KOMUNITAS
HALAL : KERJA SAMA ATAU MANDIRI
Menyangkut ketahanan pangan, soal registrasi dan
sertifikasi produk halal melalui satu pintu. Yang perlu dicermati tidak hanya
masalah agama tetapi juga universal, yaitu kandungan pangan terhadap kesehatan.
Maraknya pangan hasil olah tangan maupun industri yang memanfaatkan zat
pengawet, zat pewarna, zat perasa atau zat aditif lainnya melebihi ambang batas
yang diizinkan jelas akan berdampak buruk. Makanan halal kalau sudah
kedaluwarsa juga bisa membahayakan bagi yang mengkonsumsinya.
Batasan tidak halal secara reliji, termasuk cara
mengolah, cara mendapatkan, cara menyajikan, dsb.
Jika Komunitas Halal hanya mengandalkan label halal, selain perlu
perpanjangan label, juga membutuhkan ada
pengawasan. Hasil temuan YLKI (Yasasan
Lembaga Konsumen Indonesia) maupun razia BPOM ( Badan Pengawas Obat dan
Makanan) bisa menimbulkan perang produk. Persaingan antara produsen bisa
memanfaatkan situasi labelisasi halal. Atau dari sisi lain adanya pihak yang
mengedarkan permen narkoba (BPOM Akan Turunkan Tim Periksa Permen
Narkoba di Pasaran, Sumber : Tribunnews.com - Rabu, 4 Januari 2012 11:30 WIB)
sebagai tantangan tersendiri.
Makanan/minuman
dikonsumsi tiap hari merupakan faktor pendorong agar Komunitas Halal berkerja
siang malam. Biaya untuk menyampaikan informasi kehalalan jangan sampai
melebihi manfaat yang diharapkan. Kendati jajanan pasar, jajanan anak sekolah
harganya hanya ratusan rupiah, bukan berarti luput dari bidikan labelisasi
halal.
Menumpang
pendidikan fomal mulai PAUD, atau pendidikan pesantren, pengetahuan tentang
pangan halal sudah bisa dikenalkan dan diterapkan sejak dini. Peran orang tua
sangat berarti, bahkan dominan, jangan membiasakan dan memanjakan anak dengan
produk makanan yang tak jelas asal usulnya [HaeN]. 9 Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar