Halaman

Senin, 30 Juni 2014

GERAKAN MORAL ANTI SALING LIBAS

Beranda » Berita » Opini
Rabu, 09/10/2002 09:11
GERAKAN MORAL ANTI SALING LIBAS*)

Bulatlah sudah ramalan mengapa Bhinneka Tuggal Ika digulirkan oleh para pendiri bangsa dan negara kita. Klimaks jawabannya ketika kita dilanda krisis kebangsaan dalam menyelenggarakan negara. Contoh formalnya yaitu ketika kita bebas mendirikan partai politik, yang berhasil ikut Pemilu 1999 baru 48 parpol. Belum lagi bentuk kebebasan yang meluap dari jalanan sampai merambah ke tatanan paling atas yang notabene sudah mapan. Bahasa "saling libas" merupakan trade mark kekuatan Orde Baru dalam mempertahankan eksistensinya dari pemilu ke pemilu. Ritme inilah yang mengilhami para petualang bahwa untuk eksis harus menang pemilu. Lahirlah kiat untuk beringin, berakan, berhendak, bermau,berminat, berniat sampai berandai-andai dalam mimpi. Dari sekian kiat tadi yang menonjol adalah kiat beringin, yang memang selama ini Beringin-lah yang menjadi biang kerok jalanan. Wabah "Beringin" memang sudah kronis dan akut, kendati sudah diamputasi tetap menularkan virus.

Bak Dasamuka yang seumur dunia, telah menyebarkan berbagai virus keserakahan, ketamakan dan berbagai bentuk jamak kejahatan. Fakta tanpa kata bahwa banyak orang Indonesia "berandai-andai" melihat konflik yang tak kunjung reda. Pengamat ekonomi mengatakan bahwa dengan teori apapun ekonomi Indonesia memang terpuruk dan nyaris ambruk. Selain dikeruk oleh konglomerat kemungkinan lain karena diaduk-aduk oleh para penyelenggara negara yang sedang kemaruk. Ibarat tidak kebagian panen cukup puas dengan mengaduk-aduk tanahnya, siapa tahu ada "sisa-sisa" yang bisa dimanfaatkan. Tulang-tulang sisa inilah yang kini jadi rebutan. Dalam suasana "rebutan balung" inilah maka kita cakar-cakaran, sikut-menyikut, libas-melibas dalam lipatan. Sedemikian memprihatinkan, sehingga negara lain yang pukul gendang kita yang repot-repot joged! Intimidasi kata oleh negara adidaya malah membuktikan bahwa dalam negeri kita banyak anasir saling libas.

Misi yang terekayasa secara sistematis karena adanya dukungan dana dari negara industri senjata. Adanya aliran yang menginginkan terulangnya zaman jahiliah. Berhala yang bernama kekuasaan menjadi dambaan dan pujaan para penggembala dosa. Lengkaplah sudah daftar dosa yang disusun oleh negara adidaya yang bertujuan untuk menebus dosanya di masa yang akan datang. Mosok dosa pun diperanakkan dan dibapak-bapakkan bahkan sampai dipertuhankan.

Saling libas merupakan buah dari perjanjian lama maupun perjanjian baru kawanan setan dengan para penggemar setianya. Kendati ada angin surga tentang persaudaraan, ternyata kita lebih mengedepankan perjanjian dengan setan. Sambil menunggu munculnya tebusan dosa maka kita bebas sebagai pendosa, bebas mengkoleksi berbagai ragam dosa. Dari dosa bawaan sampai dosa kiriman. Dari dosa seputih salju sampai dosa rasa keju. Dari dosa yang tertera dalam kitab-kitab sampai tahunya setelah dihisab.

Bisikan saling libas terkadang memukau kita, bahkan dengan iming-iming sembako atau rayuan pekerjaan bisa memanipulasi akidah seseorang. Memang rancu antara saling libas dengan perpanjangan tangan teroris mancanegara. Untung kita masih ber-Bhinneka Tunggal Ika.(hn) *) maaf, jangan diakronimkan/disingkat.


pendidikan politik = tepuk tangan yang keras

Beranda » Berita » Opini
Kamis, 19/08/2010 06:38

pendidikan politik = tepuk tangan yang keras

Pendidikan politik melalui media masa layar kaca sangat manjur, mujarab, tokcer, dan ampuh. Mampu menghipnotis pemirsa dan menyihir penonton, terutama yang ditayangkan berulang dengan berbagai trik dan tips mengaduk-aduk emosi. Sajiannya dengan bahasa rakyat, walau tak mirip komedian, namun bisa menimbulkan tawa yang luar biasa. Ironis, tawa yang berbasis hati nurani tak jauh dari makna mentertawakan si pembicara.

Si pembicara (mulai dari yang mirip mantan kepala negara, politisi kambuhan atau yang numpang nampang, yang masih aktif sebabagai kader parpol yang tidak dikenal di lingkungan tempat tinggal dapilnya, sampai wong cilik mendadak tenar) - mereka tak ambil peduli apakah di acara picisan (sekedar pengisi) atau di acara andalan penyiaran TV swasta - yang penting dimeriahkan dengan dukungan tukang keplok atau sporter paduan tepuk tangan. Semakin keras aplaus tepuk tangan, berarti semakin berbobot pidatonya.

Di belakang pembicara, biasanya nampak berjajar rapi rombongan berseragam atribut para pendukungnya. Tak hanya si pembicara yang menjadi daya pikat, nuansa atau wacana tragedi yang berbau politis acap menjadi hiburan! yang sekaligus menjadi daya tarik sebagai perimbangan hidup sehari-hari. Contoh, politisi dari kumpulan wakil rakyat, dengan aliran mbambung sesat sering memamerkan statemen di running text. Padahal ada ketua, yang secara organisastoris yang berhak mengedepankan fakta dan kata. Ketua dewan redaksi TV swasta yang sering nongol untuk memblow up suatu affair menambah maraknya dunia pendidikan politik.

Ada persamaan sekaligus perbedaan mendasar antara selebritis dan politikus utawa politisi, paling tidak seperti yang ditayangkan di media masa. Sebagai contoh, aib yang menimpa keluarga seleb, semisal urusan cerai berai utawa adegan dengan pelaku mirip artis, dikemas jadi tontontan yang menarik di TV swasta, sebagai hiburan. Tak jarang satu peristiwa dikemas berbeda oleh TV swasta, tujuan cuma meningkatkan peringkat. Orang menjadi tak terharu, iba kasihan, dan empati bila derita seseorang jadi bahan lelucon, banyolan. Celakanya yang diwawancarai, dengan casting berbeda, malah jual tampang tak ada kesan menderita, malah bangga muncul di layar kaca. Penjahat yang sering muncul, pejabat yang rajin nongol, politisi yang acap tampil sampai berita bencana alam, tak ada bedanya. Sudah saatnya kita punya acara TV yang santun, beradab, bermartabat tidak terkontaminasi apapun yang terjadi, jangan aji mumpung, dengan dalih terselubung demi mendulang uang

DISKUSI, DIALOG, DEBAT
Memasuki era Reformasi dekade 2, kran demokrasi terbuka deras, tanpa sensor dan tanpa pesanan dari sponsor. Banyak orang merasa bisa. Puncaknya, ketika RI-2 2004-2009 merasa lebih cepat, lebih bisa daripada RI-1. Jika manusia Indonesia dimintai pendapatnya, jangankan diminta, tidak dimintapun dengan girang menyampaikan daya akalnya. Komentar, analisa, ulasan yang disampikan tidak jauh dari model ndelok (bhs Jawa, artinya kendel alok atau berani teriak). Seperti penonton sepak bola.

Kebijakan pemerintah paling banyak menjadi sasaran tembak. Penampil, pembicara atau penyaji dalam acara diskusi, dialog dan debat di TV swasta, dipandu oleh super ahli terkadang tak beda jauh dengan acara hiburan Super Family. Persamaannya, pemain lebih menonjolkan urat berfikir yang lama, mencari jawaban sambil pura-pura putar otak, pura-pura mengalami kesulitan mencari kata yang tepat, walau pertanyaan selalu diulang-ulang untuk mengulur waktu atau memberi waktu namun tetap butuh waktu untuk mencerna (apalagi mencari jawaban), jawaban spontan ada yang mengulang jawaban salah teman satu famili atau lawan main, agar kelihatan lebih cerdas pemain minta pertanyaan dibacakan. Jika jawabannya benar, girang alang kepalang atas kecerdasan ESQnya. Kalau jawabannya tak ada, kecewanya sambil menyalahkan yang disurvei.

TAK ADA YANG LEBIH JELEK
Pendidikan politik, melalui pidato, maupun acara diskusi, dialog dan debat dengan tema terkini maupun tema terlampau sudah sampai pada titik nadir. Rakyat terkadang sudah bisa menebak akhir cerita atau jalannya cerita. Secara awam dapat disimpulkan :

Pertama, banyak orang dan manusia Nusantara yang tidak buta politik merasa bisa jadi RI-1;

Kedua, tahun 2009-2014 merupakan puncak kebrutalan parpolis yang manggung di legislatif, eksekutif dan yudikatif mulai dari tingkat daerah kabupaten/kota, provinsi sampai pentas nasional;

Ketiga, tahun 2014 generasi muda harus siap alih pimpinan nasional, untuk itu generasi muda harus bebas alkoho dan NKRI bebas dari ambisi parpol;

Keempat, para pembicara selama ini menyelesaikan pembicaraannya saja susah, apalagi untuk menyelesaikan masalah;

Kelima, berhala Reformasi yang bernama 3K (kuat, kuasa, kaya) sebagai dasar dan tujuan perjuangan politik yang akan tetap marak karena sebagai platform parpol peserta pemilu dan pilpres;

Keenam, biarkan semua makhluk tampil di pentas dan panggung politik, ada yang diuntungkan bak kucing keluar dari karung sehingga rakyat pemilih tak seperti membeli gerombolan kucing satu karung;

Ketujuh, pendidikan politik untuk yang buta politik atau untuk yang melek politik; untuk rakyat yang punya hak pilih agar tak salah pilih atau untuk oknum rakyat yang merasa berhak dipilih;

Kedelapan, pembicara atau orator kendati sekaliber dedengkot parpolis, pendengar walau tak 100% propemerintah, merasa tak terwakili; serta yang terakhir atau


Kesembilan, apa tak ada yang lebih jelek lagi yang patut tampil untuk pamer bego! (HaeN).

KETIKA GURU KENCING BERDIRI

Beranda » Berita » Opini
Selasa, 22/10/2002 09:43

KETIKA GURU KENCING BERDIRI

Wagu tur kuru, sebuah atribut atau predikat yang ditimpakan kepada sosok guru. Gambaran tersebut mewakili karakteristik fisik guru tempo doeloe maupun sekarang. Sebagai penyandang “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” ternyata peran guru bisa mewarnai sejarah.

Contoh yang mendalam dengan tinta emas yaitu karena tak ada sentuhan tangan guru maka presiden RI ke 2, Soeharto, bisa memperpanjang beban sebagai mandataris MPR. Karena tak ada yang berpengalaman sebagai presiden, maka selama 6 kali berturut-turut atau 6 kali pemilu tetap terpilih sebagai presiden. Karena Soeharto dalam hal “makan bangku sekolah” hanya sebatas Sekolah Rakyat maka kursi kepresidenan dimakan sampai anak cucu. Soeharto pun menyadari tak ada komponen tri winasis dalam keluarganya. Sebagai Jenderal Besar dan pengendali pengusaha nasional maupun pembina kendaraan politik terbesar, kekurangan akan unsur Wasis sangat menghantui nuraninya. Sehingga ketika akan berbesan dengan Begawan Ekonomi girangnya memuncak. Kata TRI WINASIS tersirat dalam kemasan "tiga makna", yaitu: "Wirya, Arta, tri Winasis", sebagaimana tersurat dalam "Serat Wedhatama" KGPAA Mangkunegara IV. Soeharto menyadari betul bahwa sebagai sosok kepemimpinan yang bisa menyatukan tiga pilar bangsa, yang menjadi kekuatannya, yaitu: "ABRI, Usahawan dan Cendekiawan".

Singkat kata, Soeharto ingin mengulang sejarah suksesnya dengan menjadikan si Winasis atau Wasis tadi yang dalam lakon babak terakhirnya (lengser keprabon) berperan sebagai Pangkostrad. Pondasi dari didikan dan ajaran guru yang dirasa kurang, tak heran bahwa otak kanan dan otak kiri Soeharto berkembang apa adanya. Otak belakangnya justru berkembang sangat cepat dan dominan. Apa yang tidak dipikirkan orang, beliau sudah melakukannya secara sukses. Apa yang tidak terlintas di benak orang, beliau sudah menyelesaikannya dengan jitu. Apa yang belum pernah ada dalam teori manapun, beliau sudah mempraktekkannya siang malam. Apa yang belum pernah dikatakan orang, beliau sudah melaksanakannya dengan rapi. Bahkan apa yang diharamkan agama, semua sudah beliau pedomani, hayati dan amalkan secara halal.

Pasca Soeharto, para penyelenggara negara sebagian besar merupakan paduan antara ARTA dan WINASIS. Masalah mendasar yaitu mereka yang merasa Winasis tetapi belum Arta akan mati-matian mencari Arta. KKN versi reformasi, kalau dulu ada di pusat atau yang dekat dengan poros kekuasaan negara, sekarang KKN telah di-otonomi daerah-kan.

Sekarang mereka memang sedang memraktekkan ajaran kawruh jiwa, kawruh begja Ki Ageng Soerjomentaraman yaitu : sabutuhe, saperlune, sacukupe, sakepenake, samesthine, dan sabenere - sebuah deretan kata yang sulit dicarikan padanannya dengan pas dalam bahasa Indonesia, tetapi boleh diterjemahbebaskan. Contoh seluas-luasnya, sedalam-dalamnya, setinggi-tingginya dan seadanya (semua yang ada kalau tidak ada harus diadakan secara mengada-ada).

Perimbangan Arta dan Winasis inilah yang menyebabkan OTAK SEBELAH LUAR yang berkembang dan sering dipakai. Bukankah si pembisik terpakai dan pertimbangan agung diabaikan yang menjadi ciri reformasi. Tepatnya, OTAK TETANGGAlah yang sering dipakai bangsa ini dalam menjalankan roda pemerintahan. Jika negera tetangga bisa lepas dari belitan krisis multi dimensi, maka kita tak akan menjiplak mentah-mentah.

Kita hanya akan tergerak dan bangkit dari keterpurukan di bidang ekonomi jika didikte otak tetangga yang bernama IMF, atau hanya akan peduli pada keamanan dan pertahanan bila didikte otak tetangga yang bergelar negara adidaya. Kinerja Badan Intai/Intip Nasional memasuki strata “buruk muka, cermin tetangga dibelah”. Selama kita masih mengandalkan dan didominasi oleh otak tetangga maka tak akan ada obat mujarab yang bisa menuntaskan penyakit yang justru sedang kita nikmati bersama dan dikembangbiakkan.

Bukan salah guru, ketika jika anak didiknya bisa kencing dimana-mana. Kita ubah kredo sesuai judul opini menjadi “Guru kencing berdiri di atas kursi, murid kencing berlari sambil menari”. (hn).


PENJAHAT BER-AL KOHOL

Beranda » Berita » Opini
Selasa, 22/10/2002 07:58
PENJAHAT BER-AL KOHOL

Sebagai bangsa besar penduduk bersuku-suku dan penyayang sesama maka Indonesia terkenal dengan masyarakatnya yang ramah tamah kepada bangsa kulit putih. Keramahtamahan ini dibentuk selama 3,5 abad oleh bangsa penjajah. Kalau "Saudara Tua" hanya seumur jagung menjajah Indonesia namun kejayaan teknologinya masih menjajah seumur-umur bangsa ini. Asal berkulit putih maka akan mendapat tempat terhormat di mata kita. Contoh mudah, di kantor ada TKA sebagai konsultan, dengan modal fasih berbahasa asing akan bergaji dolar sebulan di atas gaji setahun Korpri. Padahal di kantor para konsultan asing hanya jemur gigi, pasang dasi, makan roti. Kondisi inilah yang menjadikan bangsa Indonesia mudah dijajah sampai kapan pun, dengan cara apapun.

Ketika tuduhan dilontarkan bahwa Indonesia sebagai sarang teroris, kita hanya pasif seribu bahasa. Kita tidak pernah curiga pada turis bule. Turis bule yang merangkap sebagai PSK akan mempunyai tarif yang tinggi. Kalau ke turis berkulit hitam ada pengalaman bahwa mereka sebagai pengedar Narkoba.

Pintarnya negara adidaya yang mengirim teroris berkulit putih, pasti tak akan dicurigai. Lebih pintar lagi ternyata tak perlu turun tangan, cukup pakai tangan orang. Pinjam tangan untuk berbagai urusan kepentingannya merupakan salah satu ciri negara adidaya. Al Qaidah atau pun Al-Al yang lain, dijadikan sarana untuk menggoalkan niatnya dalam menyumbat pergerakan Islam di Indonesia. Pasca perang dingin maka sebagai negara adidaya tak mempunyai lawan sepandan. Lawan potensialnya hanya Islam dan Indonesia dengan penduduk mayoritas Islam jelas sebagai target teroris internasional bikinan AS.

Maka, dan semenjak dahulu, dikirimlah penjahat bernama Al Kohol, dalam berbagai kemasan dan merk. Jaringan peredaran Al Kohol memang resmi, didukung semua aparat dan pejabat, terlebih jika pajaknya menjadi andalan utama PAD. Para pengguna potensial, dari rakyat pinggir jalan sampai pejabat yang tak mau minggir, akan naik gengsinya dan terdongkrak martabatnya jika mengkonsumsi minuman beralkohol.

Tak perlu disample bahwa berbagai bentuk tindak kejahatan, kekerasan maupun tindak kriminalitas lainnya merupakan produk Al Kohol. Kadar Al Kohol rendah menghasilkan kejahatan tingkat lokal, jalanan dan bersifat kambuhan. Pada kadar memabukkan akan menyibukkan bapak Polisi, norma agama pun dilangkahi, tatanan bermasyarakat akan hancur hari demi hari. Penjahat ber-Al Kohol bisa dicari di warung-warung sampai di tempat acara resmi. Model oplosan atau asli kiriman luar negeri bukan soal. Dimulai dari mencoba seteguk sampai akhirnya mabuk. Semula mencoba akhirnya ketagihan tidak ketulungan. Dari sisi lainnya, sebagai perimbangan, ternyata banyak orang mabuk bukan karena minuman beralkohol.

Paling runyam kalau yang mabuk adalah para penguasa, penyelenggara negara atau siapa pun yang mempunyai kekuatan. Penjahat ber-Al Kohol sungguh mempunyai efek samping dan dampak berganda. Menjalar dan merambah ke sela-sela kesempatan. Ke dalam menghancurkan peradaban bangsa dan keluar memusnahkan nilai-nilai kemanusiaan masyarakat. Kesatuan dan persatuan ummat beragama di Indonesialah yang hanya bisa mencegah tangkal penjahat ber-Al Kohol sebagai perpanjangan tangan negara super teroris AS.

AS membayar sangat mahal atas status sebagai negara adidaya. Berapa dolar yang harus dianggarkan untuk melindungi keamanan para mantan presiden, berapa dolar yang harus dikucurkan untuk merehabilitasi diri sebagai negara rasialis; serta berapa dolar yang harus didonasikan untuk menunjang negara zionis. Jangan heran jika AS berani "berkorban" untuk segala kepentingan, bahkan seperti yang terbukti presiden JFKpun dikorbankan demi perdamaian abadi. Jika kita mudah, masih dan selalu terkontaminasi oleh penjahat ber-Al Kohol maka bom-bom mudah meledak, di manapun dan kapanpun, serta sudah jelas oleh siapanya.

Pilihan utama untuk menghindari kecurigaan, sebagai pemancing opini dunia internasional, maka bom diledakkan di kawasan beralkohol atau di pusat-pusat peredarannya. Pilihan atau alternatif sesungguhnya adalah kawasan yang anti / bebas alkohol tetapi dengan risiko tertinggi. Masih ada kemungkinan lain. Kita tak perlu waspada, cukup jaga-jaga dan siaga. Apalagi di Indonesia penjahat ber-Al Kohol banyak saudara dan kroninya. (hn)


TEORI MENDIRIKAN PASAR TRADISIONAL vs MENDIRIKAN PARTAI POLITIK

Beranda » Berita » Opini
Rabu, 04/12/2002 07:06

TEORI MENDIRIKAN PASAR TRADISIONAL vs MENDIRIKAN PARTAI POLITIK

Berdasarkan pengetahuan umum yang dikantongi secara turun temurun oleh pribumi bangsa ini yaitu bahwa tempat jual beli sembako secara otomatis akan tergelar disuatu lokasi yang sudah dan mungkin sering terjadi transaksi, dari waktu ke waktu. Asumsi dasar inilah yang merupakan cikal bakal terwujudnya pasar tradisional. Secara lokasi mungkin tidak memiliki nilai komersial atau bisnis. Namun masyarakat sekitar mengetahui lokasi tersebut dan dapat dijangkau oleh pembeli dari berbagai pelosok.

Rakyat dapat menjual hasil panenannya yang meruah dan di tempat yang sama pula dapat membeli berbagai keperluan rumah tangga lainnya, terkadang bisa terjadi barter barang. Pasokan barang dari pihak luar relatif lancar dengan harga merakyat. Rakyat sudah merasakan keberadaan dan manfaat "pasar" seperti ini. Masing-masing pihak, khususnya penjual dan pembeli dalam posisi win-win solution.

Dalam kondisi seperti inilah bangunan pasar bisa diwujudkan. Artinya sudah sampai kesimpulan akhir bahwa sudah layak kalau bangunan pasar direalisasikan pembangunannya, sebagai fasilitasi terhadap kegiatan yang memang sudah ada dan diharapkan secara rutin beroperasi tanpa dipengaruhi oleh waktu pasaran. Wadah dibuat setelah jelas ada isinya, jelas ada kegiatan perpasaran atau minimal tanpa wadah pun sebetulnya kegiatan tetap berjalan. Jika suatu pasar dibangun di suatu lokasi dengan harapan akan terjadi proses jual beli jelas sulit terjadi.

Bahwa pasar dibangun untuk memancing proses jual beli merupakan konsep yang tak layak. Kendati lokasinya strategis dengan berbagai kemudahan pencapaian. Beda dengan jalan beraspal dibangun untuk memancing pertumbuhan wilayah. Kenyataan banyak jalan seperti ini yang nyaris tak ada pengguna potensialnya. Adanya campur tangan secara politis dalam pembangunan akan memberikan nilai tersendiri yang mungkin tak menguntungkan secara ekonomis. Mubazir akhirnya menjadi nilai gugat atas keberadaannya. Jelasnya bahwa mendirikan pasar dengan penuh harapan untuk mendapatkan pelanggan atau terjadinya suatu proses jual beli sebetulnya bukan suatu hal yang mustahil. Banyak terobosan atau kiat lanjutan untuk menggiring calon pembeli atau calon penjual dalam membalik kemustahilan tersebut.

Justru yang mustahil secara tradisional adalah mendirikan Partai Politik (parpol) dengan mengharapkan dapat dukungan massa dan dana. Padahal reputasinya jelas belum ada, dedikasinya masih sebatas konsep. Janji-janjinya mungkin sudah menggunung dan berhembus. Parpol jenis ini hanya mengejar pemilu saja. Anehnya, koq ada 221 parpol yang siap tempur di Pemilu 2004. Nama parpol susah diingat dan banyak yang mirip, apalagi lambangnya.

Semua mempunyai tujuan akhir yang sama : memenangkan pemilu ! (tepatnya menang dalam pemilu 2004). Kata kakek, parpol jenis ini daya juangnya hanya sebatas dan seputar perut. Kata nenek, parpol ragam ini daya tahannya hanya selepas dan sebau kentut. Begitu perut terisi lepaslah kentut. Maka parpol tsb bukan menjadi milik siapa-siapa. Memang, secara tradisional bangsa dan rakyat Indonesia sudah jenuh dan jemu dengan berbagai cekokan arogansi parpol. Baik yang sedang berkuasa atau yang kasak-kusuk cari kekuasaan. Lalu lintas kehidupan dengan ratusan parpol selain memacetkan arus demokrasi juga memberikan peluang kepada penjahat kambuhan untuk memanfaatkan situasi. (hn)


APA LACUR SUDAH JADI PELACUR

Beranda » Berita » Opini
Rabu, 11/12/2002 08:41

APA LACUR SUDAH JADI PELACUR

Bukan niat bangsa ini melahirkan dua orde, yaitu Orde Lama (Orla) dan Orde Baru (Orba). Bak sebuah mata uang maka kedua orde tadi merupakan pasangan yang pas dan "ideal". Masing-masing saling melengkapi, memberi makna dan "menghargai". Jadi, bangsa Indonesia tak akan pernah ada jika salah satu ordenya "hilang" dari peredaran.

Mau tak mau, harus tak harus, bisa tak bisa, senang tak senang kita memang memiliki sejarah yang warna-warni. Ada babakan sejarah yang digoreskan dengan tinta mas secara hikmat dan cermat, serta tak kurang ada adegan sejarah yang tercoreng dengan arang hitam melalui corat-coret. Kita tak perlu menyesali dan menyesaki dada ini dengan kesumat turun-temurun, tak perlu mengumpat tujuh turunan, lima tanjakan dan tiga tikungan; tak usah menghujat kiri kanan. Apalagi menyusun skenario berlapis dalam hal balas dendam. Mereka, para pelaku sejarah telah menyelesaikan kewajibannya sesuai tuntutan dan tantangan zamannya.

Sesuai lakon dan peran serta karakter watak yang harus ditampilkan. Masih ada peradilan yang mutlak adil menantinya. Bersyukurlah bagi kita yang merasa mempunyai akal panjang dan berpikir panjang, tanpa menghitung untung rugi kalau harus berjuang. Menuntut ganti untung sebagai penyandang korban perasaan bukan tujuan. Tanpa mengharapkan timbal balik atas jerih payah selama mengabdi kepada nusa dan bangsa. Itulah perilaku sebagai bangsa yang relijius dan agamais. Sekarang kita jadi pelaku sejarah belum pasti generasi yang akan datang "membaca" sepak terjang kita dengan antusias.

Sejarah terkadang berulang dan mungkin akan menggilas anak kandungnya sendiri seperti revolusi Orla, mungkin pula akan mengkebiri demokrasi jauh hari sebelum tunas seperti hantam kromonya Orba. Dalam meluruskan sejarah bukan berarti mencari kambing hitam atau memaksakan teori pembenaran diri, justru yang baku yaitu jangan mengulang kesalahan yang sama. Atau membuat kesalahan yang lebih dahsyat secara sengaja dan terkendali sesuai prosedur. Keledai pun tak mau terperosok ke lubang yang sama sampai dua kali berturut-turut. Meluruskan sejarah berarti meluruskan tatap pandang ke depan, memantapkan kata hati dalam kebersamaan untuk mewujudkan tujuan bersama.

Masa lalu adalah modal, bukan beban. Masa depan adalah tujuan, bukan sekedar impian. Kalau bangsa kita masih dan sedang babak belur di berbagai aspek dan sendi-sendi kehidupan, obat mujarabnya bukan dengan mendidihkan suasana, memanaskan situasi ataupun memperburuk kondisi. Tidak ada dosa turunan, tidak ada dosa bawaan, tidak ada dosa limpahan maupun tidak ada dosa kiriman. Segala kekurangsempurnaan 2 orde jangan hanya dilimpahkan ke sang mandataris. Jujur saja bahwa si pemberi mandat (MPR) tidak bisa cuci tangan dan sembunyi tangan atas segala kewenangannya itu.

Di era atau orde Reformasi ini para pelaku dan penentu sejarah Indonesia tidak hanya dari kaum eksekutif saja, bahkan dari kalangan legislatif turut memeriahkan suasana, tanpa diminta sedetikpun. Tonggak sejarah yang dimulai tahun 1908 sebagai landasan pergerakan, bergerak ke tahun 1928 sebagai lambang persatuan, dipertegas dalam tahun 1945 dengan proklamasi, masa uji coba oleh PKI tahun 1949 dan 1965, timbulnya angkatan 1966, memasuki masa transisi 1998 sebagai tahun lengser keprabonan sang presiden RI ke 2 - sampai detik dan detak reformasi ini sejarah masih bergulir bebas. Dengan MPR dan DPR diketuai oleh orang yang berbeda maka semakin riuhlah campur tangan legislatif dalam mewarnai sejarah. Masing-masing menyanyikan lagu wajib yang berbeda dan tak seirama; masing-masing menyajikan bendera dan atribut golongannya; masing-masing menjanjikan masa depan masyarakat adil dan makmur !!! Entah apa lagi yang akan diperbuat oleh para wakil rakyat, khususnya untuk menuju "Indonesia Merdeka", sebagai tonggak sejarah berikutnya. (hn).


Minggu, 29 Juni 2014

kekuatan militer vs kekuatan olahraga

Senin, 19/06/2006 08:57

Kekuatan militer vs kekuatan olahraga

Kekuatan olahraga bangsa Indonesia mungkin masih sebatas sebagai penggila bola. Cabang olahraga yang bersifat individual, semisal bulu pukul, memang menonjol. Lahirnya pebulu pukul masih bersifat alami. Ditemukan pada kejuaraan dari tingkat RT, sekolah sampai daerah. Pihak berwajib tinggal menyentuh dan memoles, tidak perlu keluar dana untuk melakukan pembibitan dan pembobotan.

Melihat hasil kejuaraan dunia olahraga, dapat disimpulkan bahwa peringkat atas identik negara yang secara militer (khususnya teknologi) terbilang jawara. Korelasi apa yang terjadi bahwa kinerja para militer (SDM tentunya) secara taklangsung menunjukkan bahwa olahraga di negaranya ditangani secara serius dan menerus. Ada sekolah calon jenderal, ada sekolah calon guru olahraga. Kurang apa lagi ! (hn)


BOM BALI 12 OKTOBER 2002 VERSI AUSTRALIA

Beranda » Berita » Opini
Kamis, 12/10/2006 08:34

BOM BALI 12 OKTOBER 2002 VERSI AUSTRALIA

Pemerintah Australia sedalam dan sejauh ini, jauh sebelum Bom Bali 12 Oktober 2002, pihak intelejen lokal telah mengetahui akan ada aksi teroris di NKRI.

Bedanya dengan kaum Zionis / Yahudi, pada petaka 11 September 2001, sebelum petaka mereka berhasil mengungsikan warganya.

Jadi, mengapa pula pihak Australia mengorbankan 88 makhluknya untuk ikut meledak di Kuta, Bali, NKRI. Lepas dari angka, kemenangan politis dan diplomatis apa saja yang bisa dikumpulkan oleh bangsa yang bernenekmoyangkan napi buangan. Utawa, masih ada skenario lanjutan, sesuai pesanan negara superteroris, negara adidaya. (hn)


REKONSTRUKSI TAHUN 2003 : KONSPIRASI DAN PEMURTADAN POLITIS

Beranda » Berita » Opini
Kamis, 02/01/2003 06:38
REKONSTRUKSI TAHUN 2003 : 
KONSPIRASI DAN PEMURTADAN POLITIS


WACANA
Memang, pada daerah yang gersang secara idiologis akan jadi sasaran politis pihak-pihak yang akan mengail di air keruh. Dimulai dengan pembagian KTP yang isian “Pekerjaan” dan “Agama” telah disiapkan secara sistematis dan berencana. Keanggotaan suatu partai politik (parpol) pun telah disiapkan, baik dalam tataran sebagai simpatisan maupun sebagai kader militan. Tak heran jika penduduk, minimal yang masuk kategori calon pemilih pemula, bisa memiliki berbagai kartu anggota atau KTP. Bagi keluarga pramiskin, dimanapun domisilinya, tak akan luput dari incaran pihak khusus dengan dalih peningkatan kesejahteraan. Ingat, kekufuran akan berarak satu per satu menuju ke kekafiran. Konspirasi pihak khusus tadi, sudah jadi rahasia umum, bergerak dalam skala internasional. Mereka tak mempunyai parpol tersendiri, anggotanya tersebar kesebagian besar parpol yang ada. Target group mereka adalah perorangan yang dimulai dari klas teri sampai klas tuna. Serangan mereka secara historis bisa dengan bentuk kekerasan fisik, kudeta, revolusi, sampai dengan bentuk upaya pencampuran ideologi oleh para konspirator untuk merusak akidah kita, telah banyak diujicobakan. Bahkan terus bergulir hingga nanti.

MODUS OPERANDI
Strategi baru mereka, si pihak khusus, adalah melalui jalan perang peradaban dan pemikiran (ghazwul fikri). Penjajahan berwajah baru ini tak kalah licik dan licinnya dengan penjajah konvensional. Missi mereka, meski tidak menjadi prioritas utama - seperti halnya masa lalu - sering berjalan seiring dengan semangat penjajahan (kolonialisme), minimal dalam bentuk penjajahan tidak kentara. Di satu sisi mereka memakai kiat bahwa sasarannya tidak perlu “ganti baju”, yang penting asal bisa menjalankan ajaran dan misi mereka. Cara ini bak “musang berbulu domba”, kita sering tak sadar dengan omongan merdu mereka. Mereka mempunyai dukungan dana kuat yang mampu memfasilitasi kehidupan duniawi kita. Urusan akhirat tak jadi soal, ikhwal amal-mengamal sudah dipetieskan, mereka menjanjikan kita bisa ke Surga langsung tanpa hisab bersama Bapak yang telah menanti. Sisi satunya, mereka akan mati-matian agar kita “ganti baju” seutuhnya melalui proses permandian agar bersih sekujur tubuh. Cara ini, bahkan setan pun heran karena merasa tak pernah membisiki, melebihi cara komunis yang menghalalkan segala cara. Perangkap mereka adalah dengan kiat “di kandang kambing mengembik”, “di kandang kuda meringkik” atau “di kandang harimau mengaum” – umpannya kalau tidak intimidasi ya iming-iming duniawi. Celakanya, di NKRI yang masuk kategori mayoritas landasan religius dan akhidahnya akan jadi sasaran dan korban konspirasi missi pihak khusus di atas. Mereka menyelusup tanpa kita ketahui – melalui organisasi tanpa bentuk – tahu-tahu sudah di depan mata. Tahu-tahu salah satu anggota keluarga kita telah terkontaminasi.

ANTISIPASI DINI
Walau kita mayoritas secara landasan religius dan akidah, tetap harus waspada. Kendati kita mengantongi dan menggenggam kekuatan yang dinamis dan serasi dengan situasi zaman sehingga mampu memberikan solusi alternatif terhadap beragam persoalan. Juga, karena Allah swt telah menjamin dan akan menjaga akidah kita dengan cara melahirkan kader dakwah yang tangguh. Karenanya, seberat apapun serangan yang ditujukan kepada keakidahan kita, kita tidak akan pernah mengalami kekosongan mujadid. Pemurtadan politis sejalan dengan kelicikan penjajahan ideologis bangsa beradab yang merasa menjujung tinggi HAM. Bahkan, mereka biasa mengirim pelajar dengan akidah yang sudah mapan ke negara-negara kaki tangan super power untuk belajar. Kelak setelah lulus, kebanyakan mahasiswa ini tumbuh menjadi orang jahil dan usil pada akidahnya. Pelajar atau mahasiswa ini membangga-banggakan budaya Barat dan menghilangkan ajaran keakidahannya. Atau pihak khusus tadi juga secara sengaja mengirim beasiswa kepada anak-anak keluarga pramiskin yang jelas keakidahannya untuk melanjutkan pelajaran mereka di negara super maju atau di lembaga pendidikan mereka. Dengan begitu anak-anak itu bakal berpola pikir konspiratif dan mendukung missi pihak khusus tadi.

KILAS BALIK
Belajar dari sejarah, simak itikad Belanda saat menghancurkan Aceh. Penjajah Belanda saat itu mengirimkan seorang bernama Snouck Hourgronje. Snoucklah peletak dasar strategi menghancurkan Islam oleh Belanda. Snouck secara sengaja belajar Islam bahkan sampai mengaku masuk Islam. Ia belajar ke Makkah Al-Mukarramah selama enam tahun dengan memakai nama samaran Abdul Ghaffar. Walau sikap kepura-puraan Snouck akhirnya terbongkar, tapi pola penjajahan dengan cara ghazwul fikri seperti itu terus berkembang hingga kini. Artinya, gerakan kolonial dan konspirasi missinya dikemas dalam paket keilmuan. Dengan demikian tidaklah terlalu penting kontrol militer untuk menjajah. Sebab, dengan devide et empera, kekuatan terjajah akan lemah dan saling bermusuhan sendiri. Ini bisa kita deteksi pada parpol dengan landasan akidah yang sama – sadar tak sadar – menjadi korban Perang Saling Libas.

PROSPEK Wajah baru PEMURTADAN POLITIS melalui penjajahan industri seni dan budaya. Si produsen dan pemasok budaya memaksakan kehendak dengan sejuta jenis alasan. Kalau perlu ancaman embargo bila kita tidak mau menelan budaya mereka. Klimaksnya kita sudah bisa merakit berbagai bentuk ragam seni dan budaya yang bahan bakunya dari negara mereka. Toh di sini, tenaga kerja murah dan hukum masih bisa diperjualbelikan. Dengan dalih globalisasi, yang tersaji tiap hari di depan hidung kita merupakan realisasi semboyan 3 F (food, fashion, and fun), merupakan ladang aman pihak khusus dalam melaksanakan proses pemurtadan politis. Berdaulat secara hukum, mandiri di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam berkebidayaan semangkin jauh dan menjauhi kita (tahun 2002). Konyolnya, sebagian dari kita menerima gaya hidup aliran pemurtadan politis, karena merindukan julukan sebagai insan yang moderat, akomodatif, modernis, toleran, dan demokrat. Yang menolaknya disebut ummat radikal, fundamentalis atau akidah literal. Lihat saja proses menguak tragedi Bom Bali 12 Oktober 2002 sebagai teori awal - bukan bukti awal saja - pemurtadan politis di bidang keamanan. Akhirnya, generasi narkoba (justru datangnya dari keluarga bukan pramiskin dan bukan dari daerah terbelakang) bukan sebagai momok tetapi telah didaulat sebagai gaya hidup. Terlebih dengan contoh dan dukungan kaum selebritis ( lho! Apa hubungannya politik dengan selebriti?). (hn)


badut politik vs anak jalanan

Beranda » Berita » Opini
Selasa, 31/07/2007 02:51

badut politik vs anak jalanan

persamaan keduanya adalah sama-sama memasuki dunia tanpa ujung, tanpa awal. hanya niat, itikad dan kesempatan yang menjadikan perbedaan mendalam. faktor sengaja menjadi alasan badut politik untuk menggauli panggung politik bebas apa saja. faktor ketakberdayaan menyebabkan anak jalanan menajdi ranum sebelum waktunya.

badut politik, menungu sekian waktu, dari pemilu / pilpres / pilkada ke pemilu / pilpres / pilkada putaran berikutnya, tetap menjadi pemain cadangan. bahkan tekor, modal tak kembali. persyaratan menjadi caleg semain panjang, bak daftar tunggu utawa daftar belanja gratis. akhirnya badut politik banting harga, semula idealis akhirnya menjadi yang penting makan kursi. anak jalanan, kalau tidak kena garuk ....... (hn)


Dicari, aktor berwajah koruptor

Beranda » Berita » Opini
Jumat, 01/09/2006 11:36

dicari, aktor berwajah koruptor

Ahli gizi dan pakar tuna rungu se Nusantara sepakat bulat bahwa narkoba diartikan sebagai benar-benar konyol dan berbahaya. Negara adidaya dan bolonya tak akan mengeluarkan travel warning, agar warga negaranya tak mengadakan transaksi narkoba ke Indonesia. Karena secara historis memang merekalah biangnya. Biang dari segala keonaran dunia, dengan dalih dan alasan apapun. Bahkan PBB bisa dikebiri dan didikte luar dalam.

NKRI sebagai pasar potensial bagi para produsen, pemasok dan pengedar narkoba. Tayangan pemburu hantu bisa disiarkan langsung via media kaca. Entah sebagai hiburan atas ketakberdayaan kita atau bahkan cara sederhana melecehkan ketidakmampuan kita di segala bidang. Bangga atas peringkat utama skala dunia dalam hal korupsi. Korupsi tidak ada ilmunya, tidak ada teorinya. Tinggal praktek dan dijalankan secara seksama dengan hasil untuk waktu selama pemanfaatan.

Jadi, barangsiapa yang merasa punya wajah untuk tampil sebagai figuran dapat berkolaborasi dengan tim penggali mayat. Tayang rekaman sinetron di layar kaca, terutama milik swasta, bukan mewakili kehidupan nyata. Tepatnya justru menggambarkan kehidupan pemainnya. Tak perlu pemain watak, tak butuh pemain berbakat, tak harus melalui pendidikan teater. Gambaran nyata yang ditayangkan, sangat membutuhkan berbagai pemain. Ada yang mewakili dirinya, ada yang mewakili orang lain. Sinetrom bernuansa, berlatar belakang, berbasis korupsi sangat kita butuhkan. Sebagai bukti sejarah perjalanan korupsi, dari waktu ke waktu, dari sistem ke sistem, dari pemerintahan ke penerusnya.

Sayang, dari deretan koruptor yang sudah terpidana belum bisa dijabarkan watak dan karakternya. Atau karena banyak yang mirip. Bagi koruptor yang terlanjur kabur, fotonya pun juga sudah kabur, buram. Mungkin di sekitar kita terdapat wajah berwajah koruptor. (hn)


Sabtu, 28 Juni 2014

TEROR KATA vs KATA TEROR

Beranda » Berita » Opini
Selasa, 29/07/2008 10:02

TEROR KATA vs KATA TEROR
Kendati telah puluhan tahun koruptor klas paus hengkang ke mancanegara, fotonya tak pernah terpampang di media massa. Akhirnya, hanya para pelaku tindak kriminal, klas teri, prosesinya terekam sebagai hiburan. Kenyataan lain, kendati kita tak dibawah pengaruh negara adidaya, namun hasil didikan mereka bisa kita rasakan sampai kapan pun. 

Contoh jelas, ketika ada oknum pengamat intelijen yang mengatakan bahwa dana ZIS untuk biaya dan atau dana teroris. Artinya, pihak negara tertentu sudah punya perpanjangan kaki tangan di nusantara. Tak perlu repot peot. Jelang pilpres 2009, banyak oknum yang menampakkan diri, tanpa sungkan dan rasa malu mewartakan kehebatannya dan tebar janji dan sebar janji. Media massa dan ruang publik dijadikan sarana promosi. 

Masyarakat memang sudah tak buta politik, bias membedakan mana emas, mana loyang. Di dunia pariwara, justru yang tak yakin atas keyakinannya akan berpromosi mati-matian. Kalau sudah dikenal tak perlu tak tahu malu. Apa yang kita tanam, itulah yang nantinya akan kita petik dan panen (hn).


Kamis, 26 Juni 2014

Puasa Ramadhan 1435 H, Turun Mesin Politik Dan Servis Saraf Politik

Belenggu Politik
Pekerja politik Indonesia memang ahli mentransaksikan seluruh urusan negara atas nama wakil rakyat, gerakan politik yang dilakukan atas kehendak dan tuntutan rakyat. Blusukan ke hati rakyat saat kampanye, dengan dalih menjaring aspirasi rakyat, ujung-ujungnya agar memilih dirinya.

Pekerja politik merasa diri masuk ke panggung  politik sebagai panggilan jiwa, pemenuhan hati nurani, bukan mencari pekerjaan apalagi menadah rupiah. Asumsi politis,  berlaga di industri politik tolok ukurnya adalah harus menjadi anggota DPR, harus menjadi anggota legislatif. Status legislator, selama kontrak politik lima tahunan, merupakan posisi puncak prestisius sebagai aktifis politik. 

Pekerja politik busuk, terbukti secara hukum melanggar sebagian pasal sumpah/janji sebagai wakil rakyat : “serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan;”, mendapat status terpidana korupsi. Jadi, pekerja politik yang mempunyai ‘kepribadian’ adalah yang mengutamakan kepentingan pribadi. Bagaimana sisanya? Seberapa banyak yang terjebak politik aji mumpung.

Tahun Politik
Potret pekerja politik di trias politika dalam satu dekade 2004-2014  penuh nuansa anomali dan ambivalensi, akibat ongkos politik dan biaya politik di luar nalar sampai merasa menjadi korban konspirasi. Diibaratkan, cuma susu setitik, tak berarti menghadapi nila sebelanga.

 Calon wakil rakyat petahana dalam pemilu legislatif 9 April 2014, merasa belum balik modal atau ambisinya belum terwujud, ditambah pendatang baru dengan modal tampang, berani tampil beda, yang penting beken, menjadi pemacu dan pemicu suhu politik. Hasil pileg menentukan pilpres 9 Juli 2014,  mempengaruhi kinerja mesin politik, terlebih rambu-rambu transaksional sangat dominan.

Tidak ada calon petahana pada pilpres 2014, tidak menjadikan calon negarawan, dengan jiwa jantan dan kesatria mencalonkan diri sebagai capres. Ketua umum parpol sebagai kriteria utama yang layak diusulkan jadi capres oleh parpolnya, bukan jaminan. Parpol terjebak produk hukum buatan manusia (lihat Pasal 9 UU 42/2008).

Tumbal Politik
Tumbal pesta demokrasi jelang pilpres 9 Juli 2014 semakin nyata, nyaris tak sebanding dengan hasil. Peran media masa sebagai pemegang kendali opini masyarakat dengan mengakomodir aspirasi dan partisipasi masyarakat lewat ruang atau forum yang disediakan, berubah total. Media menjadi agen tunggal penyalur kampanye hitam, menjadi rezim isu. Media sebagai fungsi rupiah gemar bermain api liwat ucap dan cuapnya.

Ormas Islam tak kalah getol mengipasi suasana. Dari hulu sampai hilir, tidak satu kata. Dari pucuk pimpinan sampai akar rumput, terjadi pembiaran. Pemimpin umat yang diharapkan sebagai pengayom dan pengayem, malah ikut andil dalam gonjang-ganjing politik. Tidak ada yang peduli, dua cawapres yaitu MJK dan MHR, karena berjibaku di panggung politik, nama komersialnya adalah JK dan HR. Inisial “M” tercabut. Pertanda apa?

Rakyat pemilih mempunyai posisi tawar, harga jual untuk kepentingan caleg. Jelang capres, muncul relawan, tim sukses, tim kampanye liwat media sosial, promo liwat spanduk, pasang badan bela jagonya. Beda pilihan, rakyat melawan rakyat. Saraf politik anak bangsa menerima tekanan politik tanpa manfaat dan dampak yang diharapkan. Energi politik anak bangsa terkuras habis, imbas dikotomi kampanye : menjilat vs menghujat.

Dua pasang kandidat, melalui jasa media penyiaran televisi, melakukan debat capres/cawapres. Pasca debat, muncul ahli yang tak kalah hebat daya debatnya, menganalisa substansi debat. Pihak yang selama ini adem ayem, merasa terpancing dan akhirnya terseret arus kampanye hitam maupun intrik politik.

Bentrok fisik maupun bentrok kata menjadi agenda utama kampanye pilpres. Politik adu domba peninggalan penjajah Belanda, dihidupkan dan disesuaikan dengan alam Reformasi. Tukang survey laku keras, ada yang banting harga, ada spesialis menerima pesanan khusus, ada yang idealis. Wacana dan bursa capres bisa-bisa malah mendatangkan antipati kepada ahli kampanyenya. Ironis, sang kandidat ikut menari sesuai gendang yang ditabuh tukang adu domba.

Emosi Politik
Memasuki bulan Ramadhan, andai suhu politik tidak menurun, apakah berarti pekerja politik dan antek-anteknya memang pemain watak, ahli memanipuasi watak diri. Saraf politik tetap tegang, dengan melihat siapa yang akan jadi pemenang di pilpres, nasib dan masa depan terbaca.

Lakon politik di 2014-2019 semakin meneguhkan semangat koalisi antar parpol pemenang pileg, khususnya pemenang pilpres, sangat menentukan pembagian kursi komisi dalam DPR. Kombinasi koalisi dan komisi semakin menyuburkan korupsi, sampai tingkat lokal.  Petarung politik dan petaruh politik tak akan bisa santai sejenak, sulit tidur nyenyak, sampai penetapan pembantu presiden.


Semoga anak bangsa ini tidak menjadikan politik sebagai agama baru, sebagai keyakinan terkini [HaeN].