Halaman

Sabtu, 23 Juni 2018

Indonesia kekini-kinian, menari di atas bangkai rakyat vs kontrak di bekas rumahnya


Indonesia kekini-kinian, menari di atas bangkai rakyat vs kontrak di bekas rumahnya

Logika politik, mencari sebelas orang untuk menjadi timnas. Sejak awal dipraktikkan, selalu saja dalih ngelèsnya. Banyak pihak yang layak dijadikan kambing hitam.

Terbanyak adalah pihak yang merasa berjasa, punya andil. Pegang peran sentral. Ingat jargon lawak Srimulat: “untung ada aku”.

Adagium “dimana bumi kita injak, pakai adat setempat”. Lebih nyata. Malah semakin memperkuat adat setempat. Lingkungan tempat tinggal penulis, sudah lama bercokol etnis tertentu. Tentu sudah mengalami pembauran dengan pendatang. Sehinga tidak bisa lagi disebut nomenklaturnya. Pokoknya, anak keturunan suku Indonesia jilid kesekian.

Hebatnya lagi adat yang dimaksud. Mereka mati-matian melaksanakaan hajat agar sukses sejarahnya. Anak sunat sampai anak menikah, dimeriahkan dengan meriah. Serba gengsi dan adu klas.

Dikisahkan. Ada keluarga begitu pasca pesta keluarga, yang mana ternyata rumahnya dijual sebagai modal. Ilmu ekonominya mengatakan akan balik modal. Hitung punya hitung. Belum balik modal. Singkat nasib, sesuai salh satu judul.

Jangan sekali-kali diartikan. Bagaimana dengan pesta demokrasi. Demi gengsi, tentu ada pihak yang dikorbankan. Ini menjadi urusan parpol pendukung yang ahli menghabiskan asam garam kehidupan politik.

Jelas dan jujur. Makanya kesebelasan RI memang selalu jago kandang. Sebagai ikhtiar masuk bursa dunia. Semua langkah butuh pengorbanan. Terlebih bagimana cerdasnya oknum ketum dan jajaran elit PSSI. PSSI bak parpol. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar