Halaman

Senin, 30 Juni 2014

APA LACUR SUDAH JADI PELACUR

Beranda » Berita » Opini
Rabu, 11/12/2002 08:41

APA LACUR SUDAH JADI PELACUR

Bukan niat bangsa ini melahirkan dua orde, yaitu Orde Lama (Orla) dan Orde Baru (Orba). Bak sebuah mata uang maka kedua orde tadi merupakan pasangan yang pas dan "ideal". Masing-masing saling melengkapi, memberi makna dan "menghargai". Jadi, bangsa Indonesia tak akan pernah ada jika salah satu ordenya "hilang" dari peredaran.

Mau tak mau, harus tak harus, bisa tak bisa, senang tak senang kita memang memiliki sejarah yang warna-warni. Ada babakan sejarah yang digoreskan dengan tinta mas secara hikmat dan cermat, serta tak kurang ada adegan sejarah yang tercoreng dengan arang hitam melalui corat-coret. Kita tak perlu menyesali dan menyesaki dada ini dengan kesumat turun-temurun, tak perlu mengumpat tujuh turunan, lima tanjakan dan tiga tikungan; tak usah menghujat kiri kanan. Apalagi menyusun skenario berlapis dalam hal balas dendam. Mereka, para pelaku sejarah telah menyelesaikan kewajibannya sesuai tuntutan dan tantangan zamannya.

Sesuai lakon dan peran serta karakter watak yang harus ditampilkan. Masih ada peradilan yang mutlak adil menantinya. Bersyukurlah bagi kita yang merasa mempunyai akal panjang dan berpikir panjang, tanpa menghitung untung rugi kalau harus berjuang. Menuntut ganti untung sebagai penyandang korban perasaan bukan tujuan. Tanpa mengharapkan timbal balik atas jerih payah selama mengabdi kepada nusa dan bangsa. Itulah perilaku sebagai bangsa yang relijius dan agamais. Sekarang kita jadi pelaku sejarah belum pasti generasi yang akan datang "membaca" sepak terjang kita dengan antusias.

Sejarah terkadang berulang dan mungkin akan menggilas anak kandungnya sendiri seperti revolusi Orla, mungkin pula akan mengkebiri demokrasi jauh hari sebelum tunas seperti hantam kromonya Orba. Dalam meluruskan sejarah bukan berarti mencari kambing hitam atau memaksakan teori pembenaran diri, justru yang baku yaitu jangan mengulang kesalahan yang sama. Atau membuat kesalahan yang lebih dahsyat secara sengaja dan terkendali sesuai prosedur. Keledai pun tak mau terperosok ke lubang yang sama sampai dua kali berturut-turut. Meluruskan sejarah berarti meluruskan tatap pandang ke depan, memantapkan kata hati dalam kebersamaan untuk mewujudkan tujuan bersama.

Masa lalu adalah modal, bukan beban. Masa depan adalah tujuan, bukan sekedar impian. Kalau bangsa kita masih dan sedang babak belur di berbagai aspek dan sendi-sendi kehidupan, obat mujarabnya bukan dengan mendidihkan suasana, memanaskan situasi ataupun memperburuk kondisi. Tidak ada dosa turunan, tidak ada dosa bawaan, tidak ada dosa limpahan maupun tidak ada dosa kiriman. Segala kekurangsempurnaan 2 orde jangan hanya dilimpahkan ke sang mandataris. Jujur saja bahwa si pemberi mandat (MPR) tidak bisa cuci tangan dan sembunyi tangan atas segala kewenangannya itu.

Di era atau orde Reformasi ini para pelaku dan penentu sejarah Indonesia tidak hanya dari kaum eksekutif saja, bahkan dari kalangan legislatif turut memeriahkan suasana, tanpa diminta sedetikpun. Tonggak sejarah yang dimulai tahun 1908 sebagai landasan pergerakan, bergerak ke tahun 1928 sebagai lambang persatuan, dipertegas dalam tahun 1945 dengan proklamasi, masa uji coba oleh PKI tahun 1949 dan 1965, timbulnya angkatan 1966, memasuki masa transisi 1998 sebagai tahun lengser keprabonan sang presiden RI ke 2 - sampai detik dan detak reformasi ini sejarah masih bergulir bebas. Dengan MPR dan DPR diketuai oleh orang yang berbeda maka semakin riuhlah campur tangan legislatif dalam mewarnai sejarah. Masing-masing menyanyikan lagu wajib yang berbeda dan tak seirama; masing-masing menyajikan bendera dan atribut golongannya; masing-masing menjanjikan masa depan masyarakat adil dan makmur !!! Entah apa lagi yang akan diperbuat oleh para wakil rakyat, khususnya untuk menuju "Indonesia Merdeka", sebagai tonggak sejarah berikutnya. (hn).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar