Kamis, 19/08/2010 06:38
pendidikan
politik = tepuk tangan yang keras
Pendidikan politik
melalui media masa layar kaca sangat manjur, mujarab, tokcer, dan ampuh. Mampu
menghipnotis pemirsa dan menyihir penonton, terutama yang ditayangkan berulang
dengan berbagai trik dan tips mengaduk-aduk emosi. Sajiannya dengan bahasa rakyat,
walau tak mirip komedian, namun bisa menimbulkan tawa yang luar biasa. Ironis,
tawa yang berbasis hati nurani tak jauh dari makna mentertawakan si pembicara.
Si pembicara (mulai
dari yang mirip mantan kepala negara, politisi kambuhan atau yang numpang
nampang, yang masih aktif sebabagai kader parpol yang tidak dikenal di
lingkungan tempat tinggal dapilnya, sampai wong cilik mendadak tenar) - mereka
tak ambil peduli apakah di acara picisan (sekedar pengisi) atau di acara
andalan penyiaran TV swasta - yang penting dimeriahkan dengan dukungan tukang
keplok atau sporter paduan tepuk tangan. Semakin keras aplaus tepuk tangan,
berarti semakin berbobot pidatonya.
Di belakang
pembicara, biasanya nampak berjajar rapi rombongan berseragam atribut para
pendukungnya. Tak hanya si pembicara yang menjadi daya pikat, nuansa atau
wacana tragedi yang berbau politis acap menjadi hiburan! yang sekaligus menjadi
daya tarik sebagai perimbangan hidup sehari-hari. Contoh, politisi dari
kumpulan wakil rakyat, dengan aliran mbambung sesat sering memamerkan statemen
di running text. Padahal ada ketua, yang secara organisastoris yang berhak
mengedepankan fakta dan kata. Ketua dewan redaksi TV swasta yang sering nongol
untuk memblow up suatu affair menambah maraknya dunia pendidikan politik.
Ada persamaan
sekaligus perbedaan mendasar antara selebritis dan politikus utawa politisi,
paling tidak seperti yang ditayangkan di media masa. Sebagai contoh, aib yang
menimpa keluarga seleb, semisal urusan cerai berai utawa adegan dengan pelaku
mirip artis, dikemas jadi tontontan yang menarik di TV swasta, sebagai hiburan.
Tak jarang satu peristiwa dikemas berbeda oleh TV swasta, tujuan cuma
meningkatkan peringkat. Orang menjadi tak terharu, iba kasihan, dan empati bila
derita seseorang jadi bahan lelucon, banyolan. Celakanya yang diwawancarai,
dengan casting berbeda, malah jual tampang tak ada kesan menderita,
malah bangga muncul di layar kaca. Penjahat yang sering muncul, pejabat yang
rajin nongol, politisi yang acap tampil sampai berita bencana alam, tak ada
bedanya. Sudah saatnya kita punya acara TV yang santun, beradab, bermartabat
tidak terkontaminasi apapun yang terjadi, jangan aji mumpung, dengan dalih
terselubung demi mendulang uang
DISKUSI, DIALOG,
DEBAT
Memasuki era
Reformasi dekade 2, kran demokrasi terbuka deras, tanpa sensor dan tanpa
pesanan dari sponsor. Banyak orang merasa bisa. Puncaknya, ketika RI-2
2004-2009 merasa lebih cepat, lebih bisa daripada RI-1. Jika manusia Indonesia
dimintai pendapatnya, jangankan diminta, tidak dimintapun dengan girang
menyampaikan daya akalnya. Komentar, analisa, ulasan yang disampikan tidak jauh
dari model ndelok (bhs Jawa, artinya kendel alok atau berani teriak). Seperti
penonton sepak bola.
Kebijakan pemerintah
paling banyak menjadi sasaran tembak. Penampil, pembicara atau penyaji dalam
acara diskusi, dialog dan debat di TV swasta, dipandu oleh super ahli terkadang
tak beda jauh dengan acara hiburan Super Family. Persamaannya, pemain lebih
menonjolkan urat berfikir yang lama, mencari jawaban sambil pura-pura putar
otak, pura-pura mengalami kesulitan mencari kata yang tepat, walau pertanyaan
selalu diulang-ulang untuk mengulur waktu atau memberi waktu namun tetap butuh
waktu untuk mencerna (apalagi mencari jawaban), jawaban spontan ada yang
mengulang jawaban salah teman satu famili atau lawan main, agar kelihatan lebih
cerdas pemain minta pertanyaan dibacakan. Jika jawabannya benar, girang alang
kepalang atas kecerdasan ESQnya. Kalau jawabannya tak ada, kecewanya sambil
menyalahkan yang disurvei.
TAK ADA YANG LEBIH
JELEK
Pendidikan politik,
melalui pidato, maupun acara diskusi, dialog dan debat dengan tema terkini
maupun tema terlampau sudah sampai pada titik nadir. Rakyat terkadang sudah
bisa menebak akhir cerita atau jalannya cerita. Secara awam dapat disimpulkan :
Pertama, banyak orang
dan manusia Nusantara yang tidak buta politik merasa bisa jadi RI-1;
Kedua, tahun
2009-2014 merupakan puncak kebrutalan parpolis yang manggung di legislatif,
eksekutif dan yudikatif mulai dari tingkat daerah kabupaten/kota, provinsi
sampai pentas nasional;
Ketiga, tahun 2014
generasi muda harus siap alih pimpinan nasional, untuk itu generasi muda harus
bebas alkoho dan NKRI bebas dari ambisi parpol;
Keempat, para
pembicara selama ini menyelesaikan pembicaraannya saja susah, apalagi untuk
menyelesaikan masalah;
Kelima, berhala
Reformasi yang bernama 3K (kuat, kuasa, kaya) sebagai dasar dan tujuan
perjuangan politik yang akan tetap marak karena sebagai platform parpol peserta
pemilu dan pilpres;
Keenam, biarkan semua
makhluk tampil di pentas dan panggung politik, ada yang diuntungkan bak kucing
keluar dari karung sehingga rakyat pemilih tak seperti membeli gerombolan
kucing satu karung;
Ketujuh, pendidikan
politik untuk yang buta politik atau untuk yang melek politik; untuk rakyat
yang punya hak pilih agar tak salah pilih atau untuk oknum rakyat yang merasa
berhak dipilih;
Kedelapan, pembicara
atau orator kendati sekaliber dedengkot parpolis, pendengar walau tak 100%
propemerintah, merasa tak terwakili; serta yang terakhir atau
Kesembilan, apa tak
ada yang lebih jelek lagi yang patut tampil untuk pamer bego! (HaeN).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar