Halaman

Rabu, 13 Juni 2018

Serial pe-jin pasif. Jangan benturkan ayat suci dengan kalimat tauhid


Serial pe-jin pasif. Jangan benturkan ayat suci dengan kalimat tauhid

Kaki manusia untuk menjadi tumpuan, mendukung badan, anggota tubuh yang kain sampai kepala. Kinerja kaki tidak akan optimal tanpa dukungan kerabatnya. Kaki dan tangan, kelak akan jadi saksi.

Kaki ada yang mengendalikan. Tidak bebas mau berbuat apa saja. Kaki, tangan lidah akan jadi saksi utama terhadap diri kita nantinya. Punya mata, kaki tidak bebas dari kekhilafan untuk tersandung, terantuk sampai terjerumus, keperosok.

Kaki tidak bisa menolak ajakan untuk justru mengantar.

Kaki tak sengaja meliwati daerah tak bertuan. Melintasi kawasan hutan larangan, alas angker. Kaki berkelana di lokasi favorit setan reuni antar periode.

Rasa capai kaki, bukan karena digeber, diajak kerja lembur. Terkadang, pola ongkang-ongkang menjadikan kaki malas, manja. Kaki bisa dijadikan kambing hitam atas kepasifan diri. Bisa disalahkan karena tak mengingatkan jika salah jalan.

Si empunya kaki, juga bisa menanggung dampak, efek, impak tindak laku kaki. Olah kaki memang menyehatkan. Tak sengaja kaki bisa ketumpangan benda yang menempel. Alas kaki bisa kalah, atau kulit kaki lecet, menebal atau rentan, riskan, rawan intervensi.

Jangan lupa. Kuku jari kaki yang kotor, dekil, panjang menjadi rest area makhluk halus. Keluar masuk km/wc, kaki menjadi moda transportasi makhluk halus. Hitung-hitung tak terasa kaki membawa penumpang gelap.

Pada derajat tertentu, penumpang gelap tadi memperkuat armada yang ada di aliran tubuh manusia.

Jika manusia tidak rutin mohon perlindungan-Nya dari godaan setan terkutuk, akan menjadi kesetanan. Kondisi ini menjadi makanan empuk orang lain yang merasa ahli usir makhluk halus. Antar makhluk halus yang bersarang di tubuh kita dengan makhluk halus di tubuh “orang pintar” terjadi koalisi.

Menjadi obyek sapu bersih, target sikat bersih agar makhluk halus tidak bisa melakukan intervensi dengan pola komunikasi, koordinasi, kendali terhadap jiwa raga kita. Promo klasik “orang pintar” adalah merasa dirinya bebas cengkeraman makhluk halus.

Kita dikondisikan sedemikan kejadian duduk perkaranya, akhirnya “orang pintar” akan melakukan tindak turun tangan. Ironis binti miris, kita mendapat stigma jauh dari jalan-Nya. Hebatnya lagi, kita diposisikan sebagai “pasien” yang tak berdaya dan tanpa daya. Siap diterapi.

Memang, kebanyakan manusia yang seolah tanpa daya, justru menyimpan sumber daya tak terduga. Semakin ingat Allah swt, semakin sederhana. Terkesan bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Hatinya berdzikir.

Modus “orang pintar” dengan membaca cuplikan ayat suci. Disuarakan atau sekedar komat-kamit. Dilengkapi dengan gerak tangan serta wajah serius. Lupa kalau sang pasien selalu kontak dengan pemilik jiwanya. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar