Halaman

Senin, 30 Juni 2014

pendidikan politik = tepuk tangan yang keras

Beranda » Berita » Opini
Kamis, 19/08/2010 06:38

pendidikan politik = tepuk tangan yang keras

Pendidikan politik melalui media masa layar kaca sangat manjur, mujarab, tokcer, dan ampuh. Mampu menghipnotis pemirsa dan menyihir penonton, terutama yang ditayangkan berulang dengan berbagai trik dan tips mengaduk-aduk emosi. Sajiannya dengan bahasa rakyat, walau tak mirip komedian, namun bisa menimbulkan tawa yang luar biasa. Ironis, tawa yang berbasis hati nurani tak jauh dari makna mentertawakan si pembicara.

Si pembicara (mulai dari yang mirip mantan kepala negara, politisi kambuhan atau yang numpang nampang, yang masih aktif sebabagai kader parpol yang tidak dikenal di lingkungan tempat tinggal dapilnya, sampai wong cilik mendadak tenar) - mereka tak ambil peduli apakah di acara picisan (sekedar pengisi) atau di acara andalan penyiaran TV swasta - yang penting dimeriahkan dengan dukungan tukang keplok atau sporter paduan tepuk tangan. Semakin keras aplaus tepuk tangan, berarti semakin berbobot pidatonya.

Di belakang pembicara, biasanya nampak berjajar rapi rombongan berseragam atribut para pendukungnya. Tak hanya si pembicara yang menjadi daya pikat, nuansa atau wacana tragedi yang berbau politis acap menjadi hiburan! yang sekaligus menjadi daya tarik sebagai perimbangan hidup sehari-hari. Contoh, politisi dari kumpulan wakil rakyat, dengan aliran mbambung sesat sering memamerkan statemen di running text. Padahal ada ketua, yang secara organisastoris yang berhak mengedepankan fakta dan kata. Ketua dewan redaksi TV swasta yang sering nongol untuk memblow up suatu affair menambah maraknya dunia pendidikan politik.

Ada persamaan sekaligus perbedaan mendasar antara selebritis dan politikus utawa politisi, paling tidak seperti yang ditayangkan di media masa. Sebagai contoh, aib yang menimpa keluarga seleb, semisal urusan cerai berai utawa adegan dengan pelaku mirip artis, dikemas jadi tontontan yang menarik di TV swasta, sebagai hiburan. Tak jarang satu peristiwa dikemas berbeda oleh TV swasta, tujuan cuma meningkatkan peringkat. Orang menjadi tak terharu, iba kasihan, dan empati bila derita seseorang jadi bahan lelucon, banyolan. Celakanya yang diwawancarai, dengan casting berbeda, malah jual tampang tak ada kesan menderita, malah bangga muncul di layar kaca. Penjahat yang sering muncul, pejabat yang rajin nongol, politisi yang acap tampil sampai berita bencana alam, tak ada bedanya. Sudah saatnya kita punya acara TV yang santun, beradab, bermartabat tidak terkontaminasi apapun yang terjadi, jangan aji mumpung, dengan dalih terselubung demi mendulang uang

DISKUSI, DIALOG, DEBAT
Memasuki era Reformasi dekade 2, kran demokrasi terbuka deras, tanpa sensor dan tanpa pesanan dari sponsor. Banyak orang merasa bisa. Puncaknya, ketika RI-2 2004-2009 merasa lebih cepat, lebih bisa daripada RI-1. Jika manusia Indonesia dimintai pendapatnya, jangankan diminta, tidak dimintapun dengan girang menyampaikan daya akalnya. Komentar, analisa, ulasan yang disampikan tidak jauh dari model ndelok (bhs Jawa, artinya kendel alok atau berani teriak). Seperti penonton sepak bola.

Kebijakan pemerintah paling banyak menjadi sasaran tembak. Penampil, pembicara atau penyaji dalam acara diskusi, dialog dan debat di TV swasta, dipandu oleh super ahli terkadang tak beda jauh dengan acara hiburan Super Family. Persamaannya, pemain lebih menonjolkan urat berfikir yang lama, mencari jawaban sambil pura-pura putar otak, pura-pura mengalami kesulitan mencari kata yang tepat, walau pertanyaan selalu diulang-ulang untuk mengulur waktu atau memberi waktu namun tetap butuh waktu untuk mencerna (apalagi mencari jawaban), jawaban spontan ada yang mengulang jawaban salah teman satu famili atau lawan main, agar kelihatan lebih cerdas pemain minta pertanyaan dibacakan. Jika jawabannya benar, girang alang kepalang atas kecerdasan ESQnya. Kalau jawabannya tak ada, kecewanya sambil menyalahkan yang disurvei.

TAK ADA YANG LEBIH JELEK
Pendidikan politik, melalui pidato, maupun acara diskusi, dialog dan debat dengan tema terkini maupun tema terlampau sudah sampai pada titik nadir. Rakyat terkadang sudah bisa menebak akhir cerita atau jalannya cerita. Secara awam dapat disimpulkan :

Pertama, banyak orang dan manusia Nusantara yang tidak buta politik merasa bisa jadi RI-1;

Kedua, tahun 2009-2014 merupakan puncak kebrutalan parpolis yang manggung di legislatif, eksekutif dan yudikatif mulai dari tingkat daerah kabupaten/kota, provinsi sampai pentas nasional;

Ketiga, tahun 2014 generasi muda harus siap alih pimpinan nasional, untuk itu generasi muda harus bebas alkoho dan NKRI bebas dari ambisi parpol;

Keempat, para pembicara selama ini menyelesaikan pembicaraannya saja susah, apalagi untuk menyelesaikan masalah;

Kelima, berhala Reformasi yang bernama 3K (kuat, kuasa, kaya) sebagai dasar dan tujuan perjuangan politik yang akan tetap marak karena sebagai platform parpol peserta pemilu dan pilpres;

Keenam, biarkan semua makhluk tampil di pentas dan panggung politik, ada yang diuntungkan bak kucing keluar dari karung sehingga rakyat pemilih tak seperti membeli gerombolan kucing satu karung;

Ketujuh, pendidikan politik untuk yang buta politik atau untuk yang melek politik; untuk rakyat yang punya hak pilih agar tak salah pilih atau untuk oknum rakyat yang merasa berhak dipilih;

Kedelapan, pembicara atau orator kendati sekaliber dedengkot parpolis, pendengar walau tak 100% propemerintah, merasa tak terwakili; serta yang terakhir atau


Kesembilan, apa tak ada yang lebih jelek lagi yang patut tampil untuk pamer bego! (HaeN).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar