Halaman

Minggu, 24 Juni 2018

Indonesia kekini-kinian, rentan sentuhan ringan lokal vs tahan banting intervensi asing


Indonesia kekini-kinian, rentan sentuhan ringan lokal vs tahan banting intervensi asing

Semakin jauh meninggalkan lapisan rakyat, maka tak ayal suasana kerakyatan harus bersaing dengan aneka masukan dan tekanan. Baru selapis di atas rakyat, merasa nyaman betengger, langsung berkacak pinggang, jemur gigi. Lupa asupan gizi dari kebun sendiri.

Pemerintah pernah merazia nama asing, kata asing. Bentuk dasar rasa nasionalisme. Bekèn nama orang ‘barnowo’ atau bubar Cino (dadi) Jowo. Restoran atau rumah makan negara lain, dengan nama sesuai bahasanya, tetap eksis. Menambah gengsi pemakannya, penyantapnya yang “bulé ireng”.

Bulé sawo matang, yang masuk jajaran sebagai manusia politik. Tampil yakin diri dengan “wajah tak berseri”. Merasa tak layak berwajah kerakyatan. Merasa badan ini gerah jika harus berkeringat, cuma untuk berebut kursi. Maunya disuapi alias dikursii. Tentunya amanah bukan dari arah depan, belakang maupun arah samping kanan dan samping kiri. Terlebih dari bawah, lapisan rakyat.

Yang dibutuhkan rakyat, yaitu beli beras jangan antri. Seperti di zaman Orde Lama. Program keaneragaman beras, dioplos dengan jagung, ketela, ubi. Kedelai tampil khusus. Ingat, kita bukan bangsa témpé, ujar BK saat itu.

Lagi-lagi sejarah. Pada lapis tertentu, anak bangsa yang sedang naik daun, ringan, membubung tinggi. Masuk dimensi kendali, komando, koordinasi internasional. Saat di lapisan rakyat tampak gagah. Sekarang hanya bak robot atau anak wayang. Siap dan laik adu dengan pihak manapu. Apalagi main injak, main dupak, main sepak tapi bukan pesepak bola. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar