Intervensi
dan rangsangan terhadap daya kerja otak melalui pendengaran dan penglihatan
paling ampuh dan teruji sepanjang zaman. Pemilik industri media masa, khususnya
media penyiaran televisi (TV), yakin benar akan dogma tersebut. Acara, atraksi
maupun adegan dikemas secara komersial. Dialog, diskusi maupun debat disajikan
secara atraktif.
Muatan
edukasi, reliji mendapat porsi ala kadarnya. Sebagai pembuktian diri peduli
pada kepetingan rakyat.
Selain
dogma di atas, asas bahwa hal yang baik dan benar yang tidak kabar, diikuti
dengan seksama. Jelang pilpres 9 Juli 2014, pemberitaan apa dan siapa pasangan
capres/cawapres bersifat tendensius, tepatnya memakai format kampanye hitam.
Paket kampanye hitam oleh pembawa acara dibumbui agar tampak cerdas dan
mencerdaskan.
Penonton/pendengar
tahu adanya kampanye hitam hanya liwat media penyiaran TV. Sambil kerja, sambil
makan, sambil istirahat bisa menikmati siaran TV. Di kios rokok yang luasnya
minimalis, terpampang TV. Di gardu jaga, nongkrong sambil menonoton TV. Di mana
rakyat berkumpul, TV sebagai pusat perhatian.
Ironisnya,
Republika juga menyajikan kampanye hitam secara tertulis, dengan ragam yang
seolah santun, halus dan diedit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar