Serial pe-jin pasif. Jangan benturkan ayat suci dengan kalimat tauhid
Kaki manusia untuk
menjadi tumpuan, mendukung badan, anggota tubuh yang kain sampai kepala. Kinerja
kaki tidak akan optimal tanpa dukungan kerabatnya. Kaki dan tangan, kelak akan
jadi saksi.
Kaki ada yang
mengendalikan. Tidak bebas mau berbuat apa saja. Kaki, tangan lidah akan jadi
saksi utama terhadap diri kita nantinya. Punya mata, kaki tidak bebas dari
kekhilafan untuk tersandung, terantuk sampai terjerumus, keperosok.
Kaki tidak bisa menolak
ajakan untuk justru mengantar.
Kaki tak sengaja
meliwati daerah tak bertuan. Melintasi kawasan hutan larangan, alas angker. Kaki
berkelana di lokasi favorit setan reuni antar periode.
Rasa capai kaki, bukan
karena digeber, diajak kerja lembur. Terkadang, pola ongkang-ongkang menjadikan
kaki malas, manja. Kaki bisa dijadikan kambing hitam atas kepasifan diri. Bisa disalahkan
karena tak mengingatkan jika salah jalan.
Si empunya kaki, juga
bisa menanggung dampak, efek, impak tindak laku kaki. Olah kaki memang
menyehatkan. Tak sengaja kaki bisa ketumpangan benda yang menempel. Alas kaki
bisa kalah, atau kulit kaki lecet, menebal atau rentan, riskan, rawan
intervensi.
Jangan lupa. Kuku jari
kaki yang kotor, dekil, panjang menjadi rest area makhluk halus. Keluar masuk km/wc, kaki menjadi moda transportasi makhluk
halus. Hitung-hitung tak terasa kaki membawa penumpang gelap.
Pada derajat tertentu,
penumpang gelap tadi memperkuat armada yang ada di aliran tubuh manusia.
Jika manusia tidak rutin
mohon perlindungan-Nya dari godaan setan terkutuk, akan menjadi kesetanan. Kondisi
ini menjadi makanan empuk orang lain yang merasa ahli usir makhluk halus. Antar
makhluk halus yang bersarang di tubuh kita dengan makhluk halus di tubuh “orang
pintar” terjadi koalisi.
Menjadi obyek sapu
bersih, target sikat bersih agar makhluk halus tidak bisa melakukan intervensi
dengan pola komunikasi, koordinasi, kendali terhadap jiwa raga kita. Promo
klasik “orang pintar” adalah merasa dirinya bebas cengkeraman makhluk halus.
Kita dikondisikan
sedemikan kejadian duduk perkaranya, akhirnya “orang pintar” akan melakukan
tindak turun tangan. Ironis binti miris, kita mendapat stigma jauh dari
jalan-Nya. Hebatnya lagi, kita diposisikan sebagai “pasien” yang tak berdaya
dan tanpa daya. Siap diterapi.
Memang, kebanyakan
manusia yang seolah tanpa daya, justru menyimpan sumber daya tak terduga. Semakin
ingat Allah swt, semakin sederhana. Terkesan bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Hatinya
berdzikir.
Modus “orang pintar”
dengan membaca cuplikan ayat suci. Disuarakan atau sekedar komat-kamit. Dilengkapi
dengan gerak tangan serta wajah serius. Lupa kalau sang pasien selalu kontak
dengan pemilik jiwanya. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar