dikotomi negara hukum, hukum mengatur penguasa vs penguasa mengatur hukum
Rambu-rambu lalu
lintas, merupakan produk hukum yang bersifat universal dan berlaku hampir di
semua negara yang ada di dunia. Perbedaan karena ada penyesuaian dengan kondisi
geografis, iklim maupun yang bersifat lokal. Pengguna lalu lintas sejagad,
karena tiap hari melihatnya, diharapkan lama-lama memahami maksud dan
tujuannya. “Deso mowo toto, negoro mowo coro” memang menjadikan munculnya pihak yang memanfaatkan rambu-rambu lalin yang
bisa dimultitafsirkan atau didaulat sebagai bahasa isyarat yang baku dan
menjadi rahasia umum. Warna yang dipakai dalam rambu-rambu lalin merupakan
standar internasional.
Di Indonesia,
makna warna memang tidak standar. Bendera kuning sebagai tanda di lokasi
tersebut ada warga yang meninggal dunia. Beda daerah, tanda berkabung dengan
bendera putih. Lain daerah, dengan bendera hitam. Selain beda warna untuk satu
pemahaman, diperkaya dengan hari berkabung, tidak boleh ada yang bekerja. Mungkin,
warga, tetangga, kerabat menyiapkan acara adat dan prosesi penguburan jenazah.
Kepentingan
umum, bersama ada yang bisa digeneralisir atau tetap sesuai dengan kondisi
lokal. Begitu juga dengan hukum, yang ditetapkan di awal, sebagai “pengetahuan
bersama” agar lalu lintas kehidupan tidak saling bertabrakkan. Agar sesama pengguna
jalan tidak bertindak semau gue,
menjadi raja jalanan, menjelma menjadi setan jalanan. Identik dengan paham “siapa
menguasai media massa akan menjadi raja” menjadi “siapa meguasai jalan akan
menjadi penentu nasib pengguna jalan”.
Rambu-rambu
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia bersifat dinamis.
Ironis, daya adop politik negara yang sudah terlebih dahulu merdeka, menjadikan
kedudukan hukum menjadi tergantung potensi politik yang sedang mendominasi jalannya
negara.
Memang sudah
suratan sejarah Nusantara, setiap ganti pemimpin nasional, sibuk menyusun rambu-rambu
pengaman. Minimal dalam satu periode terbentuk zona aman dan nyaman. Lawan
politik dibuat tidak punya nyali untuk bersuara apalagi menjegal dalam lipatan.
Tahap berikutnya adalah bagaimana menyiapkan diri sejak dini agar lanjut ke
periode berikutnya. Toh, UU tidak mengharamkan. Persoalan sang penguasa periode
turun takhta sebelum jatuh tempo, bisa diselesaikan secara adat. Bangsa Indonesia
terkenal sebagai bangsa pemaaf, ramah dan sopan.[HaeN]