dikotomi rakyat Indonesia, suara (hati) rakyat vs suara (tangan) rakyat
Membaca penulis asing
tentang Indonesia. Menyimak laporan pihak asing tentang aneka kejadian perkara
yang menjadi menu harian rakyat Indonesia. Menelaah artikel apa dan siapa
rakyat di Indonesia.
Cara mudah, cukup pasang
telinga manfaatkan tayangan oleh media massa, khususnya media layar kaca,
tentang berita status kemajuan bangsa dan negara Indonesia di bawah tangan
penguasa.
Tentu ikhwal di alenia
dua, sudah lulus atau lolos sensor badan sensor ujaran fakta tapi nyata. Semboyan
Orde Baru: ‘atas petunjuk bapak presdien’ muncul dengan format teranyar. Efek dominonya
mampu dongkrak gelak tawa getir anak bangsa.
Pasal pengganda berita
yang mana dianggap mengganggu wibawa negara, agaknya protokeler istana tampak
kalah serba kalah. Semakin diralat, disanggah malah jadi bulan-bulanan. Kabar baiknya,
kalau dicetak atau ditayangkan dalam bahasa asing, pemerintah lega.
Lembaga survei asing
yang mempunyai cabang di Nusantara, walau sudah dilakukan komunikasi,
koordinasi, kendali oleh aparat berwenang, tetap menyajikan berita sesuai kode
etik jurnalistik.
Pasal adanya pihak yang
layak diduga sebagai penabur dan penebar aneka ujaran, tergantung sumbernya. Pemerintah
sudah punya kiat jitu. Sisi lain malah bisa dimanfaatkan untuk mendèrèk prestasi pemerintah. Karena pihak
semacam ini maunya bermain cantik, aman dan mengenyangkan.
Pembaca yang dihormati
oleh sesame anak bangsa pribumi,
Sebut saja, bahwasanya
suatu pemerintah bisa dikatakan sedang sekarat. Tolok ukur internasional jika
nilai tukar mata uangnya masuk kondisi mengkuatirkan. Tergantung sentimen positif pasar dunia, makro. Ini bahasa ekonomi.
Menyangkut bahasa
politik, sederhana saja. Bagaimana pemerintah mengkondisikan dan memposisikan
rakyat. Tak ada hubungan konstitusional dengan keberadaan, eksistensi wakil
rakyat mulai tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi maupun tingkat nasional. Ada
dan adanya wakil daerah atau utusan daerah atau utusan golongan. Dinamika praktik
demokrasi.
Jika ada sebutan
masyarakat kurang beruntung, sebagai syarat adiministrasi untuk ajukan utang
luar negeri. Diimbangi status darah kurang beruntung. Bisa dialami oelh sebuah
provinsi. Bentuk lain adalah permanent underclass. Sebagai obyek
pembangunan nasional. Lagi, tapi bukan yang terakhir, adalah stigma: uneducated
people. Jelas taka da artian umum dari pengertian ‘wong cilik’. Betul. Sama-sama
menjadi obyek politik sesaat. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar