Halaman

Jumat, 31 Oktober 2014

KURSI PANAS JADI LADANG EMAS

KURSI PANAS JADI LADANG EMAS


Wakil rakyat memang ahli memanfaatkan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Tanpa sungkan berbagai oknum melakukan kanibalisme, manipulasi maupun rekayasa ketiga fungsinya. Mereka memang tidak buta politik, bahkan kampiun di bidang jual janji. Manis mulut, kelakuan tak patut. Masa bakti lima tahun dirasa kurang, terlebih jika harus balik modal atau harus melakukan politik balas jasa dan balas budi.

Usai pelantikan sebagai angggota DPR, berebut posisi dalam Komisi, terutama yang basah. Kode etik hanya berlaku di atas kertas. Pergantian antar waktu atau kriteria lainnya menjadi do'a tersembunyi wakil rakyat. Kursi panas menjadi status resmi, karena sah secara hukum. Bahkan diperebutkan. Yang bersyukur yang kejatuhan kursi panas. Bak menemukan ladang emas tak bertuan.


Wakil rakyat mempunyai berbagai fungsi, tidak hanya 3, tergantung kreativitas ybs. Rakyat hanya mampu menunggu berakhirnya periode 2009-2014.[HaeN]
21 Juni 2011

Kamis, 30 Oktober 2014

5 Tipe PNS

5 tipe PNS dikaitkan dengan  5 hukum Islam wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram, sebagai cara yang praktis untuk mengukur dan menilai diri sendiri.

Tipe pertama “WAJIB”. Tipe PNS wajib ini memiliki ciri : keberadaan di kantor sangat disukai, dibutuhkan, diharapkan dan harus ada sehingga ketiadaannya sangat dirasakan sebagai kehilangan.

Tampilan yang sederhana, cara berfikir dan tutur kata menunjukkan kecerdasan. Mampu memberi motivasi dan memancing etos kerja, menghargai hak dan pendapat orang lain sehingga tiap orang akan merasa aman dan nyaman serta mendapat manfaat dengan keberadaannya.

Tipe kedua “SUNNAH”. Tipe PNS sunnah ini memiliki ciri : kehadiran dan keberadaan di kantor memang menyenangkan dan disukai, namun saat tidak hadir tidak ada yang merasa kehilangan.

Kontribusi PNS tipe ini nyata namun karena diminta. Tipe ini membutuhkan peningkatan kapasitas dan kualitas diri. Kepedulian terhadap pekerjaan karena disposisi, padahal inisiatif kerja sangat bermanfaat. Dengan modal tugas dan fungsi, seorang PNS bisa mulai berkontribusi, dari hal yang sekecil apa pun.

Tipe ketiga “MUBAH”. Tipe PNS mubah ini memiliki ciri :  ada dan tiada sama saja, artinya ketika ia masuk kerja atau pun tidak maka sama saja bagi teman sekantor.

Menjadi PNS mubadzir seperti ini karena tak mempunyai motivasi,  asal kerja,  tak memikirkan kualitas kerja. Banyak menuntut, daripada melaksanakan kewajibannya. Sehingga kehidupannya pun tak menarik datar-datar saja.

Dengan rotasi kerja untuk mendapatkan suasana baru diharapkan bisa meningkatkan semangatnya.

Tipe keempat “MAKRUH”. Tipe PNS makruh ini memiliki ciri : ada menimbulkan masalah tiada tak menjadi masalah, yaitu pegawai yang membuat masalah ketika masuk kerja, tidak pernah tuntas dalam tugas dan tidak masuk kerja tidak apa-apa.

Ironis, masih terdapat PNS bila ada di kantor akan mengganggu kinerja dan suasana kerja. Pekerjaan tak tuntas, bisa mengganggu sistem.  

Tipe kelima “HARAM”. Tipe PNS haram ini memiliki ciri : kehadiran sangat merugikan dan ketiadaan sangat diharapkan karena menguntungkan. Pegawai yang tidak disukai kehadirannya, saat diberikan tugas malah menambah masalah.

Pendek kata tipe ini adalah si trouble maker,  biang kerok. Selain bisa mengganggu sistem, juga bisa mempengaruhi kinerja perorangan.


Mengacu 5 tipe PNS untuk menginstropeksi diri, melihat dimana posisi kita. Niatkan memperbaiki sikap dan tabiat, karena manusia bisa mengubah perilaku dan tabiat menjadi lebih baik.

Rabu, 29 Oktober 2014

MENCARI FORMAT PENGEMBANGAN SDM BERDASARKAN ANALISA FAKTOR RISIKO DAN FAKTOR PERUBAHAN

Oleh : Herwin Nur, staf Bagian Perintal - Set. BPSDM


KILAS BALIK
Kita terjebak retorika, walau belum stigma, bahwa pengembangan SDM merupakan fungsi pendidikan dan pelatihan. Memang tidak begitu salah. Padahal kalau mau sedikit melongok ke dunia luar dipastikan wawasan kita akan bertambah. Atau kalau hanya berbasis pendidikan dan pelatihan kita berharap dapat melakukan sesuatu secara optimal. Terlebih mengingat para pelaku pembangunan meliputi aparatur negara, mitra kerja dan masyarakat. Kita pun masih terpaku pada target kuantitas dari pengembangan SDM melalui mekanisme pendidikan dan pelatihan. Sehingga keberhasilan pengembangan dinilai berdasarkan jumlah kelulusan. Tidak memasuki kuadran manfaat dan tidak menyentuh evaluasi teturn of investmen (ROI).

Dukungan formal melalui Bidang Pembangunan Aparatur Negara (Draft “Rencana Pembangunan Jangka Menengah (PJM) Tahun 2005-2009”, Bappenas) masih sebatas pada aparatur negara. Kondisi ini  justru membuka peluang bagi BPSDM untuk memformulasikan pelaku pembangunan lainnya untuk berkiprah atau memberikan kontribusi nyatanya.

Dari sisi lain, tingkat akumulasi kebutuhan nyata dan kemampuan nyata masyarakat akan bidang Kimpraswil sangat beragam karena adanya potensi dan keanekaragaman daerah. Hal lain yang perlu disikapi oleh  pemerintah kota / kabupaten adalah merubah metode konvensional dari teori mengeneralisasikan dan memarginalkan keinginan "want" menjadi teori "needs of publict demand". Teori konvensional hanya efektif untuk diterapkan pada tujuan tertentu saja dengan kondisi normal dan sasaran yang homogen, contoh sewaktu Repelita.

Sejarah pengembangan SDM bidang Kimpraswil masih dipengaruhi oleh target oriented. Kondisi ini dipengaruhi oleh lingkup departemen yang masih memberlakukan proyek oriented. Untuk mendapatkan suatu rumusan dan bentuk kegiatan, mau tak mau kita harus menghitung mundur dari sesuatu capaian yang telah dipatok. Kondisi ideal akan berbenturan dengan ketersediaan dana untuk BPSDM.

STRUKTUR ORGANISASI DAN STRATEGI         
Terjadi di tahun 2001, setelah struktur organisasi BPSDM selesai diputuskan barulah ditetapkan siapa yang akan mengisi kotak-kotak tersebut. Prosedur ini sangat lazim dan jamak dilakukan yang disebut sebagai pola strategy follows structure. Namun, dengan berat hati dapat disimpulkan bahwa strategi dikalahkan oleh organisasi yang disodorkan. Masalahnya, bagaimana mungkin tujuan dapat tercapai secara optimal? Artinya, memang birokrasi (diharapkan) disusun sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai tujuannya yang optimal.

Cara pencapaian target ataupun sasaran selama ini dilaksanakan secara prosedural, minimal berpegang atau adanya  Standard Operation Procedure (SOP). Karena dilaksanakan secara birokratis maka jika terjadi hambatan pada satu terminal atau mandeg disatu tahap akan mempengaruhi proses. Terbiasa pada kondisi pasif atau malah berulah status quo. Terkadang untuk bisa mencapai tujuan dibutuhkan terobosan maupun penyimpangan berupa jalan pintas, jalan alternatif, langkah zig-zag.

TANTANGAN PENGEMBANGAN SDM
Hakekat profesionalisme tidak bisa dimiliki oleh aparatur negara. Pada dasarnya format profesional tidak mengenal hambatan waktu dan ruang. Sebagai pegawai kita dibatasi oleh waktu dan ruang, berupa pensiun! Setelah pensiun yang masih melekat hanya kata “uang pensiun” yang justru menjadi beban negara. Bentuk dan aroma pengabdian langsung stop. Pengalaman sebagai pejabat tidak  bisa dijual di dunia pasca pegawai. Dengan adanya batas usia pensiun ini maka banyak pejabat yang menunggu waktu berharap untuk promosi, terlebih yang merasa telah memiliki berbagai persyaratan (misal telah menyelesaikan Diklatpim, telah mendapatkan bintang jasa, merasa kenal dengan pucuk pimpinan tertinggi, dsb), termasuk masuk dalam DUK (Daftar Urutan Kedekatan).

Pendidikan seumur hidup melalui sistem kediklatan seolah hambar larut dalam batas pensiun. Bahkan tumpukan sertifikat dan deretan gelar akademis tak mempan menghadapi kehidupan nyata.

Meskipun kegiatan pendidikan dan pelatihan bidang Kimpraswil berpeluang tumbuh lebih baik dan kestabilan struktur departemen dapat dipertahankan, minimal struktur standar departemen mengandung kegiatan pendidikan dan pelatihan, namun  di balik itu masih terdapat beberapa tantangan dan faktor risiko internal dan eksternal.

Di sisi eksternal, sebagai kekuatan yang muncul dari luar BPSDM, seperti: karakteristik kebijakan departemen, perkembangan teknologi informasi, perubahan-perubahan di pasar, otonomi daerah, tekanan sosial dan politik serta terdapat beberapa faktor risiko yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap prospek pengembangan SDM 2005-2009, antara lain :

Pertama, semakin tajamnya persaingan antar aparatur negara di tingkat departemen, meningkatnya otorisasi pelaksanaan diklat di tiap satminkal, maka  pelaksanaan diklat tidak didominasi oleh BPSDM (misal, tergantung instansi pembina untuk diklat fungsional, sebatas diklatpim tk. IV dan III, dsb). Kondisi ini dapat  mempengaruhi kinerja dan daya saing pelaku pembangunan bidang Kimpraswil terhadap tuntutan pembangunan dan semangat otonomi daerah.

Kedua, sebagai program penunjang dengan kemungkinan sampai peringkat juru kunci dapat menurunkan tingkat dan kerapan kegiatan pengembangan SDM, khususnya pada komitmen untuk meningkatkan kapasitas aparatur negara. Dukungan tidak sebatas dana, yang lebih kuat justru berupa komitmen pimpinan departemen.

Ketiga, kemungkinan mulai menciutnya bidang garap pembangunan bidang Kimpraswil di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Kondisi ini dapat menimbulkan tekanan ke atas terhadap penetapan kebijakan departemen. Tantangan pembangunan pada tahap pemanfaatan dan pemeliharaan.

Di sisi internal, sebagai kekuatan yang muncul dari dalam tubuh BPSDM, seperti : masalah/prospek karir, perilaku dan keputusan manajemen serta masih mencuatnya beberapa permasalahan dengan berbagai tingkat tatanan dan tantangan yang harus dikelola dengan bijak, meliputi :

Pertama, konsistensi dari implementasi program kebijakan pembangunan bidang Kimpraswil diharapkan dapat mengubah paradigma pengembangan SDM. Pengembangan SDM bagian integral dari sistem pembangunan bidang Kimpraswil. Pengembangan SDM secara multifungsi harus dikelola dengan lebih fokus, transparan dan bermanfaat.

Kedua, penyelesaian permasalahan struktural menyangkut kebijakan dalam penetapan perimbangan kegiatan pendidikan dan pelatihan, khususnya pada faktor penghambat akselerasi pengembangan SDM

Ketiga, di sisi pengembangan SDM belum optimalnya fungsi koordinasi, pengelolaan dan evaluasi. Hal ini karena adanya pejabat yang lebih banyak berkutat di belakang meja.

Keempat, menjaga konsistensi dan kesinambungan kebijakan pendayagunaan aparatur negara, baik kebijakan program maupun dukungan anggaran.

Kelima, proses transformasi kebijakan dan demokratisasi dalam bentuk sistem dan mekanisme dalam proses pemilihan peserta pendidikan dan pelatihan.

Dari berbagai evaluasi awal,  dapat disimpulkan kekuatan eksternal (kebijakan departemen) maupun kekuatan internal (keputusan manajemen untuk membiarkan lini yang idle capacity) mendorong munculnya kebutuhan BPSDM untuk melakukan perubahan.

SARAN TINDAK LANJUT
Agar proses perubahan sebagai upaya meminimalisir faktor risiko yang digulirkan di dalam organ BPSDM maka kemungkinan kesalahan potensial harus dihindari.  Khususnya jangan sampai terjebak pada pola strategy follows structure. Pencermatan dilakukan mulai dari :

Pertama, Rencana tindak perubahan dirancang secara dinamis. Bila tugas dan fungsi BPSDM tidak bisa menjawab tantangan pembangunan bidang Kimpraswil maka kebijakan pelaksanaan harus dinamis. Berbagai pihak yang terkait dengan perubahan (pejabat struktural dan mimbar bebas) perlu merancangkan perubahan dengan matang. Perubahan bersifat mengantisipasi terhadap perubahan yang terjadi di lapangan (di luar BPSDM). Berbagai langkah dinamis yang dapat dilakukan meliputi :
§  Menganalisa kondisi potensial yang dapat menentukan / mempengaruhi kebutuhan akan perubahan di lingkungan internal BPSDM.
§  Merumuskan tujuan yang ingin dicapai dari perubahan.
§  Memprediksi dampak dan manfaat yang mungkin muncul dengan adanya perubahan.
§  Menemukenali berbagai faktor yang dapat menghambat terjadinya perubahan dan cara mengatasinya.
§  Menyusun  strategi yang tepat untuk mensosialisasikan dan menggulirkan  perubahan.
§  Mempersiapkan parameter dan pendekatan yang akan digunakan untuk mengevaluasi perubahan.
§  Mengadakan  studi banding  ke BPSDM departemen lain yang telah berhasil mengelola perubahan.
§  Merumuskan masukan manajemen dari adanya perubahan.

Kedua, Bangun koalisi dan jejaring kerja yang solid di antara berbagai pihak yang terkait dengan perubahan. Para pejabat struktural dan tingkat pelaksana maupun pihak terkait perubahan lainnya  harus bekerja sama dalam sebuah tim yang solid dalam melaksanakan perubahan ini. Tim dimaksud untuk dapat meningkatkan dukungan terhadap perubahan yang digulirkan dan mencegah terjadinya responsif yang berkelebihan terhadap perubahan.

Ketiga, kelola responsif terhadap perubahan dengan berbagai pendekatan yang sesuai. Untuk memastikan bahwa proses perubahan dapat berlangsung sesuai dengan rencana, maka responsif yang muncul harus dapat diatasi, khususnya dengan adanya kemungkinan pejabat yang lari di tempat sampai staf yang bersifat kontraproduktif. Munculnya responsif dimiliki pimpinan yang tak mau tergoyang kedudukannya. Mereka lebih mengandalkan keberhasilan masa lampau bukannya melihat kenyataan di depan matanya.

Keempat, selain adanya jabatan struktural yang terkadang birokratis atau model kerja yang maunya terima jadi, tinggal lapor ke atasan langsung maka jelas perlu dibuat tim adhoc atau kedaruratan. Tim bekerja berdasarkan keahlian / ketrampilan, jadi bukan berdasarkan ex-officio alias karena jabatan. Pola kerja dengan membagi habis tugas dan pekerjan sudah harus ditinggalkan dan ditanggalkan. Wewenang yang melekat pada jabatan harus disertai dan diimbangi dengan peran yang jelas dan berkelanjutan.

Kelima, membuka pintu untuk menjalin kerja sama dalam rangkaian saling memberdayakan. Dimulai dengan peningkatan kapasitas dan fasilitas yang sudah dipunyai BPSDM, antara lain 29 Balai dan mekanisme pengeluaran sertifikat.

Keenam, dalam nuansa birokratis untuk mendapatkan hasil yang optimal hindari adanya pendelegasian / disposisi tugas secara berlapis-lapis bahkan sampai lini terakhir. Idealnya disposisi cukup turun satu tingkat (misalnya undangan untuk Eselon I bisa diwakilkan ke Eselon II saja, jangan sampai yang datang malah Eselon IV – kondisi ini bisa menimbulkan kesan tidak mengormati pihak pengundang!!!) serta harus dipahami mana tugas yang bersifat jabatan (bisa didelegasikan dan terbatas) dengan tugas yang bersifat perorangan atau personal (biasanya tidak bisa didelegasikan).


Dampak utama dari kesalahan yang dilakukan dalam mengelola perubahan adalah munculnya responsif dari para pegawai, khususnya pada lini pelaksana.  Tepatnya pada pegawai yang tidak mampu mengaktualisasikan diri atau mempunyai nilai jual. Responsif dimaksud adalah suatu bentuk reaksi, tanggap, peka, peduli atau respon atas perubahan. Responsif terhadap perubahan ini sangat beragam. Terlebih mungkin bagi mereka yang sebetulnya tidak menginginkan perubahan, tetapi karena posisinya terpaksa menerima. Bagi yang bersifat moderat dan tak mau repot biasanya jual nama pimpinan agar urusan lancar.

Selasa, 28 Oktober 2014

MITIGASI BENCANA MORAL

MITIGASI BENCANA MORAL

Industri musik Indonesia mudah dirangsang dengan masuknya unsur asing. Dengan dalih seni, maka masalah moral dibuat jadi samar-samar. Tanpa kehadiran penyanyi dan pemusik asing, Lady Gaga lokal pun sudah cukup meresahkan. Penonton dengan aroma minuman keras menjadi satu paket dengan acara panggung yang mengedepankan nafsu syahwat.


Ketegasan pemerintah adalah dalam memilah dan memilih unsur yang berdampak negatif [HaeN]. 23 Mei 2012

derita di balik berita

DERITA DI BALIK DERITA

Myanmar adalah negara yang ahli membuat rakyatnya menderita. Junta militer yang tidak menginginkan pihak sipil eksis sampai pemusnahan etnis dan agama minoritas, secara sistematis, sebagai praktek genosida di abad super modern.


Tindakan diskriminatif terhadap etnis yang marjinal, yaitu penindasan bahkan akan diusir terhadap 800 ribu etnis Muslim Rohingya, tidak sekedar praktek genosida, sekaligus melaksanakan kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi [HaeN]. 26 Juli 2012

JANGAN DIANAKTIRIKAN

JANGAN DIANAKTIRIKAN


Sebagai negara kepulauan, dikelilingi samudera, pemerintah maupun swasta secara terpadu menangani transportasi laut, dengan tarif sosial sampai tarif komersal, untuk angkutan penumpang maupun barang, untuk berbagai kepentingan lainnya. Transportasi laut jangan dianaktirikan [HaeN]. 4 oktober 2012

Senin, 27 Oktober 2014

UBAH, GUBAH, RUBAH DAN MUBAH

Beranda » Berita » Opini
Rabu, 03/12/2008 01:47

UBAH, GUBAH, RUBAH DAN MUBAH

Banyak manusia NKRI tertangkap mulut sedang melakukan pergunjingan tingkat lokal, di jalanan, di kantor sampai di panggung hiburan layar kaca. Motifasinya sangat sederhana, merasa dirinyalah yang paling baik, benar dan betul. Pelakunya sangat beragam dan beragama.

Ketika banjir parkir di beberapa daerah, tak ayal dari segi pemerintahan, kepala daerah ybs minta bantuan pemerintah pusat. Para pengungsi yang ditampung di tenda darurat mohon bantuan pemerintah setempat maupun uluran tangan dari sesama yang tidak tertimpa musibah.

Ketika UMR ditetapkan atau diputuskan oleh pemerintah, karena menyangkut kemaslahatan bersama, tak urung para buruh meradang dan unjuk raga. Namun secara internal ketenagakerjaan, ulah dan sikap para pemilik perusahaan yang jelas dan terang merugikan hak pekerja, kemungkinan besar mereka tak berdaya. Ibarat sudah jatuh dari tangga, ketimpa tangga dituduh merusak tangga tetangga.

Ketika struktur kehidupan ini sudah dibingkai dengan waktu, kita memang bisanya suka mengeluh dan melenguh, mudah menggerutu, gampang mengumpat dan mendamprat, senang berkeluh kesah (bukannya berpeluh basah karena ikhtiar, peras keringat, banting tulang), gemar bergunjing dan berbisik ria, hobi mencari kambing hitam, terbiasa malas dan menerima apa adanya, acap meratap tiap ucap, ahli meyindir tanpa pikir, budaya mengakali diri sendiri, tradisi membenarkan apa yang dikira, dinalar, dikata, ditindak, diperbuat dan dilakukannya.

Ketika kita kehilangan daya upaya, kehabisan akal sehat, kekurangan tenaga dan energi, ketiadaan nurani dan kalbu, kebangkrutan moral dan etika, krisis kepercayaan dan panutan, kerugian harapan dan masa depan, ketidaksadaran bahwa apa yang kita lakukan itu boleh atau tidak.

Ketika kita dibandingkan dengan negara lain, bahkan di tingkat ASEAN, kita masih menang dan unggul dalam jumlah penduduk, penggundulan hutan dan pembalakan liar, Negara tekorup, Di bidang, aspek, tatanan, tingkat, dan taraf kehidupan kita dikenal selalu sebagai juara umum PON.

Ketika kita


PENINGKATAN GIZI ANGGOTA KOMISI KONSTITUSI (KK)

Beranda » Berita » Opini
Jumat, 31/10/2003 10:05

PENINGKATAN GIZI ANGGOTA KOMISI KONSTITUSI (KK)

Tidak semua lapisan masyarakat kenal orang, tahu wajah maupun hafal nama anggota KK - apalagi kinerjanya. Kalaupun mereka muncul melalui jasa media massa terbatas hanya pejabat terasnya saja. Bahkan sang pejabat teras selalu muncul bersamaan dan memberikan komentar yang nyaris mirip. Di NKRI ini yang namanya korupsi bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, untuk bayar kontrakan bedeng, untuk biaya anak masuk sekolah dasar, untuk beli susu bayi tetapi lebih ke skala melipatgandakan kekayaan. Korupsi hanya dimiliki mereka yang memiliki "kesempatan emas" atau dengan sekali dayung dua tiga kesempatan terpenuhi.

Begitu juga dengan anggota KK. Peluang atas kesempatan emas sebagai ekses dari segudang kewenangan dalam bongkar pasang UUD 1945 ternganga luas. Terlebih menyangkut bahasa hukum yang sangat luwes - sebagai bahasa yang tergantung penafsiran, tergantung siapa yang memesan, tergantung bagaimana membunyikannya, tergantung siapa yang diuntungkan, tergantung kekuatan politik yang menyetir negara ini, tergantung aliran dana yang bisa membiayai munculnya pasal-pasal, tergantung selera penguasa negara yang menjadi dalang di balik batu, tergantung setiap kata bermakna sejuta rasa.

Dengan dalih di atas, walau tak ada yang menyangsikan kinerja KK, diperlukan antisipasi moral agamais. Amandemen atas UUD RI 1945 yang dilakukan oleh MPR akan diamanden lagi dalam waktu yang singkat. Kondisi menjelang Pemilu 2004 tentu rawan dengan intrik politik, khususnya yang ingin mempertahankan pretasi kekuasaannya. Konflik terbuka antar kader sudah bisa dilacak sejak awal reformasi. Konflik fisik antar lawan parpol sudah menjadi berita umum. Konflik terbuka antar elite politik penyelenggara negara semakin merunyamkan suhu politik. Jangan-jangan KK menjadi kekuatan tersendiri, terlebih jika hanya menyentuh kepentingan ketatanegaraan saja.

UUD RI 1945 bak pondasi negara yang secara teknis memang bisa diinjeksi atau dilakukan perkuatan sehubungan dengan daya dukung dan daya tampungnya. Kelebihan muatan negara ini karena banyaknya beban berupa parpol atau perorangan yang ingin naik pentas. Mereka melihat negara ini sebagai tambang emas, sebahai lahan yang diperas dan dikuras habis-habisan. Akhirnya biaya demokrasi tak sebanding dengan hasil manfaatnya.

Anggota KK tidak hanya kaya akan disiplin berfikir, justru yang diperlukan adalah modal rasa, bisa merasa bukannya merasa bisa, bagaimana menjalankan amanah sebagai anggota KK secara bertanggung jawab dunia akhirat. Jangan menganggap KK sebagai mata pencaharian utamanya, sebagai sambilan yang melimpahkan keuntungan finasial, sebagai sabetan yang membuahkan kenikmatan duniawi, sebagai daripada menganggur berpangku tangan lebih baik melipat rupiah. Siapa iri. Rakyat pun berharap jangan sampai anggota KK pensiun di tengah jalan malah mati kapiran. (hn)


Bila oknum KAHMI jadi tirani

Beranda » Berita » Opini
Senin, 08/03/2004 15:20
BILA OKNUM KAHMI JADI TIRANI

Di negeri subur loh jinawi
Di negeri makmur buaian ibu pertiwi
Yang sarat dengan galian janji
Mulai dari berdiri di atas kaki sendiri
Sampai jebakan reformasi

Mengusung keranda demokrasi
Kita boleh bicara dengan nurani
Kita boleh mengutamakan budi pekerti
Kita boleh bicara asal bunyi

Asal kita tahu diri
Di mana kita berdiri
Untuk siapa kita jadi abdi
Kita boleh punya
cita-cita melambung tinggi
Membubung menyengat matahari
Tak berjejak tak menapak bumi

Apa saja asal dapat komisi
Apa saja asal bisa tarik upeti
Apa saja asal jadi menteri
Asal punya nyali
Dan setumpuk sisa harga diri

Kita boleh menumpuk kursi
Untuk mewujudkan mimpi
Kita boleh memupuk percaya dan yakin diri
Kita boleh sodok kanan kiri Kita boleh injak kian kemari
Kita boleh jilat sana sini
Kita boleh merancang korupsi

Agar aman dan penuh kendali
Agar bebas dan penuh sensasi
Seperti sedang terjadi
Adalah seorang oknum KAHMI
Ketika menjabat menteri
Melahap dana nonbujeter Bulog tanpa risi

Untuk berbagai kepentingan berbasis ambisi
Untuk kepentingan partai
Untuk mendukung kepentingan pribadi

Ketika hukum mengantarnya ke bui
Muncul watak asli
Tanpa basa basi
Menjadi sosok tirani
Pasal mana yang bebas jual beli
Kalau perlu main besi kalau perlu libas pakai amunisi

Ketika menang di tingkat kasasi
Barang bukti 40 milyar utuh kembali
Tinggal hukum gigit jari
Tinggal keadilan beku tanpa permisi
Tinggal KAHMI menjilat ludah di muka sendiri
Tinggal kita jadi anak tiri
Di pangkuan ibu kita Kartini. (hn)


Minggu, 26 Oktober 2014

Pemilu 2004 dan teori PORKAS

Beranda » Berita » Opini
Senin, 15/12/2003 08:01

Pemilu 2004 dan teori PORKAS

Menghadapi Pemilu 2004 emosi kita diacak-acak, diaduk-aduk dan diajak kembali ke masa silam ketika PORKAS (Peras Otak Rencana Kaya Akibatnya Sinting) menjadi pilihan terobosan utama untuk menjadi kaya tanpa merasa bodoh. Hanya bermodal keahlian mengotak-atik angka dari berbagai simbol kehidupan. Bahkan tingkah laku dan ocehan orang gila bisa dijadikan sumber inspirasi. Semua kejadian yang aneh dan rutin, yang muncul tiap hari, bisa dijadikan angka jadi.

Media massa ikut dalam proses pembodohan massa dengan menyajikan rumus dan ramalannya. Kini, 24 angka urut dari 1 sampai dengan 24 mempengaruhi nurani kita. Nama kodian, gambar lambang asal jadi tanpa sentuhan citra, asas tanpa gagas sampai nama ketua umum yang tidak tenar atau layak jual (kecuali yang sudah mulai usang) mendominasi 24 parpol peserta Pemilu 2004. Akhirnya, ketika tidak ada alternatif yang disajikan, ketika pilihan seperti membeli kucing dalam karung maka banyak kiat ditrapkan. Mulai dari cara yang populer sampai keupaya yang mustahil menurut skala akal manusia. Bahkan makhluk yang termasuk koloni berakal pun lebih mengandalkan bisikan dari dunia lain.

Kembali ke PORKAS, pakem ini bisa jadi primbon dan acuan untuk memilih parpol. Asal kita jangan kesleo dan salah ucap karena artinya sudah direformasi menjadi Pilih Orang Rakus Korupsi Akan Subur (PORKAS). Ingat akan tokoh Orba berjuluk Sudomo yang berkaitan dengan SDSB (Sudomo Datang Semua Beres) - saudara kandung PORKAS. Memang dalam Pemilu 2004 kita Susah Untuk Dapat Orang Maupun Orsospol (SUDOMO) yang agar tidak PORKAS versi reformasi. Selamat memilih orang / parpol. (hn)


TEORI MENDIRIKAN PASAR TRADISIONAL vs MENDIRIKAN PARTAI POLITIK

Beranda » Berita » Opini
Rabu, 04/12/2002 07:06

TEORI MENDIRIKAN PASAR TRADISIONAL vs MENDIRIKAN PARTAI POLITIK

Berdasarkan pengetahuan umum yang dikantongi secara turun temurun oleh pribumi bangsa ini yaitu bahwa tempat jual beli sembako secara otomatis akan tergelar di suatu lokasi yang sudah dan mungkin sering terjadi transaksi, dari waktu ke waktu. Asumsi dasar inilah yang merupakan cikal bakal terwujudnya pasar tradisional. Secara lokasi mungkin tidak memiliki nilai komersial atau bisnis. Namun masyarakat sekitar mengetahui lokasi tersebut dan dapat dijangkau oleh pembeli dari berbagai pelosok.

Rakyat dapat menjual hasil panenannya yang meruah dan di tempat yang sama pula dapat membeli berbagai keperluan rumah tangga lainnya, terkadang bisa terjadi barter barang. Pasokan barang dari pihak luar relatif lancar dengan harga merakyat. Rakyat sudah merasakan keberadaan dan manfaat "pasar" seperti ini. Masing-masing pihak, khususnya penjual dan pembeli dalam posisi win-win solution. Dalam kondisi seperti inilah bangunan pasar bisa diwujudkan.

Artinya sudah sampai kesimpulan akhir bahwa sudah layak kalau bangunan pasar direalisasikan pembangunannya, sebagai fasilitasi terhadap kegiatan yang memang sudah ada dan diharapkan secara rutin beroperasi tanpa dipengaruhi oleh waktu pasaran.

Wadah dibuat setelah jelas ada isinya, jelas ada kegiatan perpasaran atau minimal tanpa wadah pun sebetulnya kegiatan tetap berjalan. Jika suatu pasar dibangun di suatu lokasi dengan harapan akan terjadi proses jual beli jelas sulit terjadi. Bahwa pasar dibangun untuk memancing proses jual beli merupakan konsep yang tak layak. Kendati lokasinya strategis dengan berbagai kemudahan pencapaian. Beda dengan jalan beraspal dibangun untuk memancing pertumbuhan wilayah. Kenyataan banyak jalan seperti ini yang nyaris tak ada pengguna potensialnya. Adanya campur tangan secara politis dalam pembangunan akan memberikan nilai tersendiri yang mungkin tak menguntungkan secara ekonomis.

Mubazir akhirnya menjadi nilai gugat atas keberadaannya. Jelasnya bahwa mendirikan pasar dengan penuh harapan untuk mendapatkan pelanggan atau terjadinya suatu proses jual beli sebetulnya bukan suatu hal yang mustahil. Banyak terobosan atau kiat lanjutan untuk menggiring calon pembeli atau calon penjual dalam membalik kemustahilan tersebut.

Justru yang mustahil secara tradisional adalah mendirikan Partai Politik (parpol) dengan mengharapkan dapat dukungan massa dan dana. Padahal reputasinya jelas belum ada, dedikasinya masih sebatas konsep. Janji-janjinya mungkin sudah menggunung dan berhembus. Parpol jenis ini hanya mengejar pemilu saja. Anehnya, koq ada 221 parpol yang siap tempur di Pemilu 2004. Nama parpol susah diingat dan banyak yang mirip, apalagi lambangnya. Semua mempunyai tujuan akhir yang sama : memenangkan pemilu ! (tepatnya menang dalam pemilu 2004).

Kata kakek, parpol jenis ini daya juangnya hanya sebatas dan seputar perut.

Kata nenek, parpol ragam ini daya tahannya hanya selepas dan sebau kentut.

Begitu perut terisi lepaslah kentut. Maka parpol tsb bukan menjadi milik siapa-siapa. Memang, secara tradisional bangsa dan rakyat Indonesia sudah jenuh dan jemu dengan berbagai cekokan arogansi parpol. Baik yang sedang berkuasa atau yang kasak-kusuk cari kekuasaan. Lalu lintas kehidupan dengan ratusan parpol selain memacetkan arus demokrasi juga memberikan peluang kepada penjahat kambuhan untuk memanfaatkan situasi. (hn)


STRATEGI TERITORIAL


Sejarah mencatat, setiap pergolakan fisik di pulau Jawa, di perkotaan dapat diatasi secara militer atau keamanan sesuai batasan waktu tertentu. Mudahnya aksesibilitas, jumlah personil yang ada, dukungan fasilitas akan menunjang operasional.


Kasus bentrok antarwarga di kabupaten Lampung Selatan, atau konflik horizontal di luar pulau Jawa pada umumnya, membutuhkan effort khusus. Pendekatan kekerasan hanya akan memperparah keadaan. Perlu strategi teritorial yang melibatkan birokrasi, aparat keamanan, tokoh masyarakat dan adat, kelompok masyarakat. Preventif atau pencegahan awal secara sistematis, menerus, dan tidak perlu menunggu kejadian dan korban baru bertindak [HaeN]. 5 november 2012

LAPOR MALING KE SARANG MALING

LAPOR MALING KE SARANG MALING


Ironis, fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan DPR dalam prakteknya menjadi fungsi Rp. Sebagai pabrik Rp bagi oknum anggota DPR sampai fraksi atau parpolnya. BUMN lapor diperas anggota DPR ke BK-DPR ibarat lapor maling ke sarang maling. Serahkan saja ke pengadilan rakyat [HaeN]. 14 november 2012

BUKAN TRANSPORTASI RAKYAT

BUKAN TRANSPORTASI RAKYAT

Penggunaan hutang asing acap dipakai untuk pembangunan yang bersifat komersial, berorientasi pada keuntungan, waktu konstruksi tahun jamak. Jepang sebagai negara pemberi  utangan, biasanya mensyaratkan : teknologi, material utama, dan SDM Jepang wajib dipakai. Porsi Rp ditanggung bersama pemprov Jakarta dan pemerintah pusat, berimbas pada tarif tiket.


Biaya operasi dan pemeliharaan MRT di Jakarta sebagai fungsi komersial, yang menghubungkan antar lokasi komersial, kelayakan ekonomisnya pada tarif tiket di atas kemampuan pengguna. Pengguna akhir MRT bukan pada para komuter atau pengelaju, tetapi pada strata sosial setaraf wisatawan [HaeN]. 5 desember 2012