Rabu, 11/12/2002
08:41
APA LACUR SUDAH JADI
PELACUR
Bukan niat bangsa ini
melahirkan dua orde, yaitu Orde Lama (Orla) dan Orde Baru (Orba). Bak sebuah
mata uang maka kedua orde tadi merupakan pasangan yang pas dan
"ideal". Masing-masing saling melengkapi, memberi makna dan
"menghargai". Jadi, bangsa Indonesia tak akan pernah ada jika salah
satu ordenya "hilang" dari peredaran.
Mau tak mau, harus
tak harus, bisa tak bisa, senang tak senang kita memang memiliki sejarah yang
warna-warni. Ada babakan sejarah yang digoreskan dengan tinta mas secara hikmat
dan cermat, serta tak kurang ada adegan sejarah yang tercoreng dengan arang
hitam melalui corat-coret. Kita tak perlu menyesali dan menyesaki dada ini
dengan kesumat turun-temurun, tak perlu mengumpat tujuh turunan, lima tanjakan
dan tiga tikungan; tak usah menghujat kiri kanan. Apalagi menyusun skenario
berlapis dalam hal balas dendam. Mereka, para pelaku sejarah telah
menyelesaikan kewajibannya sesuai tuntutan dan tantangan zamannya.
Sesuai lakon dan
peran serta karakter watak yang harus ditampilkan. Masih ada peradilan yang
mutlak adil menantinya. Bersyukurlah bagi kita yang merasa mempunyai akal
panjang dan berpikir panjang, tanpa menghitung untung rugi kalau harus
berjuang. Menuntut ganti untung sebagai penyandang korban perasaan bukan
tujuan. Tanpa mengharapkan timbal balik atas jerih payah selama mengabdi kepada
nusa dan bangsa. Itulah perilaku sebagai bangsa yang relijius dan agamais.
Sekarang kita jadi pelaku sejarah belum pasti generasi yang akan datang
"membaca" sepak terjang kita dengan antusias.
Sejarah terkadang
berulang dan mungkin akan menggilas anak kandungnya sendiri seperti revolusi
Orla, mungkin pula akan mengkebiri demokrasi jauh hari sebelum tunas seperti
hantam kromonya Orba. Dalam meluruskan sejarah bukan berarti mencari kambing
hitam atau memaksakan teori pembenaran diri, justru yang baku yaitu jangan
mengulang kesalahan yang sama. Atau membuat kesalahan yang lebih dahsyat secara
sengaja dan terkendali sesuai prosedur. Keledai pun tak mau terperosok ke
lubang yang sama sampai dua kali berturut-turut. Meluruskan sejarah berarti
meluruskan tatap pandang ke depan, memantapkan kata hati dalam kebersamaan
untuk mewujudkan tujuan bersama.
Masa lalu adalah
modal, bukan beban. Masa depan adalah tujuan, bukan sekedar impian. Kalau
bangsa kita masih dan sedang babak belur di berbagai aspek dan sendi-sendi
kehidupan, obat mujarabnya bukan dengan mendidihkan suasana, memanaskan situasi
ataupun memperburuk kondisi. Tidak ada dosa turunan, tidak ada dosa bawaan,
tidak ada dosa limpahan maupun tidak ada dosa kiriman. Segala
kekurangsempurnaan 2 orde jangan hanya dilimpahkan ke sang mandataris. Jujur
saja bahwa si pemberi mandat (MPR) tidak bisa cuci tangan dan sembunyi tangan
atas segala kewenangannya itu.
Di era atau orde
Reformasi ini para pelaku dan penentu sejarah Indonesia tidak hanya dari kaum
eksekutif saja, bahkan dari kalangan legislatif turut memeriahkan suasana,
tanpa diminta sedetikpun. Tonggak sejarah yang dimulai tahun 1908 sebagai
landasan pergerakan, bergerak ke tahun 1928 sebagai lambang persatuan,
dipertegas dalam tahun 1945 dengan proklamasi, masa uji coba oleh PKI tahun
1949 dan 1965, timbulnya angkatan 1966, memasuki masa transisi 1998 sebagai
tahun lengser keprabonan sang presiden RI ke 2 - sampai detik dan detak
reformasi ini sejarah masih bergulir bebas. Dengan MPR dan DPR diketuai oleh
orang yang berbeda maka semakin riuhlah campur tangan legislatif dalam mewarnai
sejarah. Masing-masing menyanyikan lagu wajib yang berbeda dan tak seirama;
masing-masing menyajikan bendera dan atribut golongannya; masing-masing
menjanjikan masa depan masyarakat adil dan makmur !!! Entah apa lagi yang akan
diperbuat oleh para wakil rakyat, khususnya untuk menuju "Indonesia
Merdeka", sebagai tonggak sejarah berikutnya. (hn).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar