Halaman

Sabtu, 11 Oktober 2014

FAKTOR AJAR DONGKRAK GEMAR MENULIS

FAKTOR AJAR DONGKRAK GEMAR MENULIS


KILAS BALIK
Kemajuan teknologi komunikasi menyebabkan orang tahu apa yang sedang terjadi di belahan bumi lainnya, pada saat bersamaan. Pertandingan sepak bola klas dunia bisa dinikmati jelang subuh. Di sisi lain, orang dimanjakan pendengaran dan penglihatannya. Batita bisa bergoyang tatkala mendengarkan lagu ndangdhut, atau burung kicau tak kalah ributnya dengar musik hingar bingar.

Anak belajar bicara dengan mengulang kata-kata yang didengar dari media kaca. Hardikan, makian, cacian, umpatan, omelan, sumpah serapah, serta deretan kata jorok lainnya dengan gampang diingat anak dan ditirukan dengan tak kalah gaya dan garang.

Seolah banyak faktor yang bisa memacu dan memicu perkembangan dan pertumbuhan anak. Di pihak lain, orang tua harus pandai-pandai memilih dan memilah berbagai tayangan, atau gambar di media cetak agar tak meracuni jiwa anak.

Bagaimana dengan anak, yang besar dan menjadi dewasa secara alami. Anak yang berkembang tanpa campur tangan teknologi, yang bisa menjadi bumerang bagi kehidupannya kelak, apakah beda dengan anak yang terbiasa akrab dengan teknologi.

BERBAGI PERAN
Anggaran pendidikan minimal 20% masuk APBN, seolah pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah, seolah pemerintah pemegang otoritas dan hak paten pendidikan, pengajaran, pembelajaran atau apapun sebutannya. Kita lihat, banyak kementerian negara / lembaga di luar Depdiknas, yang menyelenggarakan pendidikan formal, walau bukan pendidikan dasar.  Sekolah kejuruan tak kalah hebohnya mempromosikan diri, bisa mencetak pekerja yang handal dan tangguh. Para alumninya bisa diterima di perusahaan besar dan bonafid serta tersebar senusantara. Kalau ingin melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, mereka bisa bekerja sambil kuliah. Terlebih banyak PTS yang menyediakan ijazah atau gelar akademik, bukannya menawarkan ilmu. Orang terfokus untuk mengejar ijazah ketimbang cari ilmu. Di lingkungan PNS, ijazah S2 sangat bermanfaat bagi staf yang ingin naik golongan, menjadi golongan Pembina, yang mungkin sulit diraih melalui jenjang jabatan struktural.

Pasca proklamasi 17 Agustus 1945, gelar akademis menjadi darah biru baru atau dewa baru. Bahkan belum lulus pun banyak yang sudah dipesan. Pasca reformasi, dengan title di depan dan di belakang nama si empunya bukan jaminan bisa diterima kerja, dan bisa kerja! Sekolah susah dan mahal, cari kerja lebih susah lagi.

Di masyarakat, ada kisi-kisi orang untuk sukses dengan modal dengkul, dengan semangat dan ketekunan, mulai dari merangkak. Meneruskan tradisi dan budaya mulai dari tanah, di tanah dan berakhir sebagai tanah.

Artinya, untuk mencapai ketinggian tertentu, basis, pondasi atau dasarnya harus kuat, kokoh dan stabil. Tinggal bagaimana pemerintah, masyarakat dan sekolah memposisikan diri dalam menghadapai pertarungan politik.

Pembagian peran antara pemerintah, masyarakat dan sekolah tidak seperti sistem estafet. Masing-masing bergerak di jalur dan lajur yang sama, mempunyai subyek yang sama. Diharapkan saling sinerjis. Memang pemerintah menghadapai dilema, antara sebagai regulator, eksekutor dan sekaligus mengawasi jalannya pendidikan nasional. Standar pelayanan minimal (SPM) malah memojokkan pemerintah untuk membangun gedung sekolah, khususnya 9 tahun wajib belajar, gedung SD dan SMP.

MULAI DARI BACA
Bukan sekedar membaca huruf, angka atau simbol lainnya. Tanda alam, gejala alamiah, pertanda zaman, kode bencana yang harus ditafsirkan secara arif. Apa perlu modal, jelas iya. Dengan kaca mata yang salah, hasil tafsirannya bisa bertolak belakang. Dengan pengetahuan yang setengah-setengah, hasil rekamannya  juga setengah jadi. Akibat bimbingan yang salah, akan melahirkan watak yang serba salah. Termasuk banyak yang merasa bisa. Bisa lebih cepat, lebih baik dan lebih tegas.

Kondisi sekarang, missal, kalau kita perhatikan tingkah laku kawanan politisi atau gerombolan politikus sipil sesekali jangan memakai kaca mata moral. Ada eufisme, ada retorika dalam politik, sampai ada obrolan dan bualan politik. Kalau semua bidang kehidupan dipolitisir, maka tak ada yang salah, tak ada yang benar.

Kehidupan ini ada yang bisa diformulasikan secara mathematis, ada yang bisa dijabarkan secara dramatis, ada yang bisa dirumuskan secara ekonomis, ada yang bisa distrukturkan berdasarkan hukum sebab akibat, ada yang bisa dibakukan bak resep kuliner, serta sisanya baru kita ketahui setelah kita meliwatinya. Kita baru merasa, atau bisa merasa setelah sadar. Coba kalau tahu sejak tadi, kalau tahu sejak dulu. Atau kalau tahu jadinya seperti sekarang, pasti semua anak manusia akan berusaha sekuat tenaga. Kehidupan tak akan berulang, hanya ganti lokasi.

Menyesal, mungkin karena salah koalisi, termasuk bersekutu dengan setan dan menyekutukan Allah.

TUGAS TULIS
Mana mungkin anak zaman reformasi, tingkat SD, disuruh menulis pengalamannya. Apalagi pengalaman libur di hari Ahad, kumpul bersama keluarga atau main di gang-gang bersama anak sebaya dan senasib. Di sekolahan, bisa jadi guru kelabakan untuk menugaskan muridnya membuat tulisan. Sulit mengkaitkan dengan mata pelajaran yang ada, atau lebih celaka sang guru sendiri tidak gemar menulis. Kecuali kalau punya sertifikat guru. Murid harus dikondisikan sejak awal duduk di bangku sekolah, untuk mampu melihat dan merekam apa yang paling disukai dalam bentuk tulisan.

Tugas tulisan, untuk membentuk watak koalisi, bisa dikerjakan bersama. Antar kelompok bisa diadakan kompetisi menulis. Atau untuk membangkitkan selera curhat, murid bisa ditugaskan menulis uneg-unegnya. Mulai dari sekolahnya jauh, transport susah sampai kesulitan dalam belajar.

Peran guru sangat dominan dalam tugas tulis. Penilaian tidak berakhir dengan memberikan angka tertentu. Tetapi pada bagaimana proses selanjutnya, untuk apa atau manfaat dari budaya menulis. Sisi lain dari gemar menulis, selain mulai dari gemar membaca, bisa untuk menyatakan isi hatinya dengan cara tersembunyi, diam-diam. Ada korelasi antara bisa bicara, gemar membaca, dan bisa menulis. Tak kurang orang yang pandai menulis, ternyata mengalami kesulitan kalau disuruh berbicara. Begitu juga sebaliknya, pintar ngomong, kalau disuruh menulis apa yang akan disampaikan malah bengong.


Di rumah, kesibukan yang dilakukan oleh orang tua yang dilihat tiap hari, akan membekas di hati anak. Tak mungkin kita hanya sekedar main suruh, main perintah. Prinsipnya, mengajak anak gemar menulis mulai dari mengajak anak untuk menulis. Kalau orang tua mempunyai kebiasaan membaca, menulis, diskusi dalam keluarga, tak  ayal anak punya modal dasar. (hn)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar