Halaman

Sabtu, 30 Juni 2018

ketika penguasa alérgi sila-sila Pancasila


ketika penguasa alérgi sila-sila Pancasila

Tindak politik sékuléri liwat ujaran penistaan agama yang dipraktikkan oleh gubernur DKI Jakarta saat itu, hanya puncak gunung es. Betapa alérginya penguasa dengan sila-sila Pancasila.

Hukum keseimbangan menegaskan, semakin pemimpin jauh dari rakyat maka akan berbanding lurus dengan lunturnya sila-sila Pancasila. Ingat, secara historis rumusan, jabaran Pancasila digali dari tatanan bermasyarakat. Pergaulan, interaksi sosial, poltik, ekonomi antar rakyat.

Tanpa rumusan dan ramuan resmi. Keberagaman, kemajemukan, rasa persatuan dan kesatuan sudah menjadi menu harian rakyat. Malah rakyat tidak tahu teori sila-sila pancasila.

Adab bermasyarakat dengan dasar guyub, rukun, gotong royong, patembayan dan sebagainya sesuai adat istiadat, budaya lokal, kearifan dan kecerdasan lokal.

Sejak lama rakyat sudah biasa hidup sederhana. Mengacu asas ekonomi sehari. Boro-boro menabung. Kecuali di MCK, jamban keluarga komunal. Perut sudah terlatih dengan ketahanan pangan lokal. Perut sudah terdidik untuk keroncongan, asal hati tidak melompong bengong.

Menikmati arus kehidupan dengan uro-uro, nembang, rengeng-rengeng, gemrengeng gayeng. Kumpul bareng menyambut senyum rembulan. Disaksikan angin malam yang membawa sejuk alam.

Rembug warga untuk menyelesaikan masalah bersama. Tokoh masyarakat ambil peran nyata. Semua merasa memiliki dan merasa bagian dari kebersamaan. Menyatu dengan alam menjadi modal untuk tetap eksis.

Namun, semua laporan rangkuman hidup dan kehidupan masyarakat, bisa membuat pihak yang hafal Pancasila malah gerah. Kecolongan di siang hari bolong. Karena semua pasal kejadian di masyarakat akan dijadikan proyek penyadaran Pancasila. Opo tumon.  [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar