Senin, 07/10/2002
07:52
Sewaktu Zaman Batu di
Indonesia tertulis suatu jabatan yang unik dan menarik. Uniknya karena si
pejabat kalau dipromosikan malah mengalami degradasi. Sehingga mereka para
pejabat tersebut bersiteguh mempertahankan kursi batunya. Menariknya karena
sedemikian besar daya tariknya sehingga orang berlomba meraih, dengan cara
apapun.
Sejarah merekam fakta
ada dedengkot (untuk ukuran sekarang disebut Ketua) yang kesandung batu hukum
malah menampakkan diri sebagai si kepala batu, sesuai zamannya. Dakwaannya
sangat sederhana yaitu menggelapkan batu non-budgeter. Batu tersebut seharusnya
dijadikan sembako (sempalan batu kong kalingkong) untuk dibagi gratis.
Batu-batu memang harus "digelapkan" agar berisi dan bertuah. Jabatan
dimaksud adalah Wakil Rakyat. Soalnya jabatan ini kalau dinaikkan malah menjadi
Rakyat. Beda sekali dengan Wakil Presiden kalau dipromosikan menjadi Presiden.
Berpredikat sebagai Rakyat jelas bukan jabatan yang terhormat. Adanya fenomena
Rakyat Jelata, Rakyat Miskin, Rakyat Melarat, Rakyat Gembel - pokoknya yang
serba "ter", misal terbelakang, terasing, tertinggal, tertindas,
terpojok; atau yang berpredikat "buta", misal buta huruf, buta hukum
maupun buta politik.
Menjadi rakyat memang
merupakan posisi yang sangat margin, selalu menjadi obyek para penyelenggara
negara. Karena keluguannya maka rakyat layak diapusi habis-habisan, patut
diiming-imingi janji kampanye, pantas dibodoh-bodohkan, serta sangat pas untuk
diintimidasi dengan jargon-jargon pembangunan. Menyoal perikebinatangan maka
rakyat pun leluasa dikambinghitamkan dalam masalah keamanan, mudah diadu domba
soal SARA, bukan dosa kalau dijadikan kelinci percobaan politik, gampang
dijadikan sapi perah tenaga dan lahannya bahkan perkembangan hati nuraninya
bisa dikendalikan secara sistematis bak kerbau dicocok hidungnya.
Tak perlu heran bin
aneh bila si Wakil Rakyat di Zaman Batu waktu itu memang beda dengan pengertian
Duta Bangsa di era reformasi. Lika-liku proses menjadi Duta Bangsa adalah
perjuangan, contohnya di cabang olahraga atau kontes unjuk raga wanita sejagad.
Sedangkan daya juang Wakil Rakyat sangat fenomenal dan futuristik. Tak ada
tolok ukur yang memadai.
Kalau dibandingkan
dengan Wanita "P" (baca "P"= Perempuan) ada persamaan
logika yaitu alasan ekonomi atau karena/demi uang, tentunya dengan klas dan
kategori yang tak bisa disandingkan. Jelasnya para Wakil Rakyat dalam berkiprah
di panggung negara merupakan pemain watak paripurna yang nyaris tak
tertandingi. Menjadi Wakil Rakyat memang harus layak jual. Dengan wewenangnya
bisa memiliki posisi tawar-menawar. Pasang harga untuk suatu urusan bukan hal
yang nista; pasang tarif untuk menggoalkan suatu pilihan bukan hal yang naif;
pasang komisi untuk menyalurkan aspirasi bukan hal yang menyalahi tradisi;
pasang jasa untuk menjajal atau menjegal pasal-pasal dalam RUU sudah syarat
yang halal; pasang rekayasa kata untuk tarik ulur suara bukan suatu dosa maupun
pasang badan untuk jual-beli paham (idiologi) bukan barang haram sampai pasang
aksi untuk meraup saham dalam transaksi kepemahaman daripada masa depam suram.
Paling tidak para
Wakil Rakyat mempunyai dalih sudah mempraktekkan asas "Musyawarah untuk
mencapai mufakat" secara demokratis, kompromis serta kolaboratis -
dilaksanakan secara silent operation maupun jelas-jelasan. Mengingat serta
menimbang bahwa para Wakil Rakyat tidak mendapat jaminan uang pensiun, maka
mereka diwajibkan mengoptimalkan hak inisiatif dalam menghimpun dan menimbun
dana pensiun.
Ikhwal inilah yang
melandasi daya juang Wakil Rakyat yang sangat proaktif dalam mempromosikan
Layak Jual sehingga setelah nanti Purna Jual tidak kapiran turun-temurun. Siapa
suruh jadi Wakil Rakyat. Bukanlah usul kalau Wakil Rakyat diganti menjadi Duta
Rakyat. Kata "Duta" hanya akan mengingatkan kita pada pewayangan,
Kresna Duta, Hanoman Duta, Anggada Duta. Norma formal "Kerakyatan"
hanya akan membelenggu kreativitas Wakil Rakyat, hanya akan menjadi beban atau
menjadi batu sandungan. "Kedaulatan Rakyat" menjadi momok bagi Wakil
Rakyat karena takut untuk didaulat jadi Rakyat, tetapi tidak takut dilaknat
rakyat. Demikian cuplikan fiktif yang terukir dalam prasasti Batu Cetak yang
dikisahkan seadanya oleh para tetangga dalam acara Arisan Batu. (hn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar