Halaman

Jumat, 13 Juni 2014

Ketika Bangsa Besar Dengan Jiwa Minimalis

Utamakan Fungsi Negara
Perbincangan mengenai negara dalam perspektif Islam selalu menjadi topik menarik, karena relasi negara dengan agama dalam kajian ulama fikih (fuqahâ) tidak secara tegas membahas persepaduan keduanya. Tidak adanya pembahasan tentang integrasi agama dengan negara secara konkrit, disebabkan pada masa awal Islam, hubungan agama dengan negara tidak menjadi suatu persoalan, mengingat semua masalah pengurusan dan administrasi berada di bawah kepemimpinan baginda Rasul. Maksudnya, secara kelembagaan, Nabi Muhammad SAW menjadi rujukan semua perkara yang berhubungan dengan urusan agama, sekaligus juga, dalam masa yang sama, merupakan pemimpin tertinggi negara. Hal ini senyawa dengan ajaran Islam yang berprinsipkan tawhid, dalam arti, Islam menekankan hubungan erat antara agama dengan negara, dengan penegasan yang jelas menafikan pemisahan antara agama dengan negara (al-dîn wa al-dawlah) karena tidak ada pemisahan antara agama dengan dunia (al-dîn wa al-duniâ) serta agama dan politik (al-dîn wa al-siyâsah).

Namun, dalam dekade terakhir ini, terutama semenjak kerajaankerajaan Islam dikuasai oleh negara-negara Barat dan Eropa yang menganut faham dan ideologi Kristiani, faham pemisahan agama dengan negara menjadi paradigma yang dipaksakan kepada umat Islam. Sehingga, hampir mayoritas negara-negara yang berpenduduk muslim di dunia sekarang ini, berkiblat kepada sekularisme dalam sistem bernegara. Dalam sekularisme, yang berlaku adalah pemisahan antara spirit (kerohian) dan matter (kebendaan). Seterusnya berlaku pemisahan anatara wahyu (revelation) dan akal (reason) dan antara tradisi dengan modernisasi.1

Dalam uraian selanjutnya, penulis mengemukakan pengertian negara dari kata
daulah”, yang tidak dikenal oleh al-Qur’an. Dalam hal ini, kata tersebut mempunyai arti lain, yaitu “berputar” atau “beredar”, yaitu dalam ayat “agar harta yang terkumpul Itu tidak berputar/beredar antara orang-orang kaya saja di lingkungan anda semua (kailâ yakûna dûlatan baina al-aghniyâ’i minkum)” (QS al-Hasyr (59):7). Ini menunjukkan yang dianggap oleh al-Quran adalah sistem ekonomi dari sebuah negara, bukan bentuk dari sebuah negara itu sendiri. Jadi, pembuktian tekstual ini menunjukkan Islam tidak memandang penting bentuk negara. Atau, dengan kata lain, Islam tidak mementingkan konsep negara itu sendiri.

Dapat disimpulkan dari uraian di atas, Islam lebih mengutamakan fungsi negara dari pada bentuknya.2

Bangun Jiwa
“Bangunlah jiwanya bangunlah badannya”, sekelumit lagu kebangsaan Indonesia Raya, menyuratkan dan menyiratkan bahwa jauh sebelum Proklamasi, jauh sebelum negara dibentuk, jiwa bangsa dan rakyat harus dibangun terlebih dahulu.

Di era Reformasi, pemerintah melalui perubahan kedua UUD 1945, menetapkan Pasal 28E ayat (3) : “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”  Pasal ini mujarab sebagai pertimbangan pertama dalam menetapkan UU tentang partai poltik (parpol) dan organisasi kemasyarakatan (ormas).

Sejarah mencatat, begitu kran demokrasi terbuka deras, menjelang Pemilu 1999, warga negara mendirikan parpol dengan tujuan pertama dan utama adalah agar bisa ikut pesta demokrasi. Indonesia menjelma menjadi negara dengan sistem multi partai. Keberadaan parpol dalam legislatif mendominasi kesimbangan dan sinerji trias politika. Sejak 2004 ketika pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat, modus operandi parpol semakin jauh dari semboyan pro-rakyat.

Petarung di panggung politik hanya mempunyai satu niat dan tekad yaitu siap menang. Berbagai rintisan dilakoni, baik yang instan atau mulai menapak dari kompetisi klas kampung. Dinasti politik menjadikan persaingan sebagai arisan politik. Kalkulasi politik di tingkat pusat, pasca pemuli legislatif 9 April 2014 terlebih pasca pilpres 9 Juli 2014, tanpa survei pun sudah bisa ditebak akan terjadi koalisi antar parpol pemegang komando di parlemen, pembagian komisi di DPR, yang sesuai suratan sejarah politik akan berakhir dengan korupsi.

Periode 2009-2014, parpol yang ketua umumnya kalah unggul di pilpres, lebih senang menjadi oposisi. Tidak mau jatah kursi sebagai pembantu presiden, tetapi getol mengejar kursi gubernur dan bupati/walikota. Padahal gubernur adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat. Kondisi ini membuktikan bahwa pendidikan politik sangat perlu bagi yang melek politik. Ormas Islam yang sudah mempunyai kapling, yang seharusnya mengurus kepentingan umat, malah ikut-ikut berpolitik.

Kesimbangan Jiwa, Roh dan Akal
Jiwa, roh dan akal merupakan potensi internal yang membentuk jati diri manusia, yang menentukan kadar akhlak sesorang. Ketiganya merupakan faktor bawaan anak Adam yang membedakan dirinya dengan makhluk hidup lainnya, walau sama-sama ciptaan Allah.

Ketiga kesatuan potensi internal manusia memiliki kebutuhan dan asupan gizi masing-masing. Jiwa perlu nutrisi berupa keinginan (syahwat). Sementara roh butuh nutrisi berupa keyakinan (iman). Akal perlu nutrisi berupa ilmu pengetahuan (informasi).

Sinerji jiwa dan roh adalah potensi yang tidak boleh saling mendominasi, karena keduanya bisa saling melemahkan. Saat jiwa (an-nafs) mendominasi, kerja tubuh cuma memenuhi panggilan syahwat saja, sehingga roh mengering. Ketika roh (ar-ruh) terlalu dominan, orang yang bersangkutan maunya mengisi waktunya  dengan serba ibadah. Akibatnya, jiwa menjadi korban karena hasratnya tidak kunjung terpenuhi, walau untuk urusan yang mubah/halal sekalipun.

Posisi, peran dan potensi akal, dalam hal memilih dan memilah  informasi yang diterimanya melalui indera mata dan telinga. Kinerja akal yang harus dominan. Karena semakin kuat akal seseorang, akan menentukan proses berpikir, berucap dan bertindak. Pasalnya, daya akal dapat meluruskan jiwa yang cenderung tertarik gravitasi bumi (kenikmatan duniawi). Ikhwal akal dijelaskan dalam Al-Qur’an [QS Qaaf (50) : 37] :  Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.”

Mengacu jumlah dan banyaknya penduduk, Indonesia menjadi bangsa besar di dunia. Karena syahwat politik menjadikan jiwa bangsa ini kerdil atau minimalis, dalam arti jiwa ingin menang yang dominan. Tidak kebagian kursi sebagai wakil rakyat di daerah maupun di pusat, perwakilan daerah, kepala daerah apalagi kepala negara, memilih untuk melakukan pemekaran wilayah. Memproklamirkan provinsi baru karena bobot politik yang bicara, yang menjadi faktor penentu, bukan karena kebutuhan nyata dan kemampuan nyata rakyat.

Selain revolusi mental, bangsa ini sangat membutuhkan taubat nasional, agar tidak lebih parah dibanding periode 2009-2014 [HaeN].


Catatan :
1.       Hermanto Harun, Relasi Islam dan Negara: Mengupas Konsepsi Negara Perspektif Fiqh, Universitas Kebangsaan Malaysia, Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011, hlm. 151-152.
2.  Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Agama Masyarakat Negara Demokrasi, The WAHID Insttute, Seeding Plural and Peaceful Islam, Cetakan I : Agustus 2006, hlm. 112.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar