Bahasa Politik
Judul di atas,
sesuai judul berita di halaman utama/pertama Republika, Kamis, 3 Oktober 2014.
Kesan yang diharapkan adalah bahwa PDIP sebagai juara umum pemilu legislatif 9
April 2014 (23.681.471 suara atau 18,85%) sekaligus pekerja partainya muncul
sebagai pemenang tunggal di pilpres 9 Juli 2014 (70.997.833 suara atau 53,15%),
dengan besar hati, ikhlas hati, rela hati maupun legawa melepas jatah ketua DPR
ke pihak yang tidak bernasib sama.
Pengalaman PDIP
selama satu dekade (sepuluh tahun), 2004-2009 dan 2009-2014, sebagai oposisi
setengah hati, oposisi banci, yaitu menolak masuk jalur pemerintah. Menolak
jatah pembantu presiden, sekaligus melirik jabatan gubernur (perpanjangan
tangan Pemerintah) dan jabatan bupati/walikota melalui kader/
dedengkot/perkerja/suruhan partai.
Ketum PDIP bangga
partainya keluar sebagai juara umum, mengingatkan kita bahwa Indonesia selalu
keluar sebagai juara umum PON (Pekan Olah raga Nasional). Kontras dengan posisi
Indonesia di Asian Games ke-17 di Incheon, Korea Selatan, 19 September – 4
Oktober 2014, kita tidak bisa menepuk dada, apalagi sesumbar.
Rapat Kerja Nasional (Rakernas) ke-IV PDIP menetapkan Megawati
Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDIP periode 2015-2020. Megawati menyatakan
telah mendengarkan aspirasi para pengurus PDIP di daerah yang memintanya
menjadi ketua umum lagi. "Aspirasi itu diwakili seluruh jajaran tiga
pilar di PDIP, yaitu struktur, legislatif, dan eksekutif," kata
Megawati di arena Rakernas PDIP di Semarang, Sabtu, 20 September 2014. Artinya, Ketua Umum PDIP hanya untuk trah
Sukarno.
Pengamat politik dari Centre for Strategic of International Studies,
J. Kristiadi, mengatakan penempatan tokoh dan trah keluarga dalam kepengurusan
partai politik hanya akan menimbulkan kasta politik baru. Alasannya, ini akan menutup jalannya transformasi
ketokohan. “Akan terjadi pembusukan di dalam internal partai,” kata
Kristiadi saat dihubungi Tempo, Ahad, 21 September
2014 (dicuplik dari sumber http://www.tempo.co/).
Jujur hati, kita
bisa belajari dari zaman Orde Baru. Pak Harto dengan sukses dan gemilang
menjadikan partai (saati itu Golkar) sebagai kendaraan politik untuk menjadi
presiden. Atas permintaan rakyat, MPR mengangkat pak Harto tetap jadi presiden
atau jadi presiden tetap. Umur teknis Partai Demokrat yang berhasil membawa SBY
dua periode menjadi RI-1, rentan keropos dari dalam karena ulah kadernya
terjegal pasal tipikor.
Bahasa Rakyat
Di industri politik, politik sebagai kegiatan super-produktif, menghasilkan
uang. Tepatnya sebagai kolam uang. Ingin tangkapan banyak, umpannnya jangan
tanggung. Mengandalkan alat pancing dengan hasil tak layak, tak sebanding.
Pakai kapal keruk. Ingin menyorot kontribusi, kiprah dan kinerja kawanan
parpolis, di mana saja mereka buka praktek (trias politika), jangan pakai kaca
mata moral.
Di industri politik, dari hulu sampai hilir, rakyat dibutuhkan secara
kuantitas saat pesta demokrasi lima tahun sekali. Bakal calon wakil rakyat,
bakal calon kepala daerah sampai bakal calon kepala negara, mendadak peduli
rakyat. Turun ke lapangan, blusukan ke kantong-kantong rakyat, merangkul
rakyat, merebut simpati rakyat. Ujung-ujungnya agar rakyat memilihnya saat hari
coblosan. Rakyat diposisikan hanya sebagai
pembeli produk parpol yang loyal, bukan sebagai order produk parpol.
Menjadi wakil rakyat,
kepala daerah maupun kepala negara di pasca Reformasi cukup berat dan sarat
aturan main secara politis. Salah tindak bisa ditindak, salah pilih orang bisa
jadi bumerang, salah hafal bisa terjerat pasal, salah kata bisa menjadi fakta,
salah fatwa bisa menjadi terdakwa. Tidak hanya pada prasyarat, tetapi juga khususnya
pada waktu menerima amanah sebagai wakil/pemimpin rakyat. Konflik internal
parpol malah membuktikan bagaimana urusan dapurnya.
Tidak semua babakan kehidupan bisa dipelintir apalagi dipolitisir. Tidak
semua kejadian patut ditayangkan sebagai ajang gengsi percaturan politik
tingkat nasional. Tidak semua peristiwa menjadikan kita semakin merana, atau
semakin waspada, siapa mencurigai siapa. Bahasa jelasnya, rakyat masih
dijadikan obyek politik. Fungsi rakyat hanya sebagai pelengkap penderita
jalannya revolusi mental [HaeN].
-----------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar