Rabu, 04/12/2002 07:06
TEORI MENDIRIKAN
PASAR TRADISIONAL vs MENDIRIKAN PARTAI POLITIK
Berdasarkan pengetahuan
umum yang dikantongi secara turun temurun oleh pribumi bangsa ini yaitu bahwa
tempat jual beli sembako secara otomatis akan tergelar di suatu lokasi yang
sudah dan mungkin sering terjadi transaksi, dari waktu ke waktu. Asumsi dasar
inilah yang merupakan cikal bakal terwujudnya pasar tradisional. Secara lokasi
mungkin tidak memiliki nilai komersial atau bisnis. Namun masyarakat sekitar
mengetahui lokasi tersebut dan dapat dijangkau oleh pembeli dari berbagai
pelosok.
Rakyat dapat menjual
hasil panenannya yang meruah dan di tempat yang sama pula dapat membeli
berbagai keperluan rumah tangga lainnya, terkadang bisa terjadi barter barang.
Pasokan barang dari pihak luar relatif lancar dengan harga merakyat. Rakyat
sudah merasakan keberadaan dan manfaat "pasar" seperti ini.
Masing-masing pihak, khususnya penjual dan pembeli dalam posisi win-win
solution. Dalam kondisi seperti inilah bangunan pasar bisa diwujudkan.
Artinya sudah sampai
kesimpulan akhir bahwa sudah layak kalau bangunan pasar direalisasikan pembangunannya,
sebagai fasilitasi terhadap kegiatan yang memang sudah ada dan diharapkan
secara rutin beroperasi tanpa dipengaruhi oleh waktu pasaran.
Wadah dibuat setelah
jelas ada isinya, jelas ada kegiatan perpasaran atau minimal tanpa wadah pun
sebetulnya kegiatan tetap berjalan. Jika suatu pasar dibangun di suatu lokasi
dengan harapan akan terjadi proses jual beli jelas sulit terjadi. Bahwa pasar
dibangun untuk memancing proses jual beli merupakan konsep yang tak layak.
Kendati lokasinya strategis dengan berbagai kemudahan pencapaian. Beda dengan
jalan beraspal dibangun untuk memancing pertumbuhan wilayah. Kenyataan banyak
jalan seperti ini yang nyaris tak ada pengguna potensialnya. Adanya campur
tangan secara politis dalam pembangunan akan memberikan nilai tersendiri yang
mungkin tak menguntungkan secara ekonomis.
Mubazir akhirnya
menjadi nilai gugat atas keberadaannya. Jelasnya bahwa mendirikan pasar dengan
penuh harapan untuk mendapatkan pelanggan atau terjadinya suatu proses jual
beli sebetulnya bukan suatu hal yang mustahil. Banyak terobosan atau kiat
lanjutan untuk menggiring calon pembeli atau calon penjual dalam membalik
kemustahilan tersebut.
Justru yang mustahil
secara tradisional adalah mendirikan Partai Politik (parpol) dengan
mengharapkan dapat dukungan massa dan dana. Padahal reputasinya jelas belum
ada, dedikasinya masih sebatas konsep. Janji-janjinya mungkin sudah menggunung
dan berhembus. Parpol jenis ini hanya mengejar pemilu saja. Anehnya, koq ada
221 parpol yang siap tempur di Pemilu 2004. Nama parpol susah diingat dan
banyak yang mirip, apalagi lambangnya. Semua mempunyai tujuan akhir yang sama :
memenangkan pemilu ! (tepatnya menang dalam pemilu 2004).
Kata kakek, parpol
jenis ini daya juangnya hanya sebatas dan seputar perut.
Kata nenek, parpol
ragam ini daya tahannya hanya selepas dan sebau kentut.
Begitu perut terisi
lepaslah kentut. Maka parpol tsb bukan menjadi milik siapa-siapa. Memang,
secara tradisional bangsa dan rakyat Indonesia sudah jenuh dan jemu dengan
berbagai cekokan arogansi parpol. Baik yang sedang berkuasa atau yang
kasak-kusuk cari kekuasaan. Lalu lintas kehidupan dengan ratusan parpol selain
memacetkan arus demokrasi juga memberikan peluang kepada penjahat kambuhan
untuk memanfaatkan situasi. (hn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar