Halaman

Rabu, 20 Juni 2018

dikotomi rakyat Indonesia, suara (hati) rakyat vs suara (tangan) rakyat


dikotomi rakyat Indonesia, suara (hati) rakyat vs suara (tangan) rakyat

Membaca penulis asing tentang Indonesia. Menyimak laporan pihak asing tentang aneka kejadian perkara yang menjadi menu harian rakyat Indonesia. Menelaah artikel apa dan siapa rakyat di Indonesia.

Cara mudah, cukup pasang telinga manfaatkan tayangan oleh media massa, khususnya media layar kaca, tentang berita status kemajuan bangsa dan negara Indonesia di bawah tangan penguasa.

Tentu ikhwal di alenia dua, sudah lulus atau lolos sensor badan sensor ujaran fakta tapi nyata. Semboyan Orde Baru: ‘atas petunjuk bapak presdien’ muncul dengan format teranyar. Efek dominonya mampu dongkrak gelak tawa getir anak bangsa.

Pasal pengganda berita yang mana dianggap mengganggu wibawa negara, agaknya protokeler istana tampak kalah serba kalah. Semakin diralat, disanggah malah jadi bulan-bulanan. Kabar baiknya, kalau dicetak atau ditayangkan dalam bahasa asing, pemerintah lega.

Lembaga survei asing yang mempunyai cabang di Nusantara, walau sudah dilakukan komunikasi, koordinasi, kendali oleh aparat berwenang, tetap menyajikan berita sesuai kode etik jurnalistik.

Pasal adanya pihak yang layak diduga sebagai penabur dan penebar aneka ujaran, tergantung sumbernya. Pemerintah sudah punya kiat jitu. Sisi lain malah bisa dimanfaatkan untuk mendèrèk prestasi pemerintah. Karena pihak semacam ini maunya bermain cantik, aman dan mengenyangkan.

Pembaca yang dihormati oleh sesame anak bangsa pribumi,

Sebut saja, bahwasanya suatu pemerintah bisa dikatakan sedang sekarat. Tolok ukur internasional jika nilai tukar mata uangnya masuk kondisi mengkuatirkan. Tergantung sentimen positif pasar dunia, makro. Ini bahasa ekonomi.

Menyangkut bahasa politik, sederhana saja. Bagaimana pemerintah mengkondisikan dan memposisikan rakyat. Tak ada hubungan konstitusional dengan keberadaan, eksistensi wakil rakyat mulai tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi maupun tingkat nasional. Ada dan adanya wakil daerah atau utusan daerah atau utusan golongan. Dinamika praktik demokrasi.

Jika ada sebutan masyarakat kurang beruntung, sebagai syarat adiministrasi untuk ajukan utang luar negeri. Diimbangi status darah kurang beruntung. Bisa dialami oelh sebuah provinsi. Bentuk lain adalah permanent underclass. Sebagai obyek pembangunan nasional. Lagi, tapi bukan yang terakhir, adalah stigma: uneducated people. Jelas taka da artian umum dari pengertian ‘wong cilik’. Betul. Sama-sama menjadi obyek politik sesaat. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar