Halaman

Kamis, 28 Juni 2018

reformasi dan cikal bakal rézim (partai) politik


reformasi dan cikal bakal rézim (partai) politik

Asumsi sederhana rakyat, yang namanya politik adalah asal sudah ada partai politik dan hidup. Punya bendera. Punya ‘kantor’ seklas balai warga atau di deretan ruko. Berbaur dengan aneka jasa.

Meningkat selapis, rakyat melihat manusia politik muncul di layar kaca. Tentunya bukan pada acara yang ditunggu-tunggu. Bukan bak goto-goro dalam pentas wayang kulit. Kendati rakyat dalam hati sudah maklum. Bahwa manusia politik adalah biangnya goro-goro, gonjang-ganjing, bencana politik yang berjilid. Belum tuntas satu periode sudah mau main di klas yang lebih tinggi.

Selain baju hijau yang sudah melekat di mata rakyat. Bertebaran sosok anak bangsa pribmu, bergaya dengan seragam ala militer.  Rakyat duga Indonesia selalu siaga. Merasa aman dan nyaman di jalan.

Kibaran bendera merah-putih, kalah seru dengan lambaian bendera aneka warna dan lambang partai politik.

Nasionalisme, heroisme, pancasilais manusia politik mengalahkan perjuangan para pahlawan pejuang bangsa.

Pemerintah 2014-2019 mengakui sambil tersenyum bangga, betapa kekayaan segelintir manusia dan atau orang super-kaya di Indonesia, bisa mengalahkan kekayaan segelontor rakyat.

Bisa terjadi, bunga per bulan kekayaan yang mengendap di bank dunia (maksudnya di bank mancanegara yang aman dan terpercaya), bisa untuk hidup sederhana versi mereka. Bahkan bisa sekecil gaji presiden RI.

Penyelenggara menjadi penentu nasib dan perjalanan hidup bangsa terutama rakyat Indonesia selama satu periode.

Asumsi sederhana reformasi dengan melihat Orde Lama dan Orde Baru sebagai rézim dengan seabrek kebobrokan moral politik. Padahal manusia politik dengan busana kebesaran parpol peninggalan zaman penjajah maupun parpol dadakan, sami mawon, untuk meraih, kejar urusan dan nikmat dunia.

Rézim berkonotosi negatif menjurus ke strata super-negatif. Kadar dan daya negatf jika ada rézim (partai) politik yang dengan asas mégatéga, ingin bercokol terus tanpa memperhatikan suasana kebatinan rakyat. Secara konstitusional masuk ranah zalim yang bebas dakwaan. Segala tindakan kebijakannya tidak bisa dipidana. Menjadi hukum tak tertulis. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar