ketika penguasa alérgi
sila-sila Pancasila
Tindak politik sékuléri liwat ujaran
penistaan agama yang dipraktikkan oleh gubernur DKI Jakarta saat itu, hanya
puncak gunung es. Betapa alérginya penguasa dengan sila-sila Pancasila.
Hukum keseimbangan menegaskan,
semakin pemimpin jauh dari rakyat maka akan berbanding lurus dengan lunturnya
sila-sila Pancasila. Ingat, secara historis rumusan, jabaran Pancasila digali
dari tatanan bermasyarakat. Pergaulan, interaksi sosial, poltik, ekonomi antar
rakyat.
Tanpa rumusan dan ramuan resmi. Keberagaman,
kemajemukan, rasa persatuan dan kesatuan sudah menjadi menu harian rakyat. Malah
rakyat tidak tahu teori sila-sila pancasila.
Adab bermasyarakat dengan dasar
guyub, rukun, gotong royong, patembayan dan sebagainya sesuai adat istiadat,
budaya lokal, kearifan dan kecerdasan lokal.
Sejak lama rakyat sudah biasa hidup
sederhana. Mengacu asas ekonomi sehari. Boro-boro menabung. Kecuali di MCK,
jamban keluarga komunal. Perut sudah terlatih dengan ketahanan pangan lokal. Perut
sudah terdidik untuk keroncongan, asal hati tidak melompong bengong.
Menikmati arus kehidupan dengan uro-uro, nembang, rengeng-rengeng, gemrengeng gayeng. Kumpul bareng
menyambut senyum rembulan. Disaksikan angin malam yang membawa sejuk alam.
Rembug warga untuk menyelesaikan
masalah bersama. Tokoh masyarakat ambil peran nyata. Semua merasa memiliki dan
merasa bagian dari kebersamaan. Menyatu dengan alam menjadi modal untuk tetap
eksis.
Namun, semua laporan rangkuman hidup
dan kehidupan masyarakat, bisa membuat pihak yang hafal Pancasila malah gerah. Kecolongan
di siang hari bolong. Karena semua pasal kejadian di masyarakat akan dijadikan
proyek penyadaran Pancasila. Opo tumon. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar