2014-2019, Politik Untuk Bangsa vs
Bangsa Untuk Politik
Beda Tipis
Media penyiaran televisi dengan gegap gempita,
gilang gemilang, dan gitang tak kepalang berhasil mendudukan koruptor dan
pesohor dalam satu kuadran, dalam satu kategori, dalam satu strata hak asasi
manusia, ujung-ujungnya meningkatkan rating atau peringkat. Berbagai acara
berbasis dialog, diskusi dan debat dengan bintang tamu atau nara sumber adalah
koruptor atau pesohor.
Mantan Ketua Umum PB-HMI, Anas Urbaningrum, berkoar
dan berikrar ingin digantung di Monas. Di pihak lain, Ahok sebagai penjaga
Monas tidak menanggapi. Ahok atau pemprov DKI Jakarta lebih gemar mencabut
pentil ban mobil yang parkir sembarang tempat, walau sudah bayar ke tukang
parkir liar.
Rakyat yang belum mempunyai hak pilih pun,
akhirnya bingung menentukan apa bedanya Anas dengan Ahok. Seolah kedua anak
bangsa ini menjadi maskot atau nilai jual stasiun tv swasta. Berita tentang
Anas dalam kemasan minimal selalu ditayangkan ulang untuk membuat opini.
Gebrakan, gaya dan komunikasi Ahok dalam berbagai acara sekitar birokrasi
menjadi penyedap stasiun tv swasta.
Tabiat investor media massa adalah ingin agar
bangsa Indonesia melihat politik atau partai politik adalah binatang permakan
segala, atau multi fungsi, atau hanya sebagai alat belaka. Atau diam-diam
mengail di air keruh. Konflik internal parpol, perseteruan antar parpol sampai
tingkah laku petinggi parpol tak luput dari bidikan awak pers. Asas yang
dipraktekkan kawanan pers adalah kalau tidak pilih kutub menghujat, pilih
sisanya yaitu kutub menjilat.
Masyarakat Politik
Para pengamat politik yakin ada korelasi,
keterkaitan timbal balik antara demokrasi yang sehat dengan partai politik yang
sehat. Pemilu legislatif Rabu, 9 April 2014 dan pilpres Rabu, 9 Juli 2014, tidak
hanya merupakan titik kritis bahwa pemilih memilih orang, bukan partai politik.
Sekaligus membuktikan industri politik Indonesia didominasi investor politik,
khususnya berskala internasional. Secara ekonomi dan politik, Indonesia di
bawah tekanan kekuatan, pengaruh bahkan dapat didikte oleh negara adikuasa. Ekonomi dan
politik merupakan pasangan tidak resmi yang bisa menentukan nasib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Stigma uneducated people yang diterapkan kepada
pemilih Prof.Dr. Haji Rhoma Irama saat pemilu legislatif 9 April 2014, apakah
juga berlaku pada pemilih pilpres 9 Juli 2014. Banyak lapisan masyarakat papan bawah, akar rumput
sampai rumput liar, wong cilik, merasa terwakili oleh jagoannya yang gemar blusukan.
Masyarakat politik ditandai dengan tumbuhnya masyarakat
kelas menengah yang memiliki akses pada Teknologi Informasi dan Komunikasi yang
dikenal sebagai media sosial (medsos). Kendati terbatas di kalangan masyarakat kota,
penggunaan medsos telah mampu membentuk opini secara sismatis, masif dan
berkelanjutan. Dengan mempengaruhi bahkan mampu mengintervensi atau meracuni berbagai
wacana publik, karena pengguna TIK sangat beragam.
Investor politik melirik Indonesia untuk kepentingan jangka panjang. Ada skenario
standar/pesimis, moderat sampai ideal/optimis yang akan dipraktekkan. Secara
sadar dan nyata, arah politik Nusantara, bahasa gaulnya politik luar negeri
maupun politik dalam negeri, telah keblusuk ke skenario investor
politik. Trik dan intrik politik jelang sumpah jabatan RI-1 dan RI-2 sudah
membuktikan bahwa banyak pihak di dua kubu yang merasa punya sayap. Belum-belum
politik transaksional sudah tertebak aromanya. Semua merasa punya andil, pegang
saham, dan merasa telah berkorban tanpa pamrih.
Filosofi Lima Jari
Peraih suara terbanyak pada pemilu legislatif 1999
adalah PDIP yang meraup 33,74%. 2004, Golkar : 21,62%. 2009, Partai Demokrat
(PD) : 20,81%. Serta 2014, PDIP : 18,95%. Periode 1999-2004, terbukti bahwa
suara terbanyak tidak otomatis unggul dalam pemerintahan, terdapat dua presiden
yaitu Gus Dur dan mbak Mega. Satu dekade 2004-2009 dan 2009-2014, terpilih satu
presiden yaitu Susilo Bambang Yudhono (SBY), semakin membuktikan dominasi
parpol di trias politika.
Berapa kali SBY ditelikung atau digunting dalam
lipatan oleh petinggi PD melalui tipikor. Tak terhitung rongrongan dari kawanan
koalisi, terlebih upaya melubangi kapal Nusantara oleh oposisi banci, oposisi
setengah hati, oposisi sakit hati, oposisi yang buta politik.
Ibarat jari tangan, satu jari (20%an) jika tidak bisa
mengajak 4 jari lainnya, tangan tak akan berfungsi optimal. Tiap jari memang
punya tugas khusus, membawa fungsi yang berbeda, mengandung makna tersendiri.
Bayangkan, di periode Djokowi-JK, sudah terbaca saat pemilihan pengurus DPR
2014-2019. Satu jari yang tidak utuh (18,95%), tentu tidak ada gunanya. Apalagi
selama masa SBY, PDIP memilih sebagai “penonton”, bukan pemain di pemerintah.
PDIP yang merasa keluar sebagai juara umum pileg 2014 sekaligus pekerja partainya muncul sebagai pemenang tunggal di
pilpres 2014 (53,15%), kembali ke jalan politik yang benar dan baik,
sebagai “polisi negara”.
Simpul Dan saran
Mengacu serta mengutip isi buku “Menyongsong
2014-2019 Memperkuat Indonesia dalam Dunia yang Berubah”, Muhammad AS Hikam
(editor), Badan Intelijen Negara (BIN), Maret 2014, sebagai dasar menyusun
Simpul dan Saran, yaitu :
Terdapat tiga aspek yang menjadi lingkungan strategis
yang akan dihadapi Indonesia pada kurun 2014-2019, antara lain; lingkungan
global, regional, serta nasional. Pada lingkungan global terdapat
ketidakpastian perekonomian, terutama menyangkut Krisis Eropa serta pemulihan
ekonomi Amerika Serikat. Perhatian politik juga bergeser ke Asia Pasifik,
meskipun Amerika Serikat, Uni Eropa, serta Rusia masih menjadi aktor besarnya.
Di kawasan regional, kebangkitan China dibidang ekonomi dan menjadi perhatian
semua kalangan. Ketegangan di kawasan Laut China Selatan meningkat. Sementara
itu di lingkup nasional, pergantian kepemimpinan Nasional dengan seluruh
implikasinya menjadi hal terpenting untuk dicermati. Rentetan bencana serta
keterbatasan dalam energi menjadi faktor lain yang juga perlu diperhitungkan.
Tantangan terberat secara politik adalah menyangkut sistem dan
pelaksanaan Otonomi Daerah yang dalam beberapa tahun belum menemukan format
yang benar-benar mapan. Hal tersebut ditandai dengan masih banyaknya tarik ulur
pemekaran wilayah yang umumnya lebih didasarkan oleh kepentingan sekelompok
kecil pihak dengan menggunakan tekanan politik, juga praktik penyelenggaraan
pemerintah daerah yang kadang masih merugikan kepentingan nasional seperti
politisasi isu ‘putra daerah’.
Kepentingan nasional secara sederhana diartikan sebagai
tujuan dan ambisi suatu bangsa yang biasanya terkait dengan power atau
kemampuan untuk berpengaruh dalam kegiatan pergaulan global. Pemimpin Nasional
2014-2019 perlu dikondisikan untuk menjaga komitmen secara kuat dalam memberantas
korupsi dan menegakkan hukum.
Pada 2014-2019, para aktor non-negara seperti bisnis
trans-nasional, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan dan penelitian,
serta media massa, akan makin aktif berperan dalam hubungan internasional.
Pada periode 2014-2019, ancaman terbesar bangsa
Indonesia dalam persoalan solidaritas kebangsaan setidaknya ada 4 (empat) :
Pertama, menguatnya politik aliran yang dikemas dalam politik
identitas atas nama golongan, suku, dan agama. Pembedaan antara pribumi dan
asing, antara identitas diri dan liyan semakin diperkuat dengan
terakomodasinya politik identitas yang
diusung dalam kebijakan dan praktik otonomi daerah.
Kedua, pemanfaatan isu kemiskinan dan kesenjangan sosial
dalam praktik politik, terlebih ketika bangsa Indonesia tidak bisa meraih
kesempatan Bonus Demografi yang akan hadir pada 2014-2019.
Ketiga, menguatnya budaya populer, baik dalam wujud sosial
media maupun praktik budaya populer, pada ruang publik dalam mengapresiasi
kebebasan individu, khususnya yang mempertontonkan penolakannya terhadap
kemapanan kehidupan berbangsa. Keberadaan situs sosial media yang menafikan
atau merendahkan martabat bangsa, dan kehadiran kelompok Punk, Indies,
dan gank motor secara liar tidak dapat dianggap sepele, karena jika dibiarkan
terus akan membentuk makna lain dalam mengartikan kebersamaan dan solidaritas
sosial kebangsaan yang mengutamakan penghargaan antara satu dan lainnya.
Keempat, ledakan arus informasi termasuk kebebasan pers dan
media yang memberitakan paham yang bertolak belakang dengan ide dasar
kebangsaan. Saat ini pemerintah mempraktikkan mazhab ekonomi pasar secara penuh
bagi media, --mungkin karena tuntutan demokrasi ala Barat--, bahkan sejumlah
persoalan politik dan agama dengan sensivitas tinggi cenderung diserahkan
kepada publik. Realitas ini memberi ruang luas bagi media massa dan golongan
fanatik agama untuk tampil ke depan menjadi aktor penting penentu kebijakan.
Akhirnya, tidak mengejutkan jika masalah moral, perbedaan aliran keagamaan, dan
toleransi beragama menjadi ajang keributan dan cenderung dipentaskan secara
publik yang dapat memicu konflik sosial dan mengurangi keadaban publik. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar