka bumi. Kewenangan yang diembankan, dipercayakan kepada manusia bersifat total dan berlaku hingga akhir zaman. Manusia seolah diberi hak prerogratif dalam mendayagunakan apa yang ada di muka bumi untuk kepentingan hidupnya dan masa depan umat manusia.

Dorongan Primitif
Kebanyakan umat Islam menerjemahkan khalifah sebagai pemimpin umat manusia dan penerus ajaran agama yang telah dilakukan oleh Muhammad SAW. Proses sejarah, ada yang mengartikan khalifah sebagai pemelihara ataupun penjaga bumi dari kerusakan alami maupun akibat ulah tangan manusia.

Manusia menggunakan akalnya untuk mencari pembenaran atas segala tindakannya dalam mengolah kekayaan alam. Manusia sering terbentur pada kenyataan alam yang sulit dicerna logika dan akalnya. Tepatnya, bahkan manusia tidak peduli pada nasib generasi mendatang akibat eksplorasi dan eksploitasi bumi.

Ironisnya, manusia juga menggunakan akalnya dalam mengingat dan berkomunikasi dengan Allah, tidak berpusat pada qalbu.  Tidak salah, karena Islam mendudukkan akal sebagai kebijaksanaan, intelegensia, dan pengertian. Akal bukan hanya pada ranah rasio, tetapi juga rasa, bahkan lebih jauh dari itu akal diartikan dengan hikmah atau bijaksana.

Allah telah memberi kelebihan yang sempurna atas manusia dibandingkan dengan kebanyakan makhluk lainnya. Al-Qur’an memandang manusia dengan berbagai karakter sebagai fungsi nafsu yang merupakan daya dorong manusia untuk meraih keinginannya. Dorongan ini sering disebut dorongan primitif, sifatnya bebas dan netral, tanpa batas baik dan buruk. Manusia sering terjebak dan terjerat oleh nafsunya sendiri. [Herwin Nur/wasathon.com].

Senin, 21 April 2014

Indonesia Perlu Reformasi Jilid 2

Indonesia Perlu Reformasi Jilid 2
 Ditulis : Herwin Nur,  21 April 2014 | 16:17
                  
Soal urusan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, manusia acap tidak bercermin pada senyum, sapa dan salam serta jiwa gotong-royong semut; manusia sering kurang mengacu praktek pembagian tugas pada lebah; manusia selalu tidak memperhatikan makna formasi “V” migrasi burung. Justru yang dianut untuk direkayasa, dimodifikasi maupun diformulasikan adalah bagaimana cara menjadi ‘raja dan  penguasa hutan’ dengan mengandalkan 3K (kuasa, kuat, kaya). 

Semboyan Sang Reformis adalah siapa yang andilnya dominan dalam me-lengserkerabon-kan Suharto sebagai RI-1, 21 Mei 1998, paling berhak menjadi presiden. Patriotisme Sang Reformis berjibaku bersama berbagai elemen masyarakat, mahasiswa, pemuda melawan rezim Orde Baru di jalanan sampai menduduki gedung MPR/DPR, ternyata ada udang di balik batu. Pamrih Sang Reformis yang pasang badan sebagai pendobrak adalah merebut untuk memiliki, paling tidak berasas kalau bisa dijadikan hak milik kenapa harus dialihkan ke orang lain. 

Kita bersyukur, masih ada reformis yang berjiwa kesatria, usai tugas selesai, balik kanan, kembali ke habitat semula. Mereka tidak mengenal kontrak politik, mereka mengharamkan politik transaksional, mereka hanya cinta republik ini. Titik. 
Sampai tahun 2014, sudah hadir 4 presiden, sisa-sisa reformis yang sudah ketinggalan zaman masih semangat mengontrol dan mengendalikan republik. Setiap pesta demokrasi, tanpa malu, sungkan dan ragu, menampakkan diri, merasa bisa memimpin bangsa dan negara. Setiap ada kemelut bangsa, mengutamakan sumbang saran maupun saran sumbang, tepuk dada dan merasa paling berjasa. Sisa reformis sudah tidak dalam satu barisan, mereka mengusung benderanya masing-masing, berjuang bukan untuk republik. Mereka bukan sekedar menjala ikan di air keruh, justru yang membuat keruh iklim politik. 

Peninggalan Politik
Reformasi Politik adalah perubahan secara drastis untuk perbaikan dl bidang politik dl suatu masyarakat atau negara (sumber : http://kbbi.web.id/reformasi). Yang sudah dan sedang dipraktekkan adalah Reformasi Birokrasi yang dilaksanakan oleh Pegawai Aparatus Sipil Negara. 

Perubahan pertama sampai perubahan keempat UUD 1945 untuk mengakomodir kepentingan politik dan diimbangi dengan hak asasi manusia. Terbukti, dominasi legislatif di dua periode SBY diimbangi koalisi partai politik sebagai pengingkaran terhadap kodrat Bhinneka Tunggal Ika. Oposisi setengah hati, hegemoni banci mendudukan politik sebagai komoditas ekonomi, mempunyai nilai jual. Industri politik menjadikan biaya politik tinggi. Panggung politik menjadi ajang jual beli kepercayaan yang berujung bagi-bagi kursi alias politik transaksional. 

Tahun politik 2014, kualifikasi Presiden menjadi dilematis, sebagai  pemimpin (leaders) atau pengikut (followers). Semua parpol peserta pileg 9 April 2014 hanya siap menang, apalagi didukung hasil survei. Terjadi respons revolusioner yang terjadi pada partai politik gurem atau parpol pendatang yang memanfaatkan relung dan ceruk ekologi politik yang ditinggalkan spesies yang lebih besar yaitu PD sebagai parpol penguasa dua periode. PG, PPP dan PDI-P yang berpengalaman sejak zaman Orba terseok-seok dengan elektabilitas, biaya politik maupun politik transaksional. 

Banyak pihak menginginkan perubahan, kata lain dari politik transaksional. Merubah bangsa dan negara tidak harus menjadi pemimpin bangsa/negara. Demokrasi perwakilan menjadikan faham memimpin untuk berkuasa atau berkuasa untuk memimpin. 

Masyarakat Sebagai Subyek
Umat Islam mempercayai adanya Qada Mu’allaq (adalah takdir yang digantung atau bersyarat, dalam artian ketentuan tersebut boleh berlaku dan terjadi, dan boleh juga tidak terjadi pada diri seseorang, bahkan ia bergantung kepada usaha manusia itu sendiri) yang telah ditegaskan oleh Allah dalam sebagian [QS Ar Ra’d (13) : 11] :“Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaanyang ada pada diri mereka sendiri.” 

Allah tidak akan mengubah keadaan umat Islam, selama umat Islam tidak merubah penyebab kemundurannya.Sehingga, reformasi politik sebagai bagian atau tindakan nyata merubah nasib bisa dimulai dari individu sebagai unsur masyarakat, dengan izin Allah. Dua syarat utama harus kita miliki dan kita laksanakan, yaitu memperbanyak doa dan menyambung silaturrahim. 

Doa umat islam secara invidu maupun berjamaah, yaitu berdoa agar mempunyai pemimpn yang amanah. Atau agar pemimpin yang ada mendapat petunjuk-Nya. Protes umat Islam kepada pemimpinnya yang kurang/tidak amanah dimulai dengan doa. Tidak perlu dengan unjuk raga dan unjuk rasa di jalanan. Apalagi dengan caci maki, mengumpat, menghujat dan tindakan anarkis. Jangan sampai mengatasi kemungkaran dengan kemungkaran. Pakai adab atau ayat, sesama muslim saling mengingatkan, saling menasihati. 

Utamakan ikatan moral, antar umat Islam saling bersilaturrahim, memperkokoh barisan, memperkuat ukhuwah.Sesuai dengan firman Allah dalam [QS Ash Shaff (61) : 4] : “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”. 

Ironis, umat Islam sibuk ideologi atau politik, lupa ukhuwah, bahkan menyambung silaturrahim sekedar mencari dukungan pembenaran. Itu sebabnya, demi perbaikan, perubahan mendasar kearah yang lebih baik lagi, sepertinya Indonesia perlu suarakan reformasi Jilid 2. [Herwin Nur/Wasathon.com].

Minggu, 20 April 2014

Jangan Lalai dalam Berdoa

 Ditulis : Herwin Nur,  31 Maret 2013 | 19:41


Posisi Do’a
Jikalau kita mengetahui hakekat dan makna do’a,  jika kita memahami manfaat dan keutamaan do’a, kalau kita menyadari rukun dan adab berdo’a, andai kita mengerti waktu istimewa do’a dijabah Allah, pasti kita tak akan lalai berdo’a, bahkan menyiapkan skenario do’a nyaris rinci, mirip daftar permintaan dan kebutuhan hidup. Redaksi dan substansi do’a bisa dicuplik dari berbagai ayat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.

Do’a mempunyai posisi strategis, sebagai bagian dari rukun Islam kedua yaitu menegakkan sholat 5 waktu.  Sholat merupakan fungsi do’a. Kita  berdo’a dalam keadaan hati yang hadir, hati yang bersungguh-sungguh mengharapkan ijabah (pengabulan) dari Allah dan tentunya hati yang tidak lalai. Do’a terdapat dalam semua posisi sholat. Posisi di mana kita merendahkan diri di hadapan-Nya, terdapat waktu utama do’a, sesuai Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Yang paling dekat seorang hamba pada Rabbnya ketika ia sedang sujud, maka perbanyaklah kalianlah berdo’a.”

Waspadalah, shalat adalah perkara pertama yang dihisab di hari kebangkitan! “Barangsiapa yang baik (diterima) shalatnya, maka baik (diterima) pula segala amalan yang lain, dan barangsiapa yang rusak (ditolak) shalatnya, maka rusak (ditolak) pula segala amalan lainnya” (HR Thabarani).

Usai sholat berjamaah, imam dan makmum berdo’a bersama. Kebutuhan individu, do’a bisa dilakukan sendiri. Usai sholat, kita jangan bergegas berdiri pergi, luangkan waktu untuk berdo’a secara khusyu’ pula. Rasulullah Muhammad saw bersabda: “Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan di-ijabah dan ketahuilah bahwa Allah tidak akan menerima do’a dari hati yang lalai dan main-main.” (HR Tirmidzi 3401) 

Konteks do’a dalam tulisan ini, mengacu terjemahan [QS Al Baqarah (2) : 284] : “Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Do’a harus khusyu’
Sholat sebagai media kita untuk komunikasi dan audisi dengan Allah. Do’a yang kita panjatkan kepada-Nya jangan bersifat otomatis, hafalan, standar atau sebagai pelengkap sholat. Sebagaimana sholat, do’a pun sebagai kebutuhan kita, dilakukan secara khusyu’. Do’a tidak sekedar urusan hati, bisa dikaitkan dengan hal yang lain. Rasulullah saw mengajarkan kepada kita do’a yang kandungannya memohon agar Allah melindungi kita dari empat keburukan, yaitu : “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari nafsu yang tidak pernah kenyang, dan dari do’a yang tidak dikabulkan.” (HR Muslim 4899)

Pertama, ilmu yang tidak bermanfaat. Ialah ilmu yang menjadikan kita menjadi semakin dekat dengan Allah, karena merasa tenang, takut, tunduk, merendahkan dan mengakui kelemahan diri di hadapan Allah serta sebagai pengingat  akan adanya kehidupan sejati kelak di akhirat.

Kedua, hati yang tidak khusyu’. Ciri orang beriman ialah bila mengingat Allah hati mereka menjadi tenteram.

Ketiga, nafsu yang tidak pernah kenyang. Memerangi hawa nafsu termasuk jihad, nafsu harus dikendalikan, bukan dimatikan.

Keempat, do’a yang tidak dikabulkan. Syaratnya: memohon hanya kepada Allah, tidak kepada selain-Nya; penuhi segenap perintah Allah dan beriman dengan sebenarnya kepada Allah. [Herwin Nur/wasathon.com]

Sabtu, 19 April 2014

DIKOTOMI KOTA TANGSEL : PRIBUMI vs PENDATANG

DIKOTOMI KOTA TANGSEL : PRIBUMI vs PENDATANG
(ditulis tanggal 19-08-2010 )

Undang-Undang RI Nomor 51 Tahun 2008, tentang “PEMBENTUKAN KOTA TANGERANG SELATAN DI PROVINSI BANTEN”, tertanggal 26 November 2008, yang konon berdasarkan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, telah melahirkan berbagai berita.

Harian Rebublika, Sabtu, 14 Agustus 2010 / 4 Ramadhan 1431, khususnya pada halaman 11 tercetak berita tentang Tangsel seputar pemilukada Sabtu, 13 November 2010. Melacak judul, isi dan makna yang tersirat dalam berita tersebut, membuktikan bahwa masih ada pemikiran yang berbasis PAD (Putera Asli Daerah). Isu orang pribumi (versi komedian) atau putra daerah secara demokratis merupakan angin sejuk. Adanya pasangan independen yang tak diusung partai politik (parpol) sebagai bakal calon (balon) Walikota dan Wakil Walikota Tangsel sebagai awal tradisi yang betul-betul aspiratif, bukan rekayasa politis. Perang spanduk antar balon secara tak langsung menunjukkan siapa kucing dalam karung. Popularitas di era Reformasi dekade II bukan jaminan seseorang serta merta mendapat kepercayaan. Sering nampang di media masa bukan jaminan untuk dipilih. Jumlah pemilih di kota Tangsel saat masih bagian kabupaten Tangerang = 762.064 jiwa, 4 tahun yang lalu. Jelang pemilukada Tangsel, menyusut menjadi 690.478 jiwa (populasi penduduk kota Tangsel 2007 sebanyak 918.783 jiwa). Tangsel dengan penduduk < 1 juta jiwa masuk kategori kota tertentu, dengan segala permasalahan yang tidak berbau kota. Dukungan 7 kecamatan, walau berbatasan dengan provinsi Jawa Barat dan provinsi DKI Jakarta, sebagai unggul lokasi namun bagaimana dengan unggul potensinya?

Akumulasi nilai jual kota Tangsel akan mempermudah pelaksanaan otonomi daerah. Masalah sampah yang susah cari lokasi TPST, alih fungsi hunian menjadi tempat usaha yang meresahkan warga bak senjata makan tuan. 3K bisa mengacak-acak Tata Ruang Wilayah Kota Tangerang Selatan. Seperti yang sedang terjadi di kompleks perumahan Taman Manggu Indah (TMI), kecamatan Pondok Aren.

Penduduk kategori pendatang dapat dilihat dari domisilinya, pada umumnya mereka menghuni dan bertempat tinggal di kawasan perumahan BTN, real estate, maupun cluster yang bermunculan sebagai pelanggan banjir. Terjadi alih fungsi dari usaha sawah tradisional menjadi hunian mewah (=mepet sawah), industri. Mereka sebagai penglaju, yang kerja, sekolah di luar habitatnya. Secara kuantitas dan kualitas keberadaan pendatang menambah maraknya kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Bahkan Ketua RW 06 TMI, adalah oknum pejabat struktural Eselon II (dua) dari Kemenhut yang mandegani Korpri (baca: abdi masyarakat), melalui mekanisme pemilihan langsung oleh warga yang berhak memilih layaknya pemilu. Kurang kontribusi dan peduli apa sebagai penduduk pendatang, Ketua RW 06 TMI mau mendudukan dirinya di “bawah” Lurah [pangkat/golongan Lurah sebagai PNS minimal Penata (III/c)].

Kendati Lurah bisa mendapatkan limpahan urusan pemerintahan kabupaten/ kota dari Bupati/Walikota yang merupakan urusan wajib dan urusan pilihan. Terkadang Ketua RT dan RW berkiprah sebatas urusan administratif, tak ada power atau posisi tawar dalam urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.

Orang pribumi di daerah penulis, bisa didengar ketika ada hajat sunat utawa pesta nikah : diiringi ledakan petasan renteng dan ukuran bom, gema orgen tunggal nonstop plus penyayi dadakan, layar tancap sampai pagi dilengkapi dengan berbagai acara atraktif lainnya. Air tanah susah dikonsumsi membuka peluang sebagai pemasok dan penjaja air bersih, PSK (pedagang sayur keliling), ikut bantu cuci baju, abang tukang ojek, penjual makanan di malam hari (kebanyakan kaum pendatang), pengumpul dan pengepul barang bekas, pemulung, keamanan lingkungan, pengayuh odong-odong, dan lain bisanya, terutama kerja instan (habis kerja dapat duit). Titik temu antara orang pribumi dengan penduduk pendatang, saat berurusan dengan rupiah (Rp).

Sebagai potensi daerah di bidang SDM, antara orang pribumi dengan penduduk pendatang, bergerak di antara dua kutub yang bisa kontradiktif atau saling menguntungkan :

Kutub pertama adalah masyarakat yang rentan dan rawan Rp. Hasil kerja sehari belum tentu bisa untuk makan sehari. Lapangan kerja yang tidak menjanjikan ditunjang dengan keahlian yang seadanya. Membludaknya tamatan SMU/SMK yang tidak berlanjut ke bangku kuliah, pilih jadi kuli atau kerja serabutan. Mereka sebagai penganut ekonomi rakyat (tak jauh dari urusan isi perut). Mental nasi bungkus, moral sebungkus rokok diandalkan kalau ada unjuk raga dan unjuk rasa di jalanan atau saat kampanye. Aliran ini bisa seperti pepatah pagar makan tanaman.


Kutub kedua adalah masyarakat yang rakus Rp. Mereka sebagai penyembah berhala Reformasi 3 K (kuat, kuasa, kaya). Modus operandinya menghalalkan segala cara, tindakan dan ucap. Demi Rp, kawan bisa jadi lawan, seteru berubah jadi sekutu. Tak ada kawan sejati, tak ada lawan abadi. Satu parpol pun kalau menyangkut Rp urusan jadi lain. Rp jadi tujuan hidup. Penggemarnya sangat beragam, termasuk kawanan parpolis atau birokrat penyelenggara daerah otonom yang punya bakat KKN. Ada Rp ada ……. Walhasil, lima tahun ke depan 2010-2015 kota Tangsel bisa tergadaikan dan terbelenggu nafsu sendiri (HaeN).

Jumat, 18 April 2014

Peran Sentral Niat Dalam Proses Ibadah


Bahasa Hukum
Pasal 340 KUHP menyatakan:
“Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”

Tersurat dan tersirat betapa unsur “sengaja dan dengan rencana lebih dahulu”, dalam kasus merampas nyawa orang lain, mendapat hukuman lebih berat atau maksimal dibandingkan “pembunuhan” tak sengaja / tak terencana. Bahkan jika terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melaksanakan unsur di atas, berdasarkan keterangan para saksi, fakta, bukti serta pengakuan di persidangan, apalagi dilakukan bersama-sama, maka bobot hukuman menjadi masif dan terukur, kata lain dari seberat-beratnya. Terkadang hal yang meringankan tidak berdampak pada keputusan hukum.

Orang bisa saja lepas dari hukum manusia, atau mendapatkan hukuman yang seringan-seringannya, atau tidak mau menjadi terpidana sendirian, atau masuk penjara yang menjelma menjadi hotel, namun tak bisa lepas dari peradilan Allah. Manusia diciptakan Allah sebagai khalifah di muka bumi, maka hukum manusia disusun untuk mengatur hubungan antar manusia dalam kehidupan bersama. Paling tidak kita bisa mengambil kesimpulan, betapa makna unsur “sengaja dan dengan rencana lebih dahulu” bisa mempengaruhi nasib terdakwa menjadi terpidana.

Wajar kita merenung, jika seseorang sudah mendapatkan/melaksanakan hukum dan hukumanan manusia di dunia apakah akan terbebas dari hukum dan hukuman Allah di akhirat. Bagaimana dengan para penegak hukum, aparat yang mengadili dan memutuskan perkara, apakah akan mendapat bonus pahala dari Allah. Sebaliknya, apa akan menjadi terpidana.

Ketetapan Allah
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menulis semua kebaikan dan keburukan. Barangsiapa berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia tidak melakukannya, Allah Azza wa Jalla menulis di sisi-Nya pahala satu kebaikan sempurna untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia melakukannya, Allah menulis pahala sepuluh kebaikan sampai 700 kali, sampai berkali lipat banyaknya. Barangsiapa berkeinginan berbuat keburukan, lalu dia tidak melakukannya, Allah Azza wa Jalla menulis di sisi-Nya pahala satu kebaikan sempurna untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat keburukan, lalu dia melakukannya, Allah Azza wa Jalla menulis satu keburukan saja [HR Bukhâri, no. 6491; Muslim, no. 131].

Bukan berarti kita hanya sekedar menumpuk niat, ber-ingin, ber-mau, atau sekedar berangan-angan, berwacana, memakai embel-embel kata ‘jika ada waktu’, ‘jika sempat’ sampai ‘jika ingat’. Kita jangan bermain-main dengan niat. Niat memiliki kedudukan dan peran sentral dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam beribadah. Niat sebagai tindakan hati, tindakan qolbu yang mendasari kerja panca indra, kerja akal, kerja ucap dan kerja kaki tangan kita. Niat adalah awal dari suatu tindakan nyata, kerja aksi, kegiatan dan proses kehidupan. Niat yang timbul sebagai reaksi bisa tidak tulus dan ikhlas. Bagaimana Allah melihat isi hati kita, Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak melihat (menilai)  bentuk tubuh dan rupa kalian, akan tetapi Allah melihat hati kalian." (HR Musim). Niat tidak hanya saat akan melaksanakan perintah-Nya, tetapi juga diberlakukaan saat berusaha, berupaya untuk menjauhi segala larangan-Nya.

Tentunya bukan sekedar niat yang spontanitas, otomatis karena melaksanakan kegiatan harian yang rutin, tipikal dan nyaris monoton. “Terbiasa” mengerjakan amal ibadah dalam skala harian bisa-bisa kita menganggap niat dan berbuat sebagai satu paket. Niat harus selalu diulang dan diperbarui, karena kadar niat mengandung unsur “sengaja dan dengan rencana lebih dahulu” untuk semua bentuk kegiatan duniawi, khususnya untuk setiap jenis kegiatan ibadah atau ukhrawi.

Sejarah hijrah meninggalkan sunah Rasul, kita simak Rasulullah SAW bersabda : "Sungguh, hanya dengan niatlah, amal itu sah dan bagi setiap orang adalah apa yang telah diniatkannya. Barang siapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya,. Barang siapa hijrahnya untuk dunia yang ia kejar, atau demi wanita yang dinikahinya, maka ia berhijrah kepada apa yang ditujunya." (HR Bukhari dan Muslim).

Fungsi Niat
Kadar niat bisa sebagai setengah usaha, tinggal kita menyempurnakannya dengan ikhtiar. Kita wajib niat dan ikhtiar, karena soal hasil menjadi hak prerogratif Allah. Niat sebagai modal awal dalam membangun bisnis dengan Allah. Niatlah yang kemudian akan menentukan hasil. Kalau niatnya serius, karena Allah, insya Allah pasti berhasil. Kalau niatnya setengah-setengah, berarti hasilnya juga setengah-setengah.

Dapat dikatakan, niat bagaikan roh dalam perbuatan ibadah. Seperti halnya tubuh ini, jika tidak bernyawa (memiliki roh) maka jasad ini ibarat seonggok daging yang melekat di tulang. Tindakan ibadah kita  tidak akan bernilai sama sekali jika tidak dilandasi dengan niat. Segala tahapan tindakan ibadah  tidak akan bermanfaat jika tidak dikerjakan dengan niat yang tulus, ikhlas dan semata karena Allah.

Rasulullah SAW bersabda, " Tidak ada shalat bagi orang yang tidak berwudlhu dan tidak ada amal bagi orang yang tidak berniat." Tersurat, kedudukan dan fungsi niat sebagai faktor penentu amal atau ibadah seseorang. Perbuatan yang nampak kecil dan sepele, yaitu mengambil duri di jalan, agar orang yang akan liwat tidak tertusuk, sebagai ibadah yang tidak sepele (cabang iman paling rendah). Niat merupakan pengontrol dan pengendali hati, sebagaimana seekor kuda tidak akan terarah langkahnya jita tidak ada tali kendali. Hati pun tidak akan lurus jika tridak didasari niat yang lurus. Redaksi niat menggunakan doa dan dilakukan berjamaah, misal niat untuk puasa Ramadhan dibaca bersama usai sholat tarawih.

Secara matematis, kita dapat menggunakan Hukum Newton II :
f = m . a
 
Dengan pengertian dan batasan bahwa :
§    f” adalah gaya atau ikhiar kita untuk mendekatkan diri ke Allah, selalu berada di jalan-Nya, untuk merintis karier menghadap-Nya.
§    m” adalah massa atau besaran ibadah maupun kegiatan amaliah yang kita lakukan.
§    a” adalah (percepatan) niat dalam hati, tidak perlu melafadzkan niat, memantapkan hati dan tekad yang kuat akan melakukan sesuatu. Niat sebagai pemacu dan pemicu dalam bertransaksi dengan Allah.

Dapat kita bayangkan, andai “a” = 0 alias nol/nihil, atau tidak ada niat, maka sebesar-besar “m” jika dikalikan dengan 0 (nol) hasil tetap nol alias nihil. f=m dikalikan 0 (nol), maka hasilnya f=m x 0 (nol) = 0 (nol).

Cuplikan hadits “Barangsiapa berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia tidak melakukannya, Allah Azza wa Jalla menulis di sisi-Nya pahala satu kebaikan sempurna untuknya”, jika diterapkan di f=m.a, di mana :

§    a” berarti baru sebatas niat dalam hati, ikhlas karena Allah, dan
§    m” masih nol (belum beraksi), hasilnya tidak nol.
Diperoleh hasil :
f = m . a = “pahala satu kebaikan”
 



 Menurut hukum manusia f=m.a jika “m”= nol, maka pasti f=0.a=0 ! [HaeN].


---------------