FAKTOR AJAR DONGKRAK GEMAR MENULIS
KILAS BALIK
Kemajuan teknologi komunikasi menyebabkan orang tahu apa
yang sedang terjadi di belahan bumi lainnya, pada saat bersamaan. Pertandingan
sepak bola klas dunia bisa dinikmati jelang subuh. Di sisi lain, orang
dimanjakan pendengaran dan penglihatannya. Batita bisa bergoyang tatkala
mendengarkan lagu ndangdhut, atau burung kicau tak kalah ributnya dengar musik
hingar bingar.
Anak belajar bicara dengan mengulang kata-kata yang
didengar dari media kaca. Hardikan, makian, cacian, umpatan, omelan, sumpah
serapah, serta deretan kata jorok lainnya dengan gampang diingat anak dan
ditirukan dengan tak kalah gaya dan garang.
Seolah banyak faktor yang bisa memacu dan memicu
perkembangan dan pertumbuhan anak. Di pihak lain, orang tua harus pandai-pandai
memilih dan memilah berbagai tayangan, atau gambar di media cetak agar tak
meracuni jiwa anak.
Bagaimana dengan anak, yang besar dan menjadi dewasa
secara alami. Anak yang berkembang tanpa campur tangan teknologi, yang bisa menjadi
bumerang bagi kehidupannya kelak, apakah beda dengan anak yang terbiasa akrab
dengan teknologi.
BERBAGI PERAN
Anggaran pendidikan minimal 20% masuk APBN, seolah
pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah, seolah pemerintah pemegang
otoritas dan hak paten pendidikan, pengajaran, pembelajaran atau apapun
sebutannya. Kita lihat, banyak kementerian negara / lembaga di luar Depdiknas, yang
menyelenggarakan pendidikan formal, walau bukan pendidikan dasar. Sekolah kejuruan tak kalah hebohnya
mempromosikan diri, bisa mencetak pekerja yang handal dan tangguh. Para
alumninya bisa diterima di perusahaan besar dan bonafid serta tersebar
senusantara. Kalau ingin melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, mereka
bisa bekerja sambil kuliah. Terlebih banyak PTS yang menyediakan ijazah atau
gelar akademik, bukannya menawarkan ilmu. Orang terfokus untuk mengejar ijazah
ketimbang cari ilmu. Di lingkungan PNS, ijazah S2 sangat bermanfaat bagi staf
yang ingin naik golongan, menjadi golongan Pembina, yang mungkin sulit diraih
melalui jenjang jabatan struktural.
Pasca proklamasi 17 Agustus 1945, gelar akademis menjadi
darah biru baru atau dewa baru. Bahkan belum lulus pun banyak yang sudah
dipesan. Pasca reformasi, dengan title di depan dan di belakang nama si empunya
bukan jaminan bisa diterima kerja, dan bisa kerja! Sekolah susah dan mahal,
cari kerja lebih susah lagi.
Di masyarakat, ada kisi-kisi orang untuk sukses dengan
modal dengkul, dengan semangat dan ketekunan, mulai dari merangkak. Meneruskan
tradisi dan budaya mulai dari tanah, di tanah dan berakhir sebagai tanah.
Artinya, untuk mencapai ketinggian tertentu, basis,
pondasi atau dasarnya harus kuat, kokoh dan stabil. Tinggal bagaimana
pemerintah, masyarakat dan sekolah memposisikan diri dalam menghadapai
pertarungan politik.
Pembagian peran antara pemerintah, masyarakat dan sekolah
tidak seperti sistem estafet. Masing-masing bergerak di jalur dan lajur yang
sama, mempunyai subyek yang sama. Diharapkan saling sinerjis. Memang pemerintah
menghadapai dilema, antara sebagai regulator, eksekutor dan sekaligus mengawasi
jalannya pendidikan nasional. Standar pelayanan minimal (SPM) malah memojokkan
pemerintah untuk membangun gedung sekolah, khususnya 9 tahun wajib belajar, gedung
SD dan SMP.
MULAI DARI BACA
Bukan sekedar membaca huruf, angka atau simbol lainnya.
Tanda alam, gejala alamiah, pertanda zaman, kode bencana yang harus ditafsirkan
secara arif. Apa perlu modal, jelas iya. Dengan kaca mata yang salah, hasil
tafsirannya bisa bertolak belakang. Dengan pengetahuan yang setengah-setengah,
hasil rekamannya juga setengah jadi.
Akibat bimbingan yang salah, akan melahirkan watak yang serba salah. Termasuk
banyak yang merasa bisa. Bisa lebih cepat, lebih baik dan lebih tegas.
Kondisi sekarang, missal, kalau kita perhatikan tingkah
laku kawanan politisi atau gerombolan politikus sipil sesekali jangan memakai
kaca mata moral. Ada eufisme, ada retorika dalam politik, sampai ada obrolan
dan bualan politik. Kalau semua bidang kehidupan dipolitisir, maka tak ada yang
salah, tak ada yang benar.
Kehidupan ini ada yang bisa diformulasikan secara mathematis,
ada yang bisa dijabarkan secara dramatis, ada yang bisa dirumuskan secara
ekonomis, ada yang bisa distrukturkan berdasarkan hukum sebab akibat, ada yang
bisa dibakukan bak resep kuliner, serta sisanya baru kita ketahui setelah kita
meliwatinya. Kita baru merasa, atau bisa merasa setelah sadar. Coba kalau tahu
sejak tadi, kalau tahu sejak dulu. Atau kalau tahu jadinya seperti sekarang,
pasti semua anak manusia akan berusaha sekuat tenaga. Kehidupan tak akan
berulang, hanya ganti lokasi.
Menyesal, mungkin karena salah koalisi, termasuk
bersekutu dengan setan dan menyekutukan Allah.
TUGAS TULIS
Mana mungkin anak zaman reformasi, tingkat SD, disuruh
menulis pengalamannya. Apalagi pengalaman libur di hari Ahad, kumpul bersama
keluarga atau main di gang-gang bersama anak sebaya dan senasib. Di sekolahan,
bisa jadi guru kelabakan untuk menugaskan muridnya membuat tulisan. Sulit
mengkaitkan dengan mata pelajaran yang ada, atau lebih celaka sang guru sendiri
tidak gemar menulis. Kecuali kalau punya sertifikat guru. Murid harus
dikondisikan sejak awal duduk di bangku sekolah, untuk mampu melihat dan
merekam apa yang paling disukai dalam bentuk tulisan.
Tugas tulisan, untuk membentuk watak koalisi, bisa
dikerjakan bersama. Antar kelompok bisa diadakan kompetisi menulis. Atau untuk
membangkitkan selera curhat, murid bisa ditugaskan menulis uneg-unegnya. Mulai
dari sekolahnya jauh, transport susah sampai kesulitan dalam belajar.
Peran guru sangat dominan dalam tugas tulis. Penilaian
tidak berakhir dengan memberikan angka tertentu. Tetapi pada bagaimana proses
selanjutnya, untuk apa atau manfaat dari budaya menulis. Sisi lain dari gemar
menulis, selain mulai dari gemar membaca, bisa untuk menyatakan isi hatinya
dengan cara tersembunyi, diam-diam. Ada korelasi antara bisa bicara, gemar
membaca, dan bisa menulis. Tak kurang orang yang pandai menulis, ternyata
mengalami kesulitan kalau disuruh berbicara. Begitu juga sebaliknya, pintar
ngomong, kalau disuruh menulis apa yang akan disampaikan malah bengong.
Di rumah, kesibukan yang dilakukan oleh orang tua yang
dilihat tiap hari, akan membekas di hati anak. Tak mungkin kita hanya sekedar
main suruh, main perintah. Prinsipnya, mengajak anak gemar menulis mulai dari
mengajak anak untuk menulis. Kalau orang tua mempunyai kebiasaan membaca,
menulis, diskusi dalam keluarga, tak
ayal anak punya modal dasar. (hn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar