melongok menu harian dapur Pancasila penguasa
Udara panas sekitar
sumber api kebakaran, sebagai perantara jitu menjalarkan api. Seolah membuat
lorong panas atau bahkan lorong nyata pada bangunan gedung bisa sebagai jalur pendek
evakuasi jilatan api.
Jauh dari sumber
kebakaran, namun jika ada hubungan diplomatik, bisa ikut terbakar. Jangan coba-coba
main atau bermain di lorong panas, bisa jadi korban sia-sia. Minimal akan
terdampak satu periode. Kalau sudah runyam begini ini, kapok lombok mbokdé.
Adab bertetangga, jangan
sampai hidung tetangga terusik bau aroma irama kuliner yang sedang kita olah. Cuma
membau saja. Setelah itu hanya dengar cerita bangga si pemasak. Bangga juga
karena sebagai menu harian. Kalau tidak menyengat atau menonjok hidung, belum
masak kilahnya. Tetangga harap maklum.
Di beda waktu, si
pemasak tadi juga rajin nguping menu tetangga. Tidak mau kalah, atau jangan
sampai klasnya sama. Kalau tetangga masak dada ayam. Tak mau kalah nyali. Rebus
ayam utuh sampai tulang lunak.
Seringnya kunyah menu
harian Pancasila, yang beda dengan periode sebelumnya, akhirnya menjadikan
lidah semangkin tidak bertulang. Fasih mengucap ujaran kebencian, ujaran
kebohongan secara konstitusional, yuridis formal. Segala tindakan dan
akibatnya, karena panggilan tugas atau perintah atasan, tidak masuk kategori
tindak pidana.
Tahun pertama, menu
harian masih terikat adat pesta pora rayakan kemenangan besar. Sebagai juara
umum laga kandang pesta demokrasi 2014. Tahun kelima atau tahun terakhir
periode, sarat dengan menu titipan. Lepas dari menu dengan bahasa asing. Diimbangi menu dengan paket citra, pesona,
wibawa. Sebagai modal meraih daya serap, daya endus, daya hisap hidung rakyat. Yang
beredar sesuai matahari terbit. Mereka dielus-elus dengan kinerja semu. Yang penting
sudah disambangi dengan berbagai atraksi, adegan, acara. Soal suara, lihat menu
Pancasila yang bagaimana yang cocok dengan lidah rakyat. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar