Belenggu Politik
Pekerja politik Indonesia memang ahli mentransaksikan
seluruh urusan negara atas nama wakil rakyat, gerakan politik yang dilakukan
atas kehendak dan tuntutan rakyat. Blusukan ke hati rakyat saat kampanye, dengan
dalih menjaring aspirasi rakyat, ujung-ujungnya
agar memilih dirinya.
Pekerja politik merasa diri masuk ke panggung politik sebagai panggilan jiwa, pemenuhan hati
nurani, bukan mencari pekerjaan apalagi menadah rupiah. Asumsi politis, berlaga di industri politik tolok
ukurnya adalah harus menjadi anggota DPR, harus menjadi anggota legislatif. Status
legislator, selama kontrak politik lima tahunan, merupakan posisi puncak prestisius
sebagai aktifis politik.
Pekerja
politik busuk, terbukti secara hukum melanggar sebagian pasal sumpah/janji sebagai
wakil rakyat : “serta
mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi,
seseorang, dan golongan;”,
mendapat status terpidana korupsi. Jadi, pekerja politik yang mempunyai
‘kepribadian’ adalah yang mengutamakan kepentingan pribadi. Bagaimana sisanya?
Seberapa banyak yang terjebak politik aji mumpung.
Tahun Politik
Potret pekerja
politik di trias politika dalam satu dekade 2004-2014 penuh nuansa anomali dan ambivalensi, akibat ongkos
politik dan biaya politik di luar nalar sampai merasa menjadi korban
konspirasi. Diibaratkan, cuma susu setitik, tak berarti menghadapi nila
sebelanga.
Calon wakil rakyat petahana dalam pemilu
legislatif 9 April 2014, merasa belum balik modal atau ambisinya belum
terwujud, ditambah pendatang baru dengan modal tampang, berani tampil beda, yang
penting beken, menjadi pemacu dan pemicu suhu politik. Hasil pileg menentukan
pilpres 9 Juli 2014, mempengaruhi kinerja
mesin politik, terlebih rambu-rambu transaksional sangat dominan.
Tidak ada
calon petahana pada pilpres 2014, tidak menjadikan calon negarawan, dengan jiwa
jantan dan kesatria mencalonkan diri sebagai capres. Ketua umum parpol sebagai
kriteria utama yang layak diusulkan jadi capres oleh parpolnya, bukan jaminan.
Parpol terjebak produk hukum buatan manusia (lihat Pasal 9 UU 42/2008).
Tumbal Politik
Tumbal
pesta demokrasi jelang pilpres 9 Juli 2014 semakin nyata, nyaris tak sebanding
dengan hasil. Peran media masa sebagai pemegang kendali opini masyarakat dengan
mengakomodir aspirasi dan partisipasi masyarakat lewat ruang atau forum yang
disediakan, berubah total. Media menjadi agen tunggal penyalur kampanye hitam,
menjadi rezim isu. Media sebagai fungsi rupiah gemar bermain api liwat ucap dan
cuapnya.
Ormas
Islam tak kalah getol mengipasi suasana. Dari hulu sampai hilir, tidak satu
kata. Dari pucuk pimpinan sampai akar rumput, terjadi pembiaran. Pemimpin umat
yang diharapkan sebagai pengayom dan pengayem, malah ikut andil dalam
gonjang-ganjing politik. Tidak ada yang peduli, dua cawapres yaitu MJK dan MHR,
karena berjibaku di panggung politik, nama komersialnya adalah JK dan HR. Inisial
“M” tercabut. Pertanda apa?
Rakyat
pemilih mempunyai posisi tawar, harga jual untuk kepentingan caleg. Jelang
capres, muncul relawan, tim sukses, tim kampanye liwat media sosial, promo
liwat spanduk, pasang badan bela jagonya. Beda pilihan, rakyat melawan rakyat.
Saraf politik anak bangsa menerima tekanan politik tanpa manfaat dan dampak
yang diharapkan. Energi politik anak bangsa terkuras habis, imbas dikotomi
kampanye : menjilat vs menghujat.
Dua pasang
kandidat, melalui jasa media penyiaran televisi, melakukan debat
capres/cawapres. Pasca debat, muncul ahli yang tak kalah hebat daya debatnya,
menganalisa substansi debat. Pihak yang selama ini adem ayem, merasa
terpancing dan akhirnya terseret arus kampanye hitam maupun intrik politik.
Bentrok
fisik maupun bentrok kata menjadi agenda utama kampanye pilpres. Politik adu
domba peninggalan penjajah Belanda, dihidupkan dan disesuaikan dengan alam
Reformasi. Tukang survey laku keras, ada yang banting harga, ada spesialis
menerima pesanan khusus, ada yang idealis. Wacana dan bursa capres bisa-bisa
malah mendatangkan antipati kepada ahli kampanyenya. Ironis, sang kandidat ikut
menari sesuai gendang yang ditabuh tukang adu domba.
Emosi Politik
Memasuki bulan Ramadhan, andai suhu politik
tidak menurun, apakah berarti pekerja politik dan antek-anteknya memang pemain
watak, ahli memanipuasi watak diri. Saraf politik tetap tegang, dengan melihat
siapa yang akan jadi pemenang di pilpres, nasib dan masa depan terbaca.
Lakon politik di 2014-2019 semakin meneguhkan
semangat koalisi antar parpol pemenang pileg, khususnya pemenang pilpres,
sangat menentukan pembagian kursi komisi dalam DPR. Kombinasi koalisi dan komisi
semakin menyuburkan korupsi, sampai tingkat lokal. Petarung politik dan petaruh politik tak akan
bisa santai sejenak, sulit tidur nyenyak, sampai penetapan pembantu presiden.
Semoga anak bangsa ini tidak menjadikan
politik sebagai agama baru, sebagai keyakinan terkini [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar