suksesi Asian Games XVIII 2018,
mistis tanam kepala kerbau vs mantra dukun pengganda periode
Adalah
tahun 1962. Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games IV. Antusias rakyat tanpa
pamrih. Dukungan moral dan moril
penduduk, otomatis tanpa hitung-hitungan.
Praktik
persatuan dan kesatuan, dalam pola gotong royong, berbentuk paguyuban, berupa
wujud kerukunan, masih nyata. Masih kinyis-kinis, mak nyuus, sreeng. Grengsengnya masih nasgitel.
Memang,
suhu dan tensi politik dibilang panas dalam. Sudah ada pihak yang mulai demam,
badan menggigil, otak berontak, mata merah. Namun, adat nasionalisme masih
menonjol. Kawanan manusia politik ada yang bermain di balik layar, di belakang
penguasa. Siap menelikung, menyalib dan menggunting dalam lipatan.
Ramuan
dan menu politik ‘nasakom’ masih dirasa ampuh. Di pihak lain, koran dan RRI, tidak memperkeruh suasana. Bola liar politik
sudah kebaca. Pihak mana saja yang punya peran sterategis dalam mengelola
kejahatan politik tingkat tinggi.
Rakyat
dininabobokan dengan agenda pemerintah. Wabah korupsi sudah diakui secara
yuridis formal. Jangan lupa, masih ada dan tersisa musuh negara, musuh rakyat. Fokus
dan perhatian rakyat jangan sampai sempat-sempatnya mengkritisi pemeritah.
Pasal kontra-revolusioner,
subversif dan yang paling pokok adalah anti-nasakom menjadi andalan pemerintah
Orde Lama untuk main sapu bersih (saber) dan asal sikat bersih (siber) lawan
politik.
Urusan perut
rakyat, ada beras bulgur bantuan USA. Upaya dalam negeri dengan memproduksi
oplosan ‘tekad’ utawa koalisi ketela, kacang, djagung. Belum ada minuman
kemasan bertajuk air mineral. Apalagi laundry kiloan.
Rekam jejak
sejarah, berisi duduk perkara, memuat kejadian perkara sampai modus, rekayasa
perkara antar periode pemerintah, sebagai bukti adanya konspirasi politik
makro. Seperti ekonomi makro. Biar kerèn. Berlaku peribahasa Jawa: “siji kurang, loro kakèhan”. Akhirnya, cukup dua anak. Menjadi keluarga
catur warga. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar