Halaman

Senin, 23 Juni 2014

WAKIL RAKYAT PURNA JUAL

Beranda » Berita » Opini
Senin, 07/10/2002 07:52

Sewaktu Zaman Batu di Indonesia tertulis suatu jabatan yang unik dan menarik. Uniknya karena si pejabat kalau dipromosikan malah mengalami degradasi. Sehingga mereka para pejabat tersebut bersiteguh mempertahankan kursi batunya. Menariknya karena sedemikian besar daya tariknya sehingga orang berlomba meraih, dengan cara apapun.

Sejarah merekam fakta ada dedengkot (untuk ukuran sekarang disebut Ketua) yang kesandung batu hukum malah menampakkan diri sebagai si kepala batu, sesuai zamannya. Dakwaannya sangat sederhana yaitu menggelapkan batu non-budgeter. Batu tersebut seharusnya dijadikan sembako (sempalan batu kong kalingkong) untuk dibagi gratis. Batu-batu memang harus "digelapkan" agar berisi dan bertuah. Jabatan dimaksud adalah Wakil Rakyat. Soalnya jabatan ini kalau dinaikkan malah menjadi Rakyat. Beda sekali dengan Wakil Presiden kalau dipromosikan menjadi Presiden. Berpredikat sebagai Rakyat jelas bukan jabatan yang terhormat. Adanya fenomena Rakyat Jelata, Rakyat Miskin, Rakyat Melarat, Rakyat Gembel - pokoknya yang serba "ter", misal terbelakang, terasing, tertinggal, tertindas, terpojok; atau yang berpredikat "buta", misal buta huruf, buta hukum maupun buta politik.

Menjadi rakyat memang merupakan posisi yang sangat margin, selalu menjadi obyek para penyelenggara negara. Karena keluguannya maka rakyat layak diapusi habis-habisan, patut diiming-imingi janji kampanye, pantas dibodoh-bodohkan, serta sangat pas untuk diintimidasi dengan jargon-jargon pembangunan. Menyoal perikebinatangan maka rakyat pun leluasa dikambinghitamkan dalam masalah keamanan, mudah diadu domba soal SARA, bukan dosa kalau dijadikan kelinci percobaan politik, gampang dijadikan sapi perah tenaga dan lahannya bahkan perkembangan hati nuraninya bisa dikendalikan secara sistematis bak kerbau dicocok hidungnya.

Tak perlu heran bin aneh bila si Wakil Rakyat di Zaman Batu waktu itu memang beda dengan pengertian Duta Bangsa di era reformasi. Lika-liku proses menjadi Duta Bangsa adalah perjuangan, contohnya di cabang olahraga atau kontes unjuk raga wanita sejagad. Sedangkan daya juang Wakil Rakyat sangat fenomenal dan futuristik. Tak ada tolok ukur yang memadai.

Kalau dibandingkan dengan Wanita "P" (baca "P"= Perempuan) ada persamaan logika yaitu alasan ekonomi atau karena/demi uang, tentunya dengan klas dan kategori yang tak bisa disandingkan. Jelasnya para Wakil Rakyat dalam berkiprah di panggung negara merupakan pemain watak paripurna yang nyaris tak tertandingi. Menjadi Wakil Rakyat memang harus layak jual. Dengan wewenangnya bisa memiliki posisi tawar-menawar. Pasang harga untuk suatu urusan bukan hal yang nista; pasang tarif untuk menggoalkan suatu pilihan bukan hal yang naif; pasang komisi untuk menyalurkan aspirasi bukan hal yang menyalahi tradisi; pasang jasa untuk menjajal atau menjegal pasal-pasal dalam RUU sudah syarat yang halal; pasang rekayasa kata untuk tarik ulur suara bukan suatu dosa maupun pasang badan untuk jual-beli paham (idiologi) bukan barang haram sampai pasang aksi untuk meraup saham dalam transaksi kepemahaman daripada masa depam suram.

Paling tidak para Wakil Rakyat mempunyai dalih sudah mempraktekkan asas "Musyawarah untuk mencapai mufakat" secara demokratis, kompromis serta kolaboratis - dilaksanakan secara silent operation maupun jelas-jelasan. Mengingat serta menimbang bahwa para Wakil Rakyat tidak mendapat jaminan uang pensiun, maka mereka diwajibkan mengoptimalkan hak inisiatif dalam menghimpun dan menimbun dana pensiun.

Ikhwal inilah yang melandasi daya juang Wakil Rakyat yang sangat proaktif dalam mempromosikan Layak Jual sehingga setelah nanti Purna Jual tidak kapiran turun-temurun. Siapa suruh jadi Wakil Rakyat. Bukanlah usul kalau Wakil Rakyat diganti menjadi Duta Rakyat. Kata "Duta" hanya akan mengingatkan kita pada pewayangan, Kresna Duta, Hanoman Duta, Anggada Duta. Norma formal "Kerakyatan" hanya akan membelenggu kreativitas Wakil Rakyat, hanya akan menjadi beban atau menjadi batu sandungan. "Kedaulatan Rakyat" menjadi momok bagi Wakil Rakyat karena takut untuk didaulat jadi Rakyat, tetapi tidak takut dilaknat rakyat. Demikian cuplikan fiktif yang terukir dalam prasasti Batu Cetak yang dikisahkan seadanya oleh para tetangga dalam acara Arisan Batu. (hn)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar