Indonesia kekini-kinian, rentan sentuhan ringan lokal vs tahan banting
intervensi asing
Semakin jauh
meninggalkan lapisan rakyat, maka tak ayal suasana kerakyatan harus bersaing
dengan aneka masukan dan tekanan. Baru selapis di atas rakyat, merasa nyaman betengger,
langsung berkacak pinggang, jemur gigi. Lupa asupan gizi dari kebun sendiri.
Pemerintah pernah
merazia nama asing, kata asing. Bentuk dasar rasa nasionalisme. Bekèn nama
orang ‘barnowo’ atau bubar Cino (dadi) Jowo. Restoran atau rumah makan negara lain,
dengan nama sesuai bahasanya, tetap eksis. Menambah gengsi pemakannya,
penyantapnya yang “bulé ireng”.
Bulé sawo matang, yang
masuk jajaran sebagai manusia politik. Tampil yakin diri dengan “wajah tak
berseri”. Merasa tak layak berwajah kerakyatan. Merasa badan ini gerah jika
harus berkeringat, cuma untuk berebut kursi. Maunya disuapi alias dikursii. Tentunya
amanah bukan dari arah depan, belakang maupun arah samping kanan dan samping
kiri. Terlebih dari bawah, lapisan rakyat.
Yang dibutuhkan rakyat,
yaitu beli beras jangan antri. Seperti di zaman Orde Lama. Program keaneragaman
beras, dioplos dengan jagung, ketela, ubi. Kedelai tampil khusus. Ingat, kita
bukan bangsa témpé, ujar BK saat itu.
Lagi-lagi sejarah. Pada lapis
tertentu, anak bangsa yang sedang naik daun, ringan, membubung tinggi. Masuk dimensi
kendali, komando, koordinasi internasional. Saat di lapisan rakyat tampak
gagah. Sekarang hanya bak robot atau anak wayang. Siap dan laik adu dengan
pihak manapu. Apalagi main injak, main dupak, main sepak tapi bukan pesepak
bola. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar