mangku kursi vs mangku kotak
Pemangku amanat nasional bernusantara, berkat kendaraan
politik. Juga tidak. Menjadi politisi sipil bersertifikat ganda, bersubsidi
silang, sebagai jalur karier, kondite, sejahtera masa depan. Kisah sukses
terukur jika sudah dapat kursi wakil rakyat, kursi kepala daerah, kursi kepala
negara.
Pasal rekam jejak selaku pengurus partai, mulai dari
tingkat dasar, tak menentukan nasib. Parpol dadakan pun mampu mengkarbit
anggotanya langsung jadi pembantu presiden. Banyak kejadian yang sulit
dipraduga, diprakirakan sejak dini. Jalur karier pun penuh dengan alternatif
dan jebakan. Pergantian antar waktu atau alasan politis, sebagai bukti ringan
biaya politik tak kenal kompromi.
Serdadu mikul meriem, semar mikul kotak.
Pralambang dunia wayang versi manapun satu irisan dengan panggung politik
nusantara. Kontrak politik lima tahunan, satu periode, antar pesta demokrasi,
tak membuat nyali politik bias. Politik sebagai panglima, kian menghalalkan
segala pasal. Biaya politik, ongkos politik, anggaran demokrasi berbanding
lurus dengan tumpukan aneka utang multipihak.
Tradisi cinta tanah air, hormat warisan leluhur luhur
dengan laku rawat ruwat benda pusaka, penjaga alam sesuai batas teritorial. Agar
hidup tak kian ruwet. Terlebih ada dunia lain yang mampu beri sinyal kapan
harus maju. Pihak mana saja yang harus dirangkul. Tepatnya, pihak yang sigap
memuluskan ambisi politik. Soal falsafah “no free lunch”
versi lokal pun tinggal pilah pilih.[HaéN]