Utamakan Fungsi Negara
Perbincangan
mengenai negara dalam perspektif Islam selalu menjadi topik menarik, karena
relasi negara dengan agama dalam kajian ulama fikih (fuqahâ) tidak
secara tegas membahas persepaduan keduanya. Tidak adanya pembahasan tentang
integrasi agama dengan negara secara konkrit, disebabkan pada masa awal Islam,
hubungan agama dengan negara tidak menjadi suatu persoalan, mengingat semua
masalah pengurusan dan administrasi berada di bawah kepemimpinan baginda Rasul.
Maksudnya, secara kelembagaan, Nabi Muhammad SAW menjadi rujukan semua perkara
yang berhubungan dengan urusan agama, sekaligus juga, dalam masa yang sama, merupakan
pemimpin tertinggi negara. Hal ini senyawa dengan ajaran Islam yang
berprinsipkan tawhid, dalam arti, Islam menekankan hubungan erat antara
agama dengan negara, dengan penegasan yang jelas menafikan pemisahan antara
agama dengan negara (al-dîn wa al-dawlah) karena tidak ada pemisahan
antara agama dengan dunia (al-dîn wa al-duniâ) serta agama dan politik (al-dîn
wa al-siyâsah).
Namun,
dalam dekade terakhir ini, terutama semenjak kerajaankerajaan Islam dikuasai
oleh negara-negara Barat dan Eropa yang menganut faham dan ideologi Kristiani,
faham pemisahan agama dengan negara menjadi paradigma yang dipaksakan kepada
umat Islam. Sehingga, hampir mayoritas negara-negara yang berpenduduk muslim di
dunia sekarang ini, berkiblat kepada sekularisme dalam sistem bernegara. Dalam
sekularisme, yang berlaku adalah pemisahan antara spirit (kerohian) dan matter
(kebendaan). Seterusnya berlaku pemisahan anatara wahyu (revelation)
dan akal (reason) dan antara tradisi dengan modernisasi.1
Dalam uraian selanjutnya, penulis mengemukakan pengertian
negara dari kata
“daulah”,
yang tidak dikenal oleh al-Qur’an. Dalam hal ini, kata tersebut mempunyai arti
lain, yaitu “berputar” atau “beredar”, yaitu dalam ayat “agar harta yang
terkumpul Itu tidak berputar/beredar antara orang-orang kaya saja di lingkungan
anda semua (kailâ yakûna dûlatan baina al-aghniyâ’i minkum)” (QS
al-Hasyr (59):7). Ini menunjukkan yang dianggap oleh al-Quran adalah sistem
ekonomi dari sebuah negara, bukan bentuk dari sebuah negara itu sendiri. Jadi,
pembuktian tekstual ini menunjukkan Islam tidak memandang penting bentuk
negara. Atau, dengan kata lain, Islam tidak mementingkan konsep negara itu
sendiri.
Dapat disimpulkan dari uraian di atas, Islam lebih
mengutamakan fungsi negara dari pada bentuknya.2
Bangun Jiwa
“Bangunlah jiwanya bangunlah badannya”,
sekelumit lagu kebangsaan Indonesia Raya, menyuratkan dan menyiratkan bahwa
jauh sebelum Proklamasi, jauh sebelum negara dibentuk, jiwa bangsa dan rakyat harus
dibangun terlebih dahulu.
Di era Reformasi, pemerintah melalui
perubahan kedua UUD 1945, menetapkan Pasal 28E ayat (3) : “Setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Pasal ini mujarab sebagai pertimbangan
pertama dalam menetapkan UU tentang partai poltik (parpol) dan organisasi
kemasyarakatan (ormas).
Sejarah mencatat, begitu kran demokrasi terbuka deras, menjelang
Pemilu 1999, warga negara mendirikan parpol dengan tujuan pertama dan utama
adalah agar bisa ikut pesta demokrasi. Indonesia menjelma menjadi negara dengan
sistem multi partai. Keberadaan parpol dalam legislatif mendominasi kesimbangan
dan sinerji trias politika. Sejak 2004 ketika pemilihan presiden secara
langsung oleh rakyat, modus operandi parpol semakin jauh dari semboyan
pro-rakyat.
Petarung di panggung politik hanya mempunyai satu niat dan tekad
yaitu siap menang. Berbagai rintisan dilakoni, baik yang instan atau mulai
menapak dari kompetisi klas kampung. Dinasti politik menjadikan persaingan
sebagai arisan politik. Kalkulasi politik di tingkat pusat, pasca pemuli
legislatif 9 April 2014 terlebih pasca pilpres 9 Juli 2014, tanpa survei pun
sudah bisa ditebak akan terjadi koalisi antar parpol pemegang komando di
parlemen, pembagian komisi di DPR, yang sesuai suratan sejarah politik akan
berakhir dengan korupsi.
Periode 2009-2014, parpol yang ketua umumnya kalah unggul di
pilpres, lebih senang menjadi oposisi. Tidak mau jatah kursi sebagai pembantu
presiden, tetapi getol mengejar kursi gubernur dan bupati/walikota. Padahal
gubernur adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat. Kondisi ini membuktikan
bahwa pendidikan politik sangat perlu bagi yang melek politik. Ormas Islam yang
sudah mempunyai kapling, yang seharusnya mengurus kepentingan umat, malah
ikut-ikut berpolitik.
Kesimbangan Jiwa, Roh dan Akal
Jiwa, roh
dan akal merupakan potensi internal yang membentuk jati diri manusia, yang
menentukan kadar akhlak sesorang. Ketiganya merupakan faktor bawaan anak Adam
yang membedakan dirinya dengan makhluk hidup lainnya, walau sama-sama ciptaan
Allah.
Ketiga kesatuan
potensi internal manusia memiliki kebutuhan dan asupan gizi masing-masing. Jiwa
perlu nutrisi berupa keinginan (syahwat). Sementara roh butuh nutrisi berupa
keyakinan (iman). Akal perlu nutrisi berupa ilmu pengetahuan (informasi).
Sinerji jiwa
dan roh adalah potensi yang tidak boleh saling mendominasi, karena keduanya
bisa saling melemahkan. Saat jiwa (an-nafs) mendominasi, kerja tubuh
cuma memenuhi panggilan syahwat saja, sehingga roh mengering. Ketika roh (ar-ruh)
terlalu dominan, orang yang bersangkutan maunya mengisi waktunya dengan serba ibadah. Akibatnya, jiwa menjadi
korban karena hasratnya tidak kunjung terpenuhi, walau untuk urusan yang
mubah/halal sekalipun.
Posisi,
peran dan potensi akal, dalam hal memilih dan memilah informasi yang diterimanya melalui indera
mata dan telinga. Kinerja akal yang harus dominan. Karena semakin kuat akal
seseorang, akan menentukan proses berpikir, berucap dan bertindak. Pasalnya,
daya akal dapat meluruskan jiwa yang cenderung tertarik gravitasi bumi
(kenikmatan duniawi). Ikhwal akal dijelaskan dalam Al-Qur’an [QS Qaaf (50) : 37] : “Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang
menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.”
Mengacu jumlah dan banyaknya
penduduk, Indonesia menjadi bangsa besar di dunia. Karena syahwat politik
menjadikan jiwa bangsa ini kerdil atau minimalis, dalam arti jiwa ingin menang
yang dominan. Tidak kebagian kursi sebagai wakil rakyat di daerah maupun di
pusat, perwakilan daerah, kepala daerah apalagi kepala negara, memilih untuk
melakukan pemekaran wilayah. Memproklamirkan provinsi baru karena bobot politik
yang bicara, yang menjadi faktor penentu, bukan karena kebutuhan nyata dan
kemampuan nyata rakyat.
Selain revolusi mental, bangsa ini
sangat membutuhkan taubat nasional, agar tidak lebih parah dibanding periode
2009-2014 [HaeN].
Catatan :
1. Hermanto Harun, Relasi Islam dan Negara:
Mengupas Konsepsi Negara Perspektif Fiqh, Universitas Kebangsaan Malaysia,
Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011, hlm. 151-152.
2. Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda,
Islam Kita. Agama Masyarakat Negara Demokrasi, The WAHID Insttute, Seeding
Plural and Peaceful Islam, Cetakan I : Agustus 2006, hlm. 112.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar