Indonesia kekini-kinian, menari di atas bangkai rakyat vs kontrak di bekas
rumahnya
Logika politik, mencari
sebelas orang untuk menjadi timnas. Sejak awal dipraktikkan, selalu saja dalih
ngelèsnya. Banyak pihak yang layak dijadikan kambing hitam.
Terbanyak adalah pihak
yang merasa berjasa, punya andil. Pegang peran sentral. Ingat jargon lawak
Srimulat: “untung ada aku”.
Adagium “dimana bumi
kita injak, pakai adat setempat”. Lebih nyata. Malah semakin memperkuat adat
setempat. Lingkungan tempat tinggal penulis, sudah lama bercokol etnis
tertentu. Tentu sudah mengalami pembauran dengan pendatang. Sehinga tidak bisa
lagi disebut nomenklaturnya. Pokoknya, anak keturunan suku Indonesia jilid
kesekian.
Hebatnya lagi adat yang
dimaksud. Mereka mati-matian melaksanakaan hajat agar sukses sejarahnya. Anak sunat
sampai anak menikah, dimeriahkan dengan meriah. Serba gengsi dan adu klas.
Dikisahkan. Ada keluarga
begitu pasca pesta keluarga, yang mana ternyata rumahnya dijual sebagai modal. Ilmu
ekonominya mengatakan akan balik modal. Hitung punya hitung. Belum balik modal.
Singkat nasib, sesuai salh satu judul.
Jangan sekali-kali
diartikan. Bagaimana dengan pesta demokrasi. Demi gengsi, tentu ada pihak yang
dikorbankan. Ini menjadi urusan parpol pendukung yang ahli menghabiskan asam
garam kehidupan politik.
Jelas dan jujur. Makanya
kesebelasan RI memang selalu jago kandang. Sebagai ikhtiar masuk bursa dunia. Semua
langkah butuh pengorbanan. Terlebih bagimana cerdasnya oknum ketum dan jajaran
elit PSSI. PSSI bak parpol. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar