CARA
GAMPANG RUSAK MORAL
3 Mei 2011
Melalui membaca
akan mempengaruhi pikiran, mengubah daya pikir, dan mengolah akal pikir. Dengan
“membaca” alam secara langsung kita segera tahu apa yang sedang terjadi, bahkan
memprediksi apa yang akan terjadi. Panca indera sangat membantu proses membaca.
Otak akan merekam apa yang kita baca. Dengan melihat atau mendayagunakan indera
mata, otak kanan dan otak kiri kita akan lebih cepat merespon dan bereaksi serta
kemungkinan mengendap kuat, terutama substansi yang merangsang daya khayal,
imajinasi, atau yang membangkitkan nafsu berbasis syahwat. Orang bijak bilang bahwa
gambar bisa mewakili seribu kata. Apalagi gambar hidup, walau tanpa kata atau
suara, orang bisa “menikmati” dengan leluasa.
Dulu, kalau kita
ingin nonton gambar hidup, harus ke gedung bioskop, layar tancap atau misbar pada acara hajatan. Nonton film,
terutama produk luar negeri, terlebih film peraih Oscar, masuk box office, atau
sedang booming kita bahkan harus antri beli tiket. Kemajuan teknologi menyebabkan
kita tak perlu menatap layar putih untuk memanjakan mata. Kehadiran layar kaca
di rumah dapat menayangkan berbagai ragam film, berdasarkan skala umur,
produksi dari mana saja. Bahkan, kalau kurang puas hanya sekali nonton, kita
bisa putar berulang dari keping rekaman film. Banyak pilihan film, mulai dari
peningkatan kapasitas moral sampai yang menjerumuskan moral sampai ambang bawah
(dekadensi moral).
Industri film
Nusantara memang tidak mencemari lingkungan, tidak menimbulkan polusi udara,
tidak mengeluarkan gas berbahaya, tidak memproduk kebisingan, tidak mengganggu
habitat, tidak melanggar pemanfaatn tata ruang, dsb. Namun dari sisi dan aspek
lain, bisa memancing dan merangsang berbagai malapetaka. Masalahnya sangat
simple, industri film dikatakan sukses jika berhasil meraup Rp melebihi ongkos
produksi. Bahkan hukum ekonomi diberlakukan, dengan Rp cekak utawa pas-pasan
untuk biaya produksi namun bisa menyerap Rp dari hasil jual film. Otak cerdik produsen film memang berakal
panjang dan selalu tak kurang akal. Bagaimana membuat filmnya laris, bukannya
membuat film yang berklas, berbobot, berkualitas, berkarakter yang secara
akumulatif akan menyedot penonton. Semboyan produsen film : yang penting laku
Bung! Soal mutu, jadi nomer terakhir.
Tak dapat
dipungkiri, banyak masyarakat Indonesia, dari berbagai strata, lebih senang
menikmati tubuh pemain film yang diumbar daripada menonton jalannya cerita.
Skenario film, terutama yang menampilkan artis dengan kategori atau peringkat
artis porno, tidak perlu njlimet dan rumit. Bahkan dalam pengambilan gambar tak
perlu berkali-kali. Walau artis porno, produk lokal maupun impor dari luar,
main di film tidak porno, tetap akan menarik minat penonton. Imej artis porno
menjadi nilai jual, bahkan lebih laku dibanding peraih piala Citra maupun
sekaliber Oscar. Bukan salah artis porno membintangi film Indonesia, karena
memang hobi dan profesinya. Salahkan produser film, tukang sensor film atau
tepatnya apakah ada pasal di UU 44 tahun 2008 tentang PORNOGRAFI yang bisa
menjeratnya?
Penikmat film di
rumah, mulai dari bayi sampai kakek/nenek. Pramuwisma tak ikut ketinggalan. Dekadensi moral tidak
hanya melanda masyarakat perkotaan yang notabene punya filter; namun bisa
muncul pula pada masyarakat di pedesaan yang masih memegang tradisi dan budaya
timur. Celakanya, dampak nonton film porno, tidak hanya pada lingkungan rakyat biasa, bisa merambah ke
wakil rakyat, dsb.
Jika moral sudah
runtuh sampai ambang bawah, minimal sampai lampu kuning, sangat susah untuk
mengembalikan pada kondisi semula [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar