Halaman

Jumat, 10 Oktober 2014

cara gampang rusak moral

CARA GAMPANG RUSAK MORAL
3 Mei 2011

Melalui membaca akan mempengaruhi pikiran, mengubah daya pikir, dan mengolah akal pikir. Dengan “membaca” alam secara langsung kita segera tahu apa yang sedang terjadi, bahkan memprediksi apa yang akan terjadi. Panca indera sangat membantu proses membaca. Otak akan merekam apa yang kita baca. Dengan melihat atau mendayagunakan indera mata, otak kanan dan otak kiri kita akan lebih cepat merespon dan bereaksi serta kemungkinan mengendap kuat, terutama substansi yang merangsang daya khayal, imajinasi, atau yang membangkitkan nafsu berbasis syahwat. Orang bijak bilang bahwa gambar bisa mewakili seribu kata. Apalagi gambar hidup, walau tanpa kata atau suara, orang bisa “menikmati” dengan leluasa.

Dulu, kalau kita ingin nonton gambar hidup, harus ke gedung bioskop, layar tancap atau misbar pada acara hajatan. Nonton film, terutama produk luar negeri, terlebih film peraih Oscar, masuk box office, atau sedang booming kita bahkan harus antri beli tiket. Kemajuan teknologi menyebabkan kita tak perlu menatap layar putih untuk memanjakan mata. Kehadiran layar kaca di rumah dapat menayangkan berbagai ragam film, berdasarkan skala umur, produksi dari mana saja. Bahkan, kalau kurang puas hanya sekali nonton, kita bisa putar berulang dari keping rekaman film. Banyak pilihan film, mulai dari peningkatan kapasitas moral sampai yang menjerumuskan moral sampai ambang bawah (dekadensi moral).

Industri film Nusantara memang tidak mencemari lingkungan, tidak menimbulkan polusi udara, tidak mengeluarkan gas berbahaya, tidak memproduk kebisingan, tidak mengganggu habitat, tidak melanggar pemanfaatn tata ruang, dsb. Namun dari sisi dan aspek lain, bisa memancing dan merangsang berbagai malapetaka. Masalahnya sangat simple, industri film dikatakan sukses jika berhasil meraup Rp melebihi ongkos produksi. Bahkan hukum ekonomi diberlakukan, dengan Rp cekak utawa pas-pasan untuk biaya produksi namun bisa menyerap Rp dari hasil jual film.  Otak cerdik produsen film memang berakal panjang dan selalu tak kurang akal. Bagaimana membuat filmnya laris, bukannya membuat film yang berklas, berbobot, berkualitas, berkarakter yang secara akumulatif akan menyedot penonton. Semboyan produsen film : yang penting laku Bung! Soal mutu, jadi nomer terakhir.

Tak dapat dipungkiri, banyak masyarakat Indonesia, dari berbagai strata, lebih senang menikmati tubuh pemain film yang diumbar daripada menonton jalannya cerita. Skenario film, terutama yang menampilkan artis dengan kategori atau peringkat artis porno, tidak perlu njlimet dan rumit. Bahkan dalam pengambilan gambar tak perlu berkali-kali. Walau artis porno, produk lokal maupun impor dari luar, main di film tidak porno, tetap akan menarik minat penonton. Imej artis porno menjadi nilai jual, bahkan lebih laku dibanding peraih piala Citra maupun sekaliber Oscar. Bukan salah artis porno membintangi film Indonesia, karena memang hobi dan profesinya. Salahkan produser film, tukang sensor film atau tepatnya apakah ada pasal di UU 44 tahun 2008 tentang PORNOGRAFI yang bisa menjeratnya?

Penikmat film di rumah, mulai dari bayi sampai kakek/nenek. Pramuwisma tak ikut ketinggalan. Dekadensi moral tidak hanya melanda masyarakat perkotaan yang notabene punya filter; namun bisa muncul pula pada masyarakat di pedesaan yang masih memegang tradisi dan budaya timur. Celakanya, dampak nonton film porno, tidak hanya pada  lingkungan rakyat biasa, bisa merambah ke wakil rakyat, dsb.


Jika moral sudah runtuh sampai ambang bawah, minimal sampai lampu kuning, sangat susah untuk mengembalikan pada kondisi semula [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar