Halaman

Sabtu, 30 Juni 2018

mandi pagi di sore hari


mandi pagi di sore hari

Maunya yang mau mandi. Dejure dan defacto bisa saja terjadi. Seperti sarapan di sore hari. Tidur malam kemalaman, wajar. Bangun pagi kesiangan, normal.

Beda dengan petugas kecamatan yang menangani KK. Membaca tanggal kelahiran anak saya yang nomor dua dan nomor tiga sama, yang pertama langsung diganti tahunnya. Menurut akalnya, data dari kelurahan mesti salah ketik. Mosok tanggal lahir koq bisa sama. Tidak ‘mencurigai’ kalau anak kembar.

Hebatnya lagi, saat anak saya nomor dua ada urusan administrasi, karena tanggal kelahiran di KTP beda dengan KK. Terpaksa diadakan perubahan KK. Perubahan pertama. Hasil perubahan pertama, tanggal lahir menjadi benar. Lagi-lagi, petugas kecamatan berimprovisasi, nama anak sulung kembar dirubah agar mirip dengan adik kembarnya. Sudah tidak bisa dikomentari. Bukti, petugas kecamatan memang bukan robot.

Terjadilah perubahan kedua KK. Macam amandemen perubahahan UUD NRI 1945. Butuh waktu dan makan hati. Petugas tak bisa disalahkan. Namanya PNS. Ganti tahun, KK baru bisa diambil. Terdapat kesalahan baru. Lagi-lagi, hasil cerdas PNS, tanpa pikir panjang melakukan improvisasi pendidikan kepala keluarga. Disetarakan dengan isteri. Tepuk jidat sendiri, dengan tangan sendiri. Mau merubah KK. Cari penyakit.

Apa jadinya, kalau ada dokumen yang bolak-balik “salah ketik” atau agar afdol memang harus mengalami perubahan. Ini baru KK. [HaèN]

seni melipat kertas vs budaya memanipulasi fakta


seni melipat kertas vs budaya memanipulasi fakta

Berfungsinya seni melipat kertas nasi, jelas terjadi di rumah makan atau tempat jual pangan matang. Identik dengan meliopat daun untuk pincuk atau wadah santapan. Di Indonesia sebagai hal umum, biasa, wajar, lumrah dan turun-temurun antar generasi. Kertas bekas koran punya andil, urun jasa sebagai bungkus, berkoalisi dengan daun pisang.

Untuk mendekatkan jarak, atau mempersingkat waktu tempuh, perlu seni atau ilmu melipat bumi. Pasal ini serahkan ke ahlinya, ke pihak yang berwajib dan berwenang. Salah langkah malah tak bisa kembali dan kemana-mana. Masuk dimensi lain yang sejajar dengan dimensi alam manusia.

Kehidupan manusia dan alam semesta memang sudah diskenario oleh Allah swt. Sudah menjadi kepastian, kehendak dan ketetapan-Nya. Sampai daun gugur, karena usia atau faktor lainnya.

Manusia pernah bermitos, mengapa buah atau biji pohon beringin kecil, mungil. Sedangkan buah semangka yang merayap, merambat bisa besar. Mampu melebihi ukuran kepala manusia. Manusia bisa terjebak kalau hanya cuma mengandalkan daya nalar, olah otakl, dan kadar logika.

Yang sudah ditetapkan oleh-Nya, tidak dicermati dijadikan pegangan dan pedoman hidup. Yang samar-samar malah dikelola dengan total. Dirumuskan untuk dijadikan pasal kehidupan.

Walhasil, hubungan antar manusia dalam satu teritorial, wilayah administrasi, batas fungsional berdasarkan aturan main buatan manusia. Menterjemahkan nafsu manusia menjadi tindakan legal, halal, konstitusional.

Bisa terjadi tirani mayoritas karena agama yang dominan menghalalkan segala cara. Sebaliknya, praktik nyata tirani minoritas karena manusia ekonomi sebagai pemegang nyata suatu bentuk negara, pemerintahan. [HaèN]

ketika penguasa alérgi sila-sila Pancasila


ketika penguasa alérgi sila-sila Pancasila

Tindak politik sékuléri liwat ujaran penistaan agama yang dipraktikkan oleh gubernur DKI Jakarta saat itu, hanya puncak gunung es. Betapa alérginya penguasa dengan sila-sila Pancasila.

Hukum keseimbangan menegaskan, semakin pemimpin jauh dari rakyat maka akan berbanding lurus dengan lunturnya sila-sila Pancasila. Ingat, secara historis rumusan, jabaran Pancasila digali dari tatanan bermasyarakat. Pergaulan, interaksi sosial, poltik, ekonomi antar rakyat.

Tanpa rumusan dan ramuan resmi. Keberagaman, kemajemukan, rasa persatuan dan kesatuan sudah menjadi menu harian rakyat. Malah rakyat tidak tahu teori sila-sila pancasila.

Adab bermasyarakat dengan dasar guyub, rukun, gotong royong, patembayan dan sebagainya sesuai adat istiadat, budaya lokal, kearifan dan kecerdasan lokal.

Sejak lama rakyat sudah biasa hidup sederhana. Mengacu asas ekonomi sehari. Boro-boro menabung. Kecuali di MCK, jamban keluarga komunal. Perut sudah terlatih dengan ketahanan pangan lokal. Perut sudah terdidik untuk keroncongan, asal hati tidak melompong bengong.

Menikmati arus kehidupan dengan uro-uro, nembang, rengeng-rengeng, gemrengeng gayeng. Kumpul bareng menyambut senyum rembulan. Disaksikan angin malam yang membawa sejuk alam.

Rembug warga untuk menyelesaikan masalah bersama. Tokoh masyarakat ambil peran nyata. Semua merasa memiliki dan merasa bagian dari kebersamaan. Menyatu dengan alam menjadi modal untuk tetap eksis.

Namun, semua laporan rangkuman hidup dan kehidupan masyarakat, bisa membuat pihak yang hafal Pancasila malah gerah. Kecolongan di siang hari bolong. Karena semua pasal kejadian di masyarakat akan dijadikan proyek penyadaran Pancasila. Opo tumon.  [HaèN]

Jumat, 29 Juni 2018

sékulérisasi politik, membenturkan Pancasila dengan kebebasan kampus


sékulérisasi politik, membenturkan Pancasila dengan kebebasan kampus

Politik memang serba ironis. Kehidupan masyarakat adem ayem, malah membuat penguasa gerah luar dalam. Jika ada gesekan horizontal antar kelompok masyarakat, menjadikanajang uji nyali dan ujian jabatan aparat penegak hukum.

Tata kehidupan yang mapan, malah dicurigai. Jangan-jangan ada gerakan senyap anti-kemapanan versi Orde Baru. Orang berkumpul sarungan karena dingin, layak diwaspadai. Arisan ibu-ibu berkerudung, berjilbab lintas RW, disinyalir akan membuka rahasia dapur tetangga.

Agaknya hukum harus selalu diasah, agar tidak mandul, tumpul. Hukum harus selalu dipakai agar tak cepat berkarat. Obyek hukum tinggal pilah dan pilih. Hukum bicara bukan karena pasal dilanggar tetapi siapa yang berperkara.

Modus, rekayasa pemerintah mendata nomor ponsel dan akun media sosial mahasiswa sebagai wujud proaktif, mitigasi, preventif. Jangan-jangan mata kuliah Pancasila bisa dianggap malah melecehkan.

Mengandalkan pasal tumpas sedini mungkin sebelum tunas. Abaikan asas praduga tak bersalah. Utamakan tindak gebuk duluan, rembuk belakangan. Di sisi lain, gerakan aksi bersenjata yang jauh dari Pusat, karena menyangkut HAM maka hanya dianggap kelompok kriminal.

Hobi pemerintah 2014-2019 adalah masalah kecil dibesar-besarkan, masalah besar dipetieskan. [HaèN]

penguasa semakin berisi semakin nyaring bunyinya


penguasa semakin berisi semakin nyaring bunyinya

Hasil kombinasi dua peribahasa. Namanya politik, rekayasa, manipulasi  modus apa pun tampak dewasa, berklas.

Ironis binti miris, pilkada serentak rabu, 27 Juni 2018, menyisakan potongan fakta. Saking bekèn, tenar tersohor nama oknum balon kepala daerah, pemilih malah milih nama lain. Faktor kasihan (wujud nyata rasa tepo slira, welas asih) menjadi pertimbangan utama.

Jangan sampai kalau ybs dipercaya, malah semakin menambah pamor. Rekam jejak selama hidupnya memang begitu. Ahli sepak, sedot, keruk, main sikut. Sampai ki dalang Sobopawon bingung mementaskannya. Mau bilang watak politik.

Rakyat semakin maklum, peta politik menjadi jebakan masa depan. Sekulerisasi politik menjadikan martabat parpol keropos dalam. Warna politik terbentuk sejak pra-Proklamasi menjadikan nyali diri siap jual diri.

Propaganda politik penguasa, dengan menggandakan aneka ujaran menjilat vs serba ujaran menghasut menjadi satu paket. Terima jadi sampai pilpres 2019.

Penduduk karena mempunyai e-KTP, rakyat karena masuk kategori uneducated people, permanent underclass maupun masyarakat yang didaulat bisa masuk bursa masyarakat kurang beruntung, tetap dibutuhkan untuk uji coba Pancasila.

Artinya praktik mengkonfrontasikan, membenturkan Pancasila dengan pihak yang tak searah dan sehaluan dengan penguasa. Andalan, jimat, aji-aji konstitusional.

Rakyat tak semen-mena melupakan jasa dan fakta peribahasa Jawa: asu gedhé menang kerahé.[HaèN]