Halaman

Jumat, 30 November 2018

KKN 2014-2019, aksi senyap radikalisme penguasa


KKN 2014-2019, aksi senyap radikalisme penguasa

NKRI tak mengenal dosa politik. Pemegang sertifikat sebagai pelaku, petugas, pegiat, pekerja partai tak bisa dikriminalisasi. Kebijakan penguasa tak bisa dipidanakan. Lebih dari sekedar kebal hukum. Sedemikiannya politik, tak ada zona bebas politik.

KKN tentu bukan Kemungkinan Kurang Normal atau pasal tak tertulis di kamus angan-angan politik Nusantara. Manusiawinya politik Nusantara cukup manusiawi. Utamakan hari ini dan akhir hari ini. Karena esok bukan hak manusia.

Éfék domino pilkada, yang mana dimana sistem karir, DUK nyaris hanya sebagai formalitas. Siapa dekat akan cepat dapat, menjadi moto bersama tapi sendiri-sendiri. Nasib kerabat daerah tergantung Daftar Urut Kedekatan utawa DUK. Lelang jabatan sesuai pengadaan barang/jasa pemerintah. Ada kursi ada harga. Satu barang (baca: kursi) dengan aneka harga penawaran. Bagian dari biaya politik.

Ini baru di tingkat kabupaten/kota. Jangan cari perkara bagaimana dengan éfék domino pilkara (pemilihan kepala negara). Hanya sopir bajaj yang tahu kapan mau belok. Berlaku di semua jabatan pembantu presiden, sipil maupun militer.

Yang tahu diri, akan memanfaatkan kendaraan politik untuk melaju di lajur khusus mendahului, menyalip. Budaya antri tak berlaku. Teman maka teman. Angkatan makan angkatan. [HaéN]

daya saing mbokdé mukiyo dudu gaya siang


daya saing mbokdé mukiyo dudu gaya siang

Selalu ada peluang di tengah dinamika perekonomian global. Namun, peluang untuk meningkatkan ekspor dan memperkuat industri baru bisa dimanfaatkan jika daya saing sumber daya manusia diperbaiki dan sistem perizinan tak lagi rumit. (sumber: kompas, rabu, 28 november 2018).

Modal alenia di atas. Anggap sebagai kesimpulan umum. Atau alt kedua adalah sebagai fakta lapangan untuk merasuk lebih dalam. Masalah ekonomi yang rasanya tak sepenuhnya memakai bahasa ekonomi. Nyaman di mata dan mudah dicerna nalar manusia non-ekonomi, pelaku non-ekonomi.

Lema baru, dalam, pada, tengah memiliki lebih dari satu makna. Kalimat yang tersusun bisa bias. Wajar jika alenia pertama terasa janggal atau malah yang terjadi adalah sebaliknya. Gado-gado atau malah tanpa nama. Diplomatis bikin meringis.

Bahasa ya bahasa tapi ingat bahasa. Coba cerna kalimat “memperkuat industri baru bisa dimanfaatkan”. Asosiasi atau anggapan umum “industri baru”. Tidak. Pakai kalimat “memperkuat industri dapat dimanfaatkan setelah daya saing SDM”.

Tergantung SDM. Sebaliknya yang terjadi. Dua kata kuncinya, ekonomi lokal, impor. Praktik kebijakan yang terjadi selama 2014-2019 adalah impor. Demi dan atau atas nama perut rakyat Nusantara. Oleh sebab ini, kran impor dibuka bebas, kucur deras. Mengimbangi pasar bebas dunia. Menimpali aksi nyata masyarakat ekonomi ASEAN.

Ketahanan perut rakyat yang terbiasa makan nasi dan sehari 3x. Soal 4 sehat 5 sempurna, bagaimana isi perut menjawabnya. Masyarakat awam di pinggir kota, tak mau tahu modus izin impor. Tahu-tahu tempe bahan bakunya dari hasil kerja keras petani negara lain. Kedelai impor diyakini mendongkrak mental bangsa témpé.

Méntal témpé menjadi karakter politik penguasa. Dominasi gaya mendoan, modus bongkrék, profil gembus. Tapi tetap eksis nangkring dan nongkrong tanpa merasa bersalah. Yang salah jelas rakyat yang menggunakan hak pilihnya. [HaéN]

tindak tanduk bukan tanduk tunduk


tindak tanduk bukan tanduk tunduk

Yang kumaksud dalam cerita ini, memang tanpa maksud. Adalah seorang abang tukang sol sepatu. Telah berhasil melakuka perubahan pola layanan. Bermula dari pikulan. Sekarang berupa gerobag dorong. Mangkal di pojok lapangan bersama tukang ojek.

Sepatu bekas yang bodi masih tampak mulus, divermak kakinya. Menjadi sepatu layak pakai. Bergaransi, khususnya bagi warga yang naik mobil. Sanggup mengganti total sol sepatu wanita. Sesuai ukuran asli atau permintaan kaki. Si empunya sepatu adalah kaki wanita pekerja, menyetir mobil pribadi, sebagai pangsa pasar tak terduga.

Saya cuma hobi memilah-memilih hasil sepatu vermakannya. Beruntung, ukuran kaki saya yang di atas rata-rata, tak tersedia. Bincang dengan ahli bongkar pasang sepatu cukup meyakinkan. Kalau sedang keliling, tak ada suara lazimnya. Terkadang ybs pasang musik rakyat sebagai pratanda kehadirannya.

Tahu diri dengan tidak mewariskan bakat, ilmu, rekam jejak, nama baik persolan ke anak. “Susah”, dalihnya dengan suara bak golongan orang susah. Tetap tersenyum.

Rasanya, jika saya liwat lokasi kejadian atau tempat kerjanya, tampaknya tak pernah rembug santai dengan tukang ojek. Tekun duduk sibuk di dingklik kerjanya. Bukan tukang sol model main paku main getok palu. Lebih mengandalkan jahitan dan lem. Gerobaknya dipenuhi sepatu hasil olah tangannya. Aneka bentuk model, bahan. Hujan menyapa, ditutupi plastik transparan. Petugas partai sol sepatu, memakai jas hujan ponco.

Hari libur tetap buka praktik. Berkantor di depan rumah pelanggan. Order mbludak dan atau sudah gelap senja, lanjut kerja di rumah. [HaéN]

Kamis, 29 November 2018

karakter méntal mukiyo, bahasa tubuh bahasa verbal


karakter méntal mukiyo, bahasa tubuh bahasa verbal

Gaya hédonisme anak bangsa pribumi totok, tulen telah mengalami perubahan. Menyesuaikan diri dengan zaman. Kendati ybs masih tertinggal di landasan pacu. Semula sebagai paham yang beranggapan bahwa kesenangan adalah yang paling benar di dunia ini. Menjadi nikmat dunia adalah yang paling utama dan terasa mulia.

Ironis binti tragis, bahwasanya daya ideologi pelaku politik, sebatas asas menang ora menang, sing penting tetep éntuk-éntukan. Berkat format méntal mukiyo: durung ditakoni wis ngarani.

Bukan salah bunda mengandung. Bukan salah tanah air mengundang putra-putri asli daerah terbaik untuk maju béla negara, meruwat wibawa negara di laga kandang. Kesebelasan yang sarat kader karbitan, kader jenggot jauh periode sudah melakukan pola ‘belum meminang sudah menimang’.

Menu kampanye hitam, non-substantif, abal-abal menjadi karakter pesta demokrasi. Kian matang menjadikan kader partai bukan pilihan yang terbaik. Modal daya licik, mereka siap menjadi apa saja, di mana saja, kapan saja. Berpengalaman dengan hukum, menambah citra diri, nilai jual.

Periode 2014-2019 bukanlah suatu kemustahilan terjadinya akumulasi kedarutan bangsa dan negara. Rasa nasionalisme, patriotisme, heroisme menjurus ke arah global. Tampang lokal namun sarat ideologi interlokal.

Cerdas politik membutuhkan kejelian membaca peluang. Tidak perlu jadi petarung politik. Bebas biaya politik. Cukup siapkan, sediakan, siagakan, sigapkan diri – tidak perlu mikir – total melaksanakan skenario politik. Tak heran, jika ada stigma petugas partai bagi oknum kepala negara, presiden 2014-2019. Ingat bonus idéologi non-Pancasila, tak pakai lama vs tidak perlu mikir.

Karakter manusia politik dengan daya pikir, olah nalar, asah logika yang dominan menggunakan metoda glass box. Daya responsifnya bersifat spontan. Tanpa pikir panjang atau tanpa proses otak dan hati.

Praktik demokrasi Nusantara menghadirkan aneka aksi. Antara yang aneh dan lucu menjadi terpadu padan, seimbang. Antara yang menggelikan dan menjengkelkan sulit dibedakan. Antara yang rekayasa, manipulasi, modus dengan spontanitas, alami, wajar nyaris satu panggung. Tergantung persepsi mata telinga penggugah atau yang merasa tergugah. [HaéN]