Halaman

Kamis, 26 Juni 2014

Puasa Ramadhan 1435 H, Turun Mesin Politik Dan Servis Saraf Politik

Belenggu Politik
Pekerja politik Indonesia memang ahli mentransaksikan seluruh urusan negara atas nama wakil rakyat, gerakan politik yang dilakukan atas kehendak dan tuntutan rakyat. Blusukan ke hati rakyat saat kampanye, dengan dalih menjaring aspirasi rakyat, ujung-ujungnya agar memilih dirinya.

Pekerja politik merasa diri masuk ke panggung  politik sebagai panggilan jiwa, pemenuhan hati nurani, bukan mencari pekerjaan apalagi menadah rupiah. Asumsi politis,  berlaga di industri politik tolok ukurnya adalah harus menjadi anggota DPR, harus menjadi anggota legislatif. Status legislator, selama kontrak politik lima tahunan, merupakan posisi puncak prestisius sebagai aktifis politik. 

Pekerja politik busuk, terbukti secara hukum melanggar sebagian pasal sumpah/janji sebagai wakil rakyat : “serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan;”, mendapat status terpidana korupsi. Jadi, pekerja politik yang mempunyai ‘kepribadian’ adalah yang mengutamakan kepentingan pribadi. Bagaimana sisanya? Seberapa banyak yang terjebak politik aji mumpung.

Tahun Politik
Potret pekerja politik di trias politika dalam satu dekade 2004-2014  penuh nuansa anomali dan ambivalensi, akibat ongkos politik dan biaya politik di luar nalar sampai merasa menjadi korban konspirasi. Diibaratkan, cuma susu setitik, tak berarti menghadapi nila sebelanga.

 Calon wakil rakyat petahana dalam pemilu legislatif 9 April 2014, merasa belum balik modal atau ambisinya belum terwujud, ditambah pendatang baru dengan modal tampang, berani tampil beda, yang penting beken, menjadi pemacu dan pemicu suhu politik. Hasil pileg menentukan pilpres 9 Juli 2014,  mempengaruhi kinerja mesin politik, terlebih rambu-rambu transaksional sangat dominan.

Tidak ada calon petahana pada pilpres 2014, tidak menjadikan calon negarawan, dengan jiwa jantan dan kesatria mencalonkan diri sebagai capres. Ketua umum parpol sebagai kriteria utama yang layak diusulkan jadi capres oleh parpolnya, bukan jaminan. Parpol terjebak produk hukum buatan manusia (lihat Pasal 9 UU 42/2008).

Tumbal Politik
Tumbal pesta demokrasi jelang pilpres 9 Juli 2014 semakin nyata, nyaris tak sebanding dengan hasil. Peran media masa sebagai pemegang kendali opini masyarakat dengan mengakomodir aspirasi dan partisipasi masyarakat lewat ruang atau forum yang disediakan, berubah total. Media menjadi agen tunggal penyalur kampanye hitam, menjadi rezim isu. Media sebagai fungsi rupiah gemar bermain api liwat ucap dan cuapnya.

Ormas Islam tak kalah getol mengipasi suasana. Dari hulu sampai hilir, tidak satu kata. Dari pucuk pimpinan sampai akar rumput, terjadi pembiaran. Pemimpin umat yang diharapkan sebagai pengayom dan pengayem, malah ikut andil dalam gonjang-ganjing politik. Tidak ada yang peduli, dua cawapres yaitu MJK dan MHR, karena berjibaku di panggung politik, nama komersialnya adalah JK dan HR. Inisial “M” tercabut. Pertanda apa?

Rakyat pemilih mempunyai posisi tawar, harga jual untuk kepentingan caleg. Jelang capres, muncul relawan, tim sukses, tim kampanye liwat media sosial, promo liwat spanduk, pasang badan bela jagonya. Beda pilihan, rakyat melawan rakyat. Saraf politik anak bangsa menerima tekanan politik tanpa manfaat dan dampak yang diharapkan. Energi politik anak bangsa terkuras habis, imbas dikotomi kampanye : menjilat vs menghujat.

Dua pasang kandidat, melalui jasa media penyiaran televisi, melakukan debat capres/cawapres. Pasca debat, muncul ahli yang tak kalah hebat daya debatnya, menganalisa substansi debat. Pihak yang selama ini adem ayem, merasa terpancing dan akhirnya terseret arus kampanye hitam maupun intrik politik.

Bentrok fisik maupun bentrok kata menjadi agenda utama kampanye pilpres. Politik adu domba peninggalan penjajah Belanda, dihidupkan dan disesuaikan dengan alam Reformasi. Tukang survey laku keras, ada yang banting harga, ada spesialis menerima pesanan khusus, ada yang idealis. Wacana dan bursa capres bisa-bisa malah mendatangkan antipati kepada ahli kampanyenya. Ironis, sang kandidat ikut menari sesuai gendang yang ditabuh tukang adu domba.

Emosi Politik
Memasuki bulan Ramadhan, andai suhu politik tidak menurun, apakah berarti pekerja politik dan antek-anteknya memang pemain watak, ahli memanipuasi watak diri. Saraf politik tetap tegang, dengan melihat siapa yang akan jadi pemenang di pilpres, nasib dan masa depan terbaca.

Lakon politik di 2014-2019 semakin meneguhkan semangat koalisi antar parpol pemenang pileg, khususnya pemenang pilpres, sangat menentukan pembagian kursi komisi dalam DPR. Kombinasi koalisi dan komisi semakin menyuburkan korupsi, sampai tingkat lokal.  Petarung politik dan petaruh politik tak akan bisa santai sejenak, sulit tidur nyenyak, sampai penetapan pembantu presiden.


Semoga anak bangsa ini tidak menjadikan politik sebagai agama baru, sebagai keyakinan terkini [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar