oleh : Rathi Nurwigha
Di
jalanan, sering kita saksikan : anak sekolah mbonceng motor sampai 2-3 orang,
anak sekolah bawa motor ke sekolah, anak sekolah menyetop angkutan bak terbuka
dan numpang naik gratis, sampai anak jalanan menjadi pengemis, pengamen atau
berbagai cara mencari uang – tidak ada yang peduli, tidak ada yang kebakaran
jenggot.
Pengemis
berjemur menggendong bayinya, ibu-ibu menjadi joki three-in-one di
Jakarta sambil menggendong oroknya – pemandangan yang lumrah dan masuk akal.
Pemulung
dengan gerobaknya yang berisi anak-anaknya, menyelusuri jalanan mencari barang
bekas, dianggap hal yang wajar.
Lima
tahun sekali, anak-anak diajak orang tuanya kampanye partai politik di lapangan
atau konvoi di jalanan, demi sukses pemilu, menjadi pemberitaan.
Banyak
pasangan suami isteri kerja, berani meninggalkan anaknya di rumah, terkadang
ada yang jadi anak pembantu. Resiko hidup.
Penyanyi
mengorbitkan dan mengkarbit anaknya jadi penyanyi. Siapa yang salah.
Keluarga
ikut kampanye, anak ikut kampanye apa bedanya dengan anak ikut kerja, terkadang
anak dibawa ibunya ke tempat kerja, atau anak ditinggal di rumah karena kedua
orang tuanya kerja. Sejak dalam kandungan anak sudah dibawa ibunya kemana-mana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar