sékulérisasi
politik, membenturkan Pancasila dengan kebebasan kampus
Politik memang serba ironis. Kehidupan masyarakat adem ayem, malah membuat penguasa
gerah luar dalam. Jika ada gesekan horizontal antar kelompok masyarakat,
menjadikanajang uji nyali dan ujian jabatan aparat penegak hukum.
Tata kehidupan yang mapan, malah dicurigai. Jangan-jangan ada gerakan
senyap anti-kemapanan versi Orde Baru. Orang berkumpul sarungan karena dingin,
layak diwaspadai. Arisan ibu-ibu berkerudung, berjilbab lintas RW, disinyalir akan
membuka rahasia dapur tetangga.
Agaknya hukum harus selalu diasah, agar tidak mandul, tumpul. Hukum harus
selalu dipakai agar tak cepat berkarat. Obyek hukum tinggal pilah dan pilih. Hukum
bicara bukan karena pasal dilanggar tetapi siapa yang berperkara.
Modus, rekayasa pemerintah mendata nomor ponsel dan akun media sosial
mahasiswa sebagai wujud proaktif, mitigasi, preventif. Jangan-jangan mata
kuliah Pancasila bisa dianggap malah melecehkan.
Mengandalkan pasal tumpas sedini mungkin sebelum tunas. Abaikan asas
praduga tak bersalah. Utamakan tindak gebuk duluan, rembuk belakangan. Di sisi
lain, gerakan aksi bersenjata yang jauh dari Pusat, karena menyangkut HAM maka
hanya dianggap kelompok kriminal.
Hobi pemerintah 2014-2019 adalah masalah kecil dibesar-besarkan, masalah
besar dipetieskan. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar