seni melipat kertas vs
budaya memanipulasi fakta
Berfungsinya seni melipat kertas
nasi, jelas terjadi di rumah makan atau tempat jual pangan matang. Identik dengan
meliopat daun untuk pincuk atau wadah santapan. Di Indonesia sebagai hal umum,
biasa, wajar, lumrah dan turun-temurun antar generasi. Kertas bekas koran punya
andil, urun jasa sebagai bungkus, berkoalisi dengan daun pisang.
Untuk mendekatkan jarak, atau
mempersingkat waktu tempuh, perlu seni atau ilmu melipat bumi. Pasal ini
serahkan ke ahlinya, ke pihak yang berwajib dan berwenang. Salah langkah malah
tak bisa kembali dan kemana-mana. Masuk dimensi lain yang sejajar dengan
dimensi alam manusia.
Kehidupan manusia dan alam semesta
memang sudah diskenario oleh Allah swt. Sudah menjadi kepastian, kehendak dan
ketetapan-Nya. Sampai daun gugur, karena usia atau faktor lainnya.
Manusia pernah bermitos, mengapa
buah atau biji pohon beringin kecil, mungil. Sedangkan buah semangka yang merayap,
merambat bisa besar. Mampu melebihi ukuran kepala manusia. Manusia bisa terjebak
kalau hanya cuma mengandalkan daya nalar, olah otakl, dan kadar logika.
Yang sudah ditetapkan oleh-Nya,
tidak dicermati dijadikan pegangan dan pedoman hidup. Yang samar-samar malah
dikelola dengan total. Dirumuskan untuk dijadikan pasal kehidupan.
Walhasil, hubungan antar manusia
dalam satu teritorial, wilayah administrasi, batas fungsional berdasarkan
aturan main buatan manusia. Menterjemahkan nafsu manusia menjadi tindakan
legal, halal, konstitusional.
Bisa terjadi tirani mayoritas karena
agama yang dominan menghalalkan segala cara. Sebaliknya, praktik nyata tirani
minoritas karena manusia ekonomi sebagai pemegang nyata suatu bentuk negara,
pemerintahan. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar