Oleh : Herwin Nur, staf Bagian
Perintal - Set. BPSDM
KILAS BALIK
Kita terjebak retorika, walau belum stigma, bahwa pengembangan SDM merupakan fungsi pendidikan dan pelatihan.
Memang tidak begitu salah. Padahal kalau mau sedikit melongok ke dunia luar
dipastikan wawasan kita akan bertambah. Atau kalau hanya berbasis pendidikan
dan pelatihan kita berharap dapat melakukan sesuatu secara optimal. Terlebih
mengingat para pelaku pembangunan meliputi aparatur negara, mitra kerja dan
masyarakat. Kita pun masih terpaku pada target kuantitas dari pengembangan SDM
melalui mekanisme pendidikan dan pelatihan. Sehingga keberhasilan pengembangan
dinilai berdasarkan jumlah kelulusan. Tidak memasuki kuadran manfaat dan tidak
menyentuh evaluasi teturn of investmen
(ROI).
Dukungan formal melalui Bidang
Pembangunan Aparatur Negara (Draft “Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (PJM) Tahun 2005-2009”,
Bappenas) masih sebatas pada aparatur negara. Kondisi ini justru membuka peluang bagi BPSDM untuk
memformulasikan pelaku pembangunan lainnya untuk berkiprah atau memberikan
kontribusi nyatanya.
Dari sisi lain, tingkat akumulasi
kebutuhan nyata dan kemampuan nyata masyarakat akan bidang Kimpraswil sangat
beragam karena adanya potensi dan keanekaragaman daerah. Hal lain yang perlu
disikapi oleh pemerintah kota / kabupaten adalah
merubah metode konvensional dari teori mengeneralisasikan dan memarginalkan
keinginan "want" menjadi teori "needs
of publict demand". Teori
konvensional hanya efektif untuk diterapkan pada tujuan tertentu saja dengan
kondisi normal dan sasaran yang homogen, contoh sewaktu Repelita.
Sejarah pengembangan SDM bidang
Kimpraswil masih dipengaruhi oleh target oriented. Kondisi ini dipengaruhi oleh
lingkup departemen yang masih memberlakukan proyek oriented. Untuk mendapatkan
suatu rumusan dan bentuk kegiatan, mau tak mau kita harus menghitung mundur
dari sesuatu capaian yang telah dipatok. Kondisi ideal akan berbenturan dengan
ketersediaan dana untuk BPSDM.
STRUKTUR ORGANISASI DAN STRATEGI
Terjadi di tahun 2001, setelah
struktur organisasi BPSDM selesai diputuskan barulah ditetapkan siapa yang akan
mengisi kotak-kotak tersebut. Prosedur ini sangat lazim dan jamak dilakukan
yang disebut sebagai pola strategy follows structure. Namun, dengan berat hati dapat disimpulkan bahwa strategi
dikalahkan oleh organisasi yang disodorkan. Masalahnya, bagaimana mungkin
tujuan dapat tercapai secara optimal? Artinya, memang birokrasi (diharapkan) disusun
sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai tujuannya yang optimal.
Cara pencapaian target ataupun
sasaran selama ini dilaksanakan secara prosedural, minimal berpegang atau
adanya Standard Operation Procedure
(SOP). Karena dilaksanakan secara birokratis maka jika terjadi hambatan pada
satu terminal atau mandeg disatu tahap akan mempengaruhi proses. Terbiasa pada
kondisi pasif atau malah berulah status quo. Terkadang untuk bisa mencapai tujuan dibutuhkan terobosan
maupun penyimpangan berupa jalan pintas, jalan alternatif, langkah zig-zag.
TANTANGAN PENGEMBANGAN SDM
Hakekat profesionalisme tidak bisa
dimiliki oleh aparatur negara. Pada dasarnya format profesional tidak mengenal
hambatan waktu dan ruang. Sebagai pegawai kita dibatasi oleh waktu dan ruang,
berupa pensiun! Setelah pensiun yang masih melekat hanya kata “uang pensiun”
yang justru menjadi beban negara. Bentuk dan aroma pengabdian langsung stop.
Pengalaman sebagai pejabat tidak bisa
dijual di dunia pasca pegawai. Dengan adanya batas usia pensiun ini maka banyak
pejabat yang menunggu waktu berharap untuk promosi, terlebih yang merasa telah
memiliki berbagai persyaratan (misal telah menyelesaikan Diklatpim, telah
mendapatkan bintang jasa, merasa kenal dengan pucuk pimpinan tertinggi, dsb),
termasuk masuk dalam DUK (Daftar Urutan Kedekatan).
Pendidikan seumur hidup melalui
sistem kediklatan seolah hambar larut dalam batas pensiun. Bahkan tumpukan
sertifikat dan deretan gelar akademis tak mempan menghadapi kehidupan nyata.
Meskipun kegiatan pendidikan dan
pelatihan bidang Kimpraswil berpeluang tumbuh lebih baik dan kestabilan
struktur departemen dapat dipertahankan, minimal struktur standar departemen
mengandung kegiatan pendidikan dan pelatihan, namun di balik itu masih terdapat beberapa tantangan
dan faktor risiko internal dan eksternal.
Di sisi eksternal, sebagai kekuatan yang muncul dari luar BPSDM, seperti:
karakteristik kebijakan departemen, perkembangan teknologi informasi,
perubahan-perubahan di pasar, otonomi daerah, tekanan sosial dan politik serta
terdapat beberapa faktor risiko yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap
prospek pengembangan SDM 2005-2009, antara lain :
Pertama, semakin tajamnya
persaingan antar aparatur negara di tingkat departemen, meningkatnya otorisasi
pelaksanaan diklat di tiap satminkal, maka
pelaksanaan diklat tidak didominasi oleh BPSDM (misal, tergantung
instansi pembina untuk diklat fungsional, sebatas diklatpim tk. IV dan III,
dsb). Kondisi ini dapat mempengaruhi
kinerja dan daya saing pelaku pembangunan bidang Kimpraswil terhadap tuntutan
pembangunan dan semangat otonomi daerah.
Kedua, sebagai program
penunjang dengan kemungkinan sampai peringkat juru kunci dapat menurunkan
tingkat dan kerapan kegiatan pengembangan SDM, khususnya pada komitmen untuk meningkatkan
kapasitas aparatur negara. Dukungan tidak sebatas dana, yang lebih kuat justru
berupa komitmen pimpinan departemen.
Ketiga, kemungkinan mulai
menciutnya bidang garap pembangunan bidang Kimpraswil di tingkat provinsi
maupun kabupaten/kota. Kondisi ini dapat menimbulkan tekanan ke atas terhadap
penetapan kebijakan departemen. Tantangan pembangunan pada tahap pemanfaatan
dan pemeliharaan.
Di sisi internal, sebagai kekuatan yang muncul dari dalam tubuh BPSDM,
seperti : masalah/prospek karir, perilaku dan keputusan manajemen serta masih
mencuatnya beberapa permasalahan dengan berbagai tingkat tatanan dan tantangan
yang harus dikelola dengan bijak, meliputi :
Pertama, konsistensi dari
implementasi program kebijakan pembangunan bidang Kimpraswil diharapkan dapat
mengubah paradigma pengembangan SDM. Pengembangan SDM bagian integral dari
sistem pembangunan bidang Kimpraswil. Pengembangan SDM secara multifungsi harus
dikelola dengan lebih fokus, transparan dan bermanfaat.
Kedua, penyelesaian
permasalahan struktural menyangkut kebijakan dalam penetapan perimbangan
kegiatan pendidikan dan pelatihan, khususnya pada faktor penghambat akselerasi
pengembangan SDM
Ketiga, di sisi
pengembangan SDM belum optimalnya fungsi koordinasi, pengelolaan dan evaluasi.
Hal ini karena adanya pejabat yang lebih banyak berkutat di belakang meja.
Keempat, menjaga
konsistensi dan kesinambungan kebijakan pendayagunaan aparatur negara, baik
kebijakan program maupun dukungan anggaran.
Kelima, proses
transformasi kebijakan dan demokratisasi dalam bentuk sistem dan mekanisme
dalam proses pemilihan peserta pendidikan dan pelatihan.
Dari berbagai evaluasi awal,
dapat disimpulkan kekuatan eksternal (kebijakan departemen) maupun kekuatan
internal (keputusan manajemen untuk membiarkan lini yang idle
capacity) mendorong
munculnya kebutuhan BPSDM untuk melakukan perubahan.
SARAN TINDAK LANJUT
Agar proses perubahan sebagai upaya meminimalisir faktor
risiko yang digulirkan di dalam organ BPSDM maka kemungkinan kesalahan
potensial harus dihindari. Khususnya jangan sampai terjebak pada pola strategy follows structure. Pencermatan
dilakukan mulai dari :
Pertama, Rencana tindak perubahan dirancang secara dinamis. Bila
tugas dan fungsi BPSDM tidak bisa menjawab tantangan pembangunan bidang Kimpraswil
maka kebijakan pelaksanaan harus dinamis. Berbagai pihak yang terkait dengan
perubahan (pejabat struktural dan mimbar bebas) perlu merancangkan perubahan
dengan matang. Perubahan bersifat mengantisipasi terhadap perubahan yang
terjadi di lapangan (di luar BPSDM). Berbagai langkah dinamis yang dapat
dilakukan meliputi :
§
Menganalisa
kondisi potensial yang dapat menentukan / mempengaruhi kebutuhan akan perubahan
di lingkungan internal BPSDM.
§
Merumuskan
tujuan yang ingin dicapai dari perubahan.
§
Memprediksi
dampak dan manfaat yang mungkin muncul dengan adanya perubahan.
§ Menemukenali
berbagai faktor yang dapat menghambat terjadinya perubahan dan cara
mengatasinya.
§ Menyusun
strategi yang tepat untuk mensosialisasikan dan menggulirkan perubahan.
§ Mempersiapkan
parameter dan pendekatan yang akan digunakan untuk mengevaluasi perubahan.
§ Mengadakan studi banding ke BPSDM departemen lain
yang telah berhasil mengelola perubahan.
§ Merumuskan masukan
manajemen dari adanya perubahan.
Kedua,
Bangun koalisi dan jejaring kerja yang solid di antara berbagai pihak yang
terkait dengan perubahan. Para pejabat
struktural dan tingkat pelaksana maupun pihak terkait perubahan lainnya
harus bekerja sama dalam sebuah tim yang solid dalam melaksanakan perubahan
ini. Tim dimaksud untuk dapat meningkatkan dukungan terhadap perubahan yang
digulirkan dan mencegah terjadinya responsif yang berkelebihan terhadap
perubahan.
Ketiga,
kelola responsif terhadap perubahan dengan berbagai pendekatan yang sesuai.
Untuk memastikan bahwa proses perubahan dapat berlangsung sesuai dengan
rencana, maka responsif yang muncul harus dapat diatasi, khususnya dengan adanya
kemungkinan pejabat yang lari di tempat sampai staf yang bersifat
kontraproduktif. Munculnya responsif dimiliki pimpinan yang tak mau tergoyang
kedudukannya. Mereka lebih mengandalkan keberhasilan masa lampau bukannya
melihat kenyataan di depan matanya.
Keempat,
selain adanya jabatan struktural yang terkadang birokratis atau model kerja
yang maunya terima jadi, tinggal lapor ke atasan langsung maka jelas perlu
dibuat tim adhoc atau kedaruratan.
Tim bekerja berdasarkan keahlian / ketrampilan, jadi bukan berdasarkan ex-officio alias karena jabatan. Pola
kerja dengan membagi habis tugas dan pekerjan sudah harus ditinggalkan dan
ditanggalkan. Wewenang yang melekat pada jabatan harus disertai dan diimbangi
dengan peran yang jelas dan berkelanjutan.
Kelima,
membuka pintu untuk menjalin kerja sama dalam rangkaian saling memberdayakan.
Dimulai dengan peningkatan kapasitas dan fasilitas yang sudah dipunyai BPSDM,
antara lain 29 Balai dan mekanisme pengeluaran sertifikat.
Keenam,
dalam nuansa birokratis untuk mendapatkan hasil yang optimal hindari adanya
pendelegasian / disposisi tugas secara berlapis-lapis bahkan sampai lini
terakhir. Idealnya disposisi cukup turun satu tingkat (misalnya undangan untuk
Eselon I bisa diwakilkan ke Eselon II saja, jangan sampai yang datang malah
Eselon IV – kondisi ini bisa menimbulkan kesan tidak mengormati pihak
pengundang!!!) serta harus dipahami mana tugas yang bersifat jabatan (bisa
didelegasikan dan terbatas) dengan tugas yang bersifat perorangan atau personal
(biasanya tidak bisa didelegasikan).
Dampak utama dari kesalahan yang
dilakukan dalam mengelola perubahan adalah munculnya responsif dari para
pegawai, khususnya pada lini pelaksana. Tepatnya pada pegawai yang tidak
mampu mengaktualisasikan diri atau mempunyai nilai jual. Responsif dimaksud
adalah suatu bentuk reaksi, tanggap, peka, peduli atau respon atas perubahan. Responsif
terhadap perubahan ini sangat beragam. Terlebih mungkin bagi mereka yang
sebetulnya tidak menginginkan perubahan, tetapi karena posisinya terpaksa menerima. Bagi
yang bersifat moderat dan tak mau repot biasanya jual nama pimpinan agar urusan lancar.