Halaman

Minggu, 26 Oktober 2014

TEORI MENDIRIKAN PASAR TRADISIONAL vs MENDIRIKAN PARTAI POLITIK

Beranda » Berita » Opini
Rabu, 04/12/2002 07:06

TEORI MENDIRIKAN PASAR TRADISIONAL vs MENDIRIKAN PARTAI POLITIK

Berdasarkan pengetahuan umum yang dikantongi secara turun temurun oleh pribumi bangsa ini yaitu bahwa tempat jual beli sembako secara otomatis akan tergelar di suatu lokasi yang sudah dan mungkin sering terjadi transaksi, dari waktu ke waktu. Asumsi dasar inilah yang merupakan cikal bakal terwujudnya pasar tradisional. Secara lokasi mungkin tidak memiliki nilai komersial atau bisnis. Namun masyarakat sekitar mengetahui lokasi tersebut dan dapat dijangkau oleh pembeli dari berbagai pelosok.

Rakyat dapat menjual hasil panenannya yang meruah dan di tempat yang sama pula dapat membeli berbagai keperluan rumah tangga lainnya, terkadang bisa terjadi barter barang. Pasokan barang dari pihak luar relatif lancar dengan harga merakyat. Rakyat sudah merasakan keberadaan dan manfaat "pasar" seperti ini. Masing-masing pihak, khususnya penjual dan pembeli dalam posisi win-win solution. Dalam kondisi seperti inilah bangunan pasar bisa diwujudkan.

Artinya sudah sampai kesimpulan akhir bahwa sudah layak kalau bangunan pasar direalisasikan pembangunannya, sebagai fasilitasi terhadap kegiatan yang memang sudah ada dan diharapkan secara rutin beroperasi tanpa dipengaruhi oleh waktu pasaran.

Wadah dibuat setelah jelas ada isinya, jelas ada kegiatan perpasaran atau minimal tanpa wadah pun sebetulnya kegiatan tetap berjalan. Jika suatu pasar dibangun di suatu lokasi dengan harapan akan terjadi proses jual beli jelas sulit terjadi. Bahwa pasar dibangun untuk memancing proses jual beli merupakan konsep yang tak layak. Kendati lokasinya strategis dengan berbagai kemudahan pencapaian. Beda dengan jalan beraspal dibangun untuk memancing pertumbuhan wilayah. Kenyataan banyak jalan seperti ini yang nyaris tak ada pengguna potensialnya. Adanya campur tangan secara politis dalam pembangunan akan memberikan nilai tersendiri yang mungkin tak menguntungkan secara ekonomis.

Mubazir akhirnya menjadi nilai gugat atas keberadaannya. Jelasnya bahwa mendirikan pasar dengan penuh harapan untuk mendapatkan pelanggan atau terjadinya suatu proses jual beli sebetulnya bukan suatu hal yang mustahil. Banyak terobosan atau kiat lanjutan untuk menggiring calon pembeli atau calon penjual dalam membalik kemustahilan tersebut.

Justru yang mustahil secara tradisional adalah mendirikan Partai Politik (parpol) dengan mengharapkan dapat dukungan massa dan dana. Padahal reputasinya jelas belum ada, dedikasinya masih sebatas konsep. Janji-janjinya mungkin sudah menggunung dan berhembus. Parpol jenis ini hanya mengejar pemilu saja. Anehnya, koq ada 221 parpol yang siap tempur di Pemilu 2004. Nama parpol susah diingat dan banyak yang mirip, apalagi lambangnya. Semua mempunyai tujuan akhir yang sama : memenangkan pemilu ! (tepatnya menang dalam pemilu 2004).

Kata kakek, parpol jenis ini daya juangnya hanya sebatas dan seputar perut.

Kata nenek, parpol ragam ini daya tahannya hanya selepas dan sebau kentut.

Begitu perut terisi lepaslah kentut. Maka parpol tsb bukan menjadi milik siapa-siapa. Memang, secara tradisional bangsa dan rakyat Indonesia sudah jenuh dan jemu dengan berbagai cekokan arogansi parpol. Baik yang sedang berkuasa atau yang kasak-kusuk cari kekuasaan. Lalu lintas kehidupan dengan ratusan parpol selain memacetkan arus demokrasi juga memberikan peluang kepada penjahat kambuhan untuk memanfaatkan situasi. (hn)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar