Halaman

Senin, 02 Juni 2014

Perubahan Sejarah Keluarga Ditentukan Peran Seorang Ibu

02.00.00
 
0

doc/thorif
Oleh Herwin Nur

Perempuan sebagai calon ibu, dalam meniti masa depannya, khususnya dalam menemukan jodohnya tidak perlu takut, kuatir, resah, cemas, was-was maupun bingung. Memilah dan memilih jodoh tidak bisa dilakukan sambil jalan. Terkandung misi mulia menyiapkan keturunan yang  tidak sekedar sebagai penerus silsilah, tetapi sebagai generasi masa depan dalam prespektif Islam, bahkan sebagai investasi akhirat. Perjalanan hidup dan masa depan anak diwarnai oleh akumulasi, gabungan maupun resultan dari emosi dan karakter ibu dan bapaknya.

Perubahan bersifat individual dan berdampak pada anak keturunan. Betapa tidak, perjuangan cinta lelaki yang mencari calon ibu untuk anak-anaknya, sebagai modal dan langkah awal bagi si calon ibu.

Dari sisi atau pihak calon ibu, perlu dipahami lagi bahwa aktivitas utama seorang wanita adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Setinggi-tinggi bangau terbang akan kembali ke kubangan juga, tidak berlaku pada wanita karier. Wanita terbang tinggi dengan kariernya, keluarga menjadi urusan berikutnya, diurus di waktu sisa, di saat sempat.

Kesimpulan pakar dan ahli pendidikan anak, bahwa anak yang kedua orangtuanya bekerja, akan menjadi anak yang mandiri, antar saudara terjalin keakraban memang ada benarnya. Namun harus diikuti dengan bagaimana orangtua berinteraksi dengan anaknya saat di rumah, bagaimana mengelola waktu bersama, bagaimana pembagian tugas di keluarga.

Terkadang alasan asangan suami istri bekerja adalah agar ekonomi keluarga tak pincang atau agar asap dapur  tetap mengebul. Faktor emansipasi wanita, seolah wanita karier menjadi suatu kewajiban. Kondisi ini menyebabkan orangtua secara tak sadar menyiapkan anaknya secara apa adanya. Tepatnya, asal anaknya nantinya seperti dirinya tidak masalah, sudah bagus. Contoh umum, bapak dengan ijazah SMA bekerja, berharap anaknya lulus SMA sudah cukup.

Diriwayatkan dalam sebuah sebuah hadits, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallambersabda kepada Ali bin Abi Thalib r.a : "Wahai Ali, hak-hak anak yang diwajibkan atas orang tua adalah sebanyak hak orang tua yang diwajibkan kepada anak-anaknya".

Hubungan timbal balik hak anak dengan hak orangtua tidak bisa dirumuskan secara matematis serta bukan dalam tataran balas jasa. Keluarga seperti apa yang kita harapkan, agar hubungan timbal balik hak bisa terjalin. Kita mengacu sabda Rasulullah: "Apabila Allah menghendaki, maka rumah tangga yang bahagia itu akan diberikan kecenderungan senang mempelajari ilmu-ilmu agama, yang muda-muda menghormati yang tua-tua, harmonis dalam kehidupan, hemat dan hidup sederhana, menyadari cacat-cacat mereka dan melakukan taubat." (HR Dailami dari Abas r.a)

Berderet kata kunci, intinya dalam keluarga memang harus didasari kehidupan religi. Kewajiban pertama orangtua adalah memberi nama anak dengan nama dan panggilan yang bermakna, berkah dan Islami.

Orang lupa, hubungan emosi anak dengan ibunya terjalin sejak dalam kandungan, diperkuat karena mendapat ASI ekslusif selama 2 tahun. Jangan heran jika anak, lelaki maupun perempuan, dominan berorientasi ke ibunya. Orang juga lupa, anak menyandang watak turunan atau watak gabungan plus watak pribadi yang terbetuk sesuai perjalanan waktu. Orang tua berwawasan ke masa depan adalah yang tidak menginginkan anaknya mengalami nasib yang sama dengan dirinya.

Mengacu HR Dailami dari Abas r.a di atas, semua anggota keluarga inti sebagai pelaku utama terwujudnya rumah tangga bahagia. Suami sebagai kepala rumah tangga diikuti dengan hak dan kewajibannya. Isteri sebagai ibu dan pengatur rumah tangga dilengkapi oleh Allah dengan perangkat jasmani rohani, lahir batin, jiwa raga.

Ibu tidak sekedar mengandung, melahirkan, menyusui dan menyuapi anak, bahkan urusan ke belakang bayi/anak ditangani dengan tulus, merambah ke dalam konteks memperbaiki keturunan. Komponen rumah tangga bahagia bisa diwujudkan jika campur tangan ibu terasa bahkan dominan. Bukan karena kepala keluarga hanya berkewajiban sebagai pencari nafkah.

*) Herwin Nur, Penulis lepas, Tinggal di Tangerang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar