Halaman

Minggu, 03 Juni 2018

melongok menu harian dapur Pancasila penguasa


melongok menu harian dapur Pancasila penguasa

Udara panas sekitar sumber api kebakaran, sebagai perantara jitu menjalarkan api. Seolah membuat lorong panas atau bahkan lorong nyata pada bangunan gedung bisa sebagai jalur pendek evakuasi jilatan api.

Jauh dari sumber kebakaran, namun jika ada hubungan diplomatik, bisa ikut terbakar. Jangan coba-coba main atau bermain di lorong panas, bisa jadi korban sia-sia. Minimal akan terdampak satu periode. Kalau sudah runyam begini ini, kapok lombok mbokdé.

Adab bertetangga, jangan sampai hidung tetangga terusik bau aroma irama kuliner yang sedang kita olah. Cuma membau saja. Setelah itu hanya dengar cerita bangga si pemasak. Bangga juga karena sebagai menu harian. Kalau tidak menyengat atau menonjok hidung, belum masak kilahnya. Tetangga harap maklum.

Di beda waktu, si pemasak tadi juga rajin nguping menu tetangga. Tidak mau kalah, atau jangan sampai klasnya sama. Kalau tetangga masak dada ayam. Tak mau kalah nyali. Rebus ayam utuh sampai tulang lunak.

Seringnya kunyah menu harian Pancasila, yang beda dengan periode sebelumnya, akhirnya menjadikan lidah semangkin tidak bertulang. Fasih mengucap ujaran kebencian, ujaran kebohongan secara konstitusional, yuridis formal. Segala tindakan dan akibatnya, karena panggilan tugas atau perintah atasan, tidak masuk kategori tindak pidana.

Tahun pertama, menu harian masih terikat adat pesta pora rayakan kemenangan besar. Sebagai juara umum laga kandang pesta demokrasi 2014. Tahun kelima atau tahun terakhir periode, sarat dengan menu titipan. Lepas dari menu dengan bahasa asing. Diimbangi menu dengan paket citra, pesona, wibawa. Sebagai modal meraih daya serap, daya endus, daya hisap hidung rakyat. Yang beredar sesuai matahari terbit. Mereka dielus-elus dengan kinerja semu. Yang penting sudah disambangi dengan berbagai atraksi, adegan, acara. Soal suara, lihat menu Pancasila yang bagaimana yang cocok dengan lidah rakyat. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar