Halaman

Kamis, 31 Desember 2015

menggantang asap atau asa (laman) revolusi mental

menggantang asap atau asa (laman) revolusi mental

Entah gagasan mulia siapa, tentu bukan yang mulia, yang memulai tanpa pencanangan, tanpa konsep politik berbahasa Dewa, tahu-tahu program Keluarga Pra Sejahtera terwujud nyata, merata secara nasional.

Di pihak lain, pemerintah fokus membangun sejuta rumah antara lain diperuntukkan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Indonesia kaya dengan istilah, nomenklatur, frasa dan pandanan lainnya. Mulai ‘rakyat jelata’, ‘warga negara klas 2’, ‘penduduk musiman’, ‘penduduk pendatang’, ‘orang udik’, ‘manusia bebas’. Bahkan sepertinya ada strata dan status sosial atau profesi : kampungan, papan bawah, kolong jembatan, pinggir kali/rel kereta api, anak jalanan, kuli panggul, buruh pacul, tukang batu, pemulung.

Kontradiksi dari yang disebut di atas, penulis yakin masih banyak yang belum disebut, ada sebutan : elit partai, elit politik. Mengacu GINI Ratio Indonesia, nasib bangsa dan negara setiap lima tahun di tentukan oleh kebijakan para elit partai/parpol.

Di sisa era megatega, kawanan parpolis yang sedang nangkring dan nongkrong sebagai penyelenggara negara, wajib cuci mental dengan Revolusi Mental. [HaeN].

Rabu, 30 Desember 2015

memahami gejala, gejolak dan geliat politik Nusantara 2016

memahami gejala, gejolak dan geliat politik Nusantara 2016

Bangsa Indonesia boleh bangga bin/binti besar kepala. Bayangkan, tanpa diduga, dari hasil survei lembaga dunia tentang daya juang kawanan parpolis, terdapat potensi nyata. Bahkan hanya ada di Indonesia. Keahlian tersebut bahkan terwakili secara jender, emansipasi ataupun berbasis tak tahu malu.

Betapa diberitakan, ada anak bangsa ahli jual tangis tanpa sebab. Ahli meneteskan, memeras, mengurai menguras air mata buaya politik. Setiap tampil disorot awak media massa, pandai memanfaatkan situasi, pidato tanpa skenario. Dengan suara mengharu-rasa. Dengan nada memelas merasa selalu dizalimi oleh penguasa. Cita-citanya masuk akal ybs saja. Yaitu ingin jadi presiden, koq rakyat yang milihnya kalah dengan tetangga sebelah. Bayangkan, rekam jejak sebagai anak presiden, di periode 1999-2004 menjadi wapres dan presiden, kurang apa. Memang betul-betul aneh wong cilik Indonesia. Mboke ingin urip enak ora direwangi. Bahkan dengan jujur ybs berujar kalau bapaknya bilang dia anak yang pandai. Namanya orang tua, tidak akan mengolok-olok anak sendiri. Dengan gaya kekanak-kanakan, kekenes-kenesan biar dikira orator ulung, mewarisi darah juang bapak moyangnya. Ironisnya, kader partainya sendiri acap tidak menyimak pidatonya. Padahal ada jargon mengimbangi semangat banteng ketaton, yatiu :

sing arep milih, malah isih molah-malih
sing wis malih, malah ora milih-milih

Di pihak lain, ada sesosok manusia, lain, beda jenis kelamin dengan yang diberitakan pertama. Walau tidak masuk kategori tampang buaya. Namun jika bergaya di mimbar, di depan barisan mike, tampak gagah. Bahasa tubuh, gerak tangan menandakan seolah sedang pidato. Sang juru rekam bingung, seperti ada suara anak kucing mengeong.-Jangan-jangan salah sound system. Selidik punya selidik, ternyata yang punya media massa, yang sedang pidato suara yang keluar memang bergaya menghiba-hiba. Biar dikira hanya dia yang memperhatikan dan memprihatikan derita rakyat. Biar dianggap hanya dia yang peka, peduli, tanggap dan siaga atas nasib bangsa. Biar diduga sebagai calon bapak bangsa yang siap mengayomi dan mengayemi Nusantara. Sayang, rakyat Indonesia tidak bisa dikibuli, dikadali hidup-hidup. Kendati sekjen partainya, mengundurkan diri karena dipanggil KPK, ybs tetap tenang. Malah beruntung.

Walhasil, di sisa periode megatega, Jokowi-JK, khususnya Jokowi hanya mengandalkan bebasan Jawa surga merucut, neraka kebacut”.

Rakyat tahu betul bahwa pesta demokrasi lima tahunan adalah hajat nasional. Cuma tidak diberitakan, siapa sutradara intelektual, sponsor pengatur lakon, penyandang dana penentu pemain, pemasok modal pembeli suara, agar pemilu dan pilpres bisa jalan dengan asas ‘luber’ dan sesuai skenario.

Apapun yang akan terjadi, masih dalam kendali atau sesuai skenario besar. Rakyat hanya jadi penoton, melihat oknum penyelenggara negara arisan dan bancakan kursi. Opo tumon.[HaeN]

Selasa, 29 Desember 2015

nujum Revolusi Mental 2016, demokrasi tiren vs demokrasi gelonggongan

nujum Revolusi Mental 2016, demokrasi tiren vs demokrasi gelonggongan

Prestasi petenis prof, bisa naik turun. Banyaknya turnamen menyebabkan ritme latihan teruji diberbagai pertandingan. Faktor usai bukan sebagai ukuran kapan harus gantung raket. Mereka tak terlalu ambisi kejar gelar. Istilah absen, menjadi penonton, memberi semangat temannya main, bukan hal yang tabu. Tidak akan menurunkan gengsi. Mereka, petenis unggulan, sadar bisa terjegal, tumbang, tersungkur di tangan pemain baru, pemain pendatang. Bahkan seolah tak mampu memberi perlawanan yang berarti. Jika mempunyai musuh bebuyutan, tak lantas harus saling libas. Olahraga adalah sport, sehingga terwujud nilai sportifitas. Bukan tanpa sebab, karakter penonton tanding tenis beda dengan karakter penonton sepak bola.

Apa bedanya dengan pemain politik di panggung politik Nusantara. Politik memang menjanjikan. Lahir sebutan bak tata niaga politik, mulai dari industri politik sampai syahwat politik.

Pemain politik sangat beragam. Pemain karbitan, orbitan, bawaan orang tua, kader jenggot, pemain kambuhan mendominasi jiwa dan daya juang anak bangsa. Tak ada batas usai untuk “gantung raket”. Apalagi kalau sudah merasakan nikmat dan guruhnya bertengger di singgasana, nangkring dan nongkrong ditakhta, menginap gratis di istana negara. Semakin besar kepala dengan mahkota.

Memang ada nilai sportifitas di panggung politik!

Joko Widodo, serta joko-joko lainnya, faham bebasan Jawa : “surga mrucut, neraka kebacut”. Beda dengan mbah JK, punya semboyan hidup : ”siap cepat, main sikat”. Salah benar jangan dipikirkan.

Jangan heran dan ojo gumunan, di tahun 2016, masih eranya megatega, laga dan lagak petarung politik yang berani umbar suara, tepuk dada, adu nyali karena mereka memang penganut asas demokrasi tiren (mati kemarin) vs demokrasi gelonggongan. [HaeN]

Senin, 28 Desember 2015

ramalan laga dan lagak politik 2016, bola salju = bola liar + bola panas

ramalan laga dan lagak politik 2016, bola salju = bola liar + bola panas

Efek era megatega tetap bergulir dan bergilir di tahun 2016. Entah tahun apa namanya. Banyak bayi lahir, banyak pula anak manusia yang meninggal. Diperlukan relawan, ahli rekayasa berita, lembaga survei bebas bayar, untuk membaca tanda dan gejala zaman.

Si kulit bundar, tetap jadi incaran semua pemain. Penggembira, bonek, pebotoh, pengurus tim kampung, sponsor, tukang parkir, jual tiket online, serta sisanya yang tidak bisa diungkap, merasa nasibnya ditentukan oleh olah dan ulah bola.

Aroma irama petarung politik, berlaga sambil berlagak, masih dengan gaya banyolan, seolah berjuang betulan. Pengurus dan elit parpol masih tetap gemar pamer bego. Berpacu untuk berucap dan bercuap di media masa. Tapi tetap kalah pamor dengan orasi sang penghiba-hiba dan kalah tenar dengan celoteh si pengharu-rasa.

Pemain lama yang semangkin uzur, serta pemain pendatang baru modal karbitan, kader jenggot, diorbitkan oleh ortunya, numpang beken, numpang nampang menjadi penghias derita berbalut berita.

Rakyat bisa bernafas lega, bergeser pantat, menegakkan sandaran kursi, meluruskan kaki, menoleh kanan kiri, merapikan rambut, karena Allah tidak tidur. [HaeN].

Minggu, 27 Desember 2015

berani mundur tidak ada di kamus parpol

berani mundur tidak ada di kamus parpol

Jangan disamakan, semangat mundur dari jabatan 3 dirjen di 3 kementrian berbeda dengan semangat mundur ketua DPR karena megakasus “papa minta saham”. Apalagi, Setya Novanto hanya turun jabatan, dari ketua DPR menjadi ketua fraksi (?). Kalau mundur sebagai wakil rakyat, sebagai anggota DPR, baru bisa disamakan dengan 3 dirjen tadi.

Belum ada lembaga survei bebas bayar yang mengambil inisiatif untuk membandingkan maupun menyandingkan persamaan/perbedaan mundurnya penyelenggara negara. Tepatnya birokrasi/eksekutif vs legislatif.

Jangan lupa, kalau parpol adalah wadah pejuang yang tak kenal putus asa, pantang menyerah; wadah pencari peluang sampai kucuran uang terakhir. Daya juang merupakan fungsi uang. Mereka menggunakan aji mumpung vs mumpung aji. Mundurnya oknum sekjen partai nasdem akibat OTT KPK jangan dianggap “kemunduran” parpol.


Sejarah mencatat, bagaimana kesabaran seorang ibu yang juga presiden ke-5 RI, menanti dengan sabar berakhirnya suatu periode pemerintahan. Bahkan sampai dua periode SBY, 2004-2009 dan 2009-2014, hanya duduk manis di bangku cadangan. Tidak menyerah. Hasilnya, apa yang terjadi di periode Joko-JK. [HaeN]

Sabtu, 26 Desember 2015

masih adakah cita-cita awal apalagi cita-cita Nasional

masih adakah cita-cita awal apalagi cita-cita Nasional

Saya, penulis tentunya, tertarik pada tayangan berikut :

Din : Ada Penyimpangan Cita-Cita Nasional
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA 15/12/2015 -- Ketua Dewan Pertimbangan (Wantim) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin menjelaskan ada penyimpangan cita-cita nasional. Ia menjelaskan wantim MUI bersepakat hal itu ada di beberapa bidang.

MUI melalui wantim menurut Din akan mendorong pelurusan cita-cita nasional tersebut. Din menjelaskan pendekatan yang dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut harus dengan adanya perubahan undang-undang dasar 1945.

Wantin MUI juga menghimbau kepada stake holder lain untuk membuka diri dalam persoalan ini. Sehingga bisa bersama-sama mendorong kembali Indonesia kepada cita-cita awalnya.

Artinya, memakai kaca mata rakyat, bahasa rakyat, akal, nalar dan logika rakyat, apa memang ada cita-cita awal, apalagi cita-cita Nasional. Di zaman Orde Baru, atau sejak era Orde Lama, dikenal istilah “mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur”. OKB (orang kaya baru) muncul di era Bung Karno. Repelita demi repelita dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru. Haslnya bisa dirasakan di era Reformasi sehari 21 Mei 1998 dan pasca Reformasi, yaitu orang kaya Indonesia sudah mendunia. Bahkan muncul kasta, strata, status golongan menengah ke atas. Ironisnya masih terdapat orang/keluarga miskin karena keturunan.

Menyimak betapa ketika presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat yang sudah berhak memilih, banyak anak bangsa yang mengajukan dirinya jadi pasangan capres dan cawapres. Bahkan sebelum pesta demokrasi masih di atas kertas. Maksudnya, jika berani maju artinya sudah kaya sejak dari sono-nya atau sebaliknya, memang sono-nya yang kaya sehingga mampu dan berhasil membayari tukang, kurir, petugas partai untuk mencalonkan diri.

Ojo-ojo, cita-cita Nasional merupakan cita-cita berdasarkan periode pemerintahan. Bukan akumulasi dan resultan dari cita-cita daerah.

Ojo-ojo, cita-cita Nasional versi Jokowi-JK adalah adalah mewujudkan penyelenggara negara yang sejahtera. Jika ada oknum penyelenggara negara, atau elit parpol tertangkap tangan oleh KPK, sebagai bukti mereka di luar barisan yang akan disejahterakan.

Om Uddin, ingin meluruskan cita-cita Nasional dengan atau melalui amandemen atau perubahan UUD 1945.

Ojo-ojo, saya tetap bingung apa bunyi rumusan, formulasi, jabaran, naskah akademik cita-cita Nasional, apalagi di era megatega ini. [HaeN]

Jumat, 25 Desember 2015

apa beda 10 parpol dengan 100 parpol versi Revolusi Mental

apa beda 10 parpol dengan 100 parpol versi Revolusi Mental

Konon, menurut kisah sejarah di periode megatega, sudah didapat formulasi takaran dan tatanan jumlah partai politik yang layak, ideal, proporsional, dinamis di Indonesia. Mulai dari banyaknya sila di Pancasila sampai banyaknya provinsi (jangan dibaca partai politik lokal) atau bahkan banyaknya kabupaten/kota.

Parpol peserta pesta demokrasi 2014 yang mendapat kursi di DPR RI, serta merta menyusun koalisi bernama KIH dan KMP. Mungkin kita sudah lupa kepanjangannya, apalagi mengetahui macam apa pula itu KIH maupun KMP.

Konon, menurut ahli tafsir sejarah, dibuktikan jika Negara mampu memberi subsidi kepada parpol di KIH dan KMP. Namun ironisnya, jika jumlah parpol di KIH dan KMP dibengkakkan menjadi berlipat, malah tetap tidak mampu memberi kontribusi nyata kepada bangsa dan negara. Atau apakah jika jabatan ketua umum parpol ada di tiap provinsi, apakah masih bisa, mampu, sanggup menghidupi dirinya sendiri.

Konon, dimungkinkan sejarah Orde Baru akan berulang dengan pola terbalik. Artinya, presiden bisa berganti orang tiap peruode, namun wakil rakyat bisa relatif tetap. Hanya pindah partai, pindah domisili, ganti nama, ganti penampilan. Itu baru indonesia-ku. Indonesia-mu mana? [HaeN].

Kamis, 24 Desember 2015

demokrasi versi pe-Revolusi Mental, suara partai vs suara rakyat

demokrasi versi pe-Revolusi Mental, suara partai vs suara rakyat

Negara Indonesia memang negara hukum, berdasarkan hukum. Tak ayal lagi, sering kali, acap kali terjadi “main hakim sendiri”,  siapa yang kuat, kaya dan kuasa selalu benar dan tidak bisa dipersalahkan. Penganut berhala Reformasi 3K (kuat, kaya dan kuasa) merasa kebal hukum. Bahkan aparat penegak hukum merasa tidak boleh ada yang menggurui apalagi dikenakan pasal hukum.

Walhasil, urusan kebenaran ditentukan oleh siapa yang pandai, ahli, banyak bicara. Argo pokrol bambu, silat lidah, rekayasa fakta semakin bertambah jika didukung olah kata yang menghiba-hiba, mengharu-rasa, atau yang berapi-api. Hukum Indonesia mengedepankan siapa yang pandai, ahli, banyak bicara dianggap manusia cerdas, bermartabat, berklas sekaligus menunjukkan kepeduliannya.

Jangan heran media masa berbayar, komersial dan pengejar peringkat, gemar menayangkan acara, atraksi, adegan berbasis dialog, diskusi, debat antar pelaku. Intinya, pemirsa, penonton, pendengar dibodohi hidup-hidup secara yuridis, legal, konstitusional.

Di periode megatega ini, seolah yang menentukan perjalanan nasib bangsa dan negara, yang mengendalikan masa depan generasi sekarang adalah suara partai. Rakyat hanya meng-amin-i.[HaeN]

Rabu, 23 Desember 2015

mewaspadai jebakan dan jeratan pasal pemilihan pimpinan DPR

mewaspadai jebakan dan jeratan pasal pemilihan pimpinan DPR

Saya memang bukan ahli hukum, tepatnya bukan sarjana hukum, akan tetapi bukan berarti buta hukum. Apa disiplin ilmu saya, koq berani berhukum ria.

Begini kisahnya, konon ketika oknum ketua DPR RI 2014-2019 Setya Novanto mengundurkan diri dari jabatan ketua DPR akibat tekanan publik, bukan melanggar pasal hukum maupun kode etik wakil rakyat/penyelenggara negara, berdampak DPR harus taat asas ayat (1) dan ayat (2), Pasal 84, UU 17/2014yang tenar tentang MD3 menyebutkan :

Pasal 84 terdiri dari 10 ayat UU 17/2014
(1)       Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR.
(2)       Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang bersifat tetap.

Sial, celaka, apesnya, UU 17/2014 dalam penjelasannya tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “satu paket yang berisifat tetap”. Yang tertera malah “uang paket”.

Bisa-bisa bisa kemungkinan memang bahasa hukum itu multitafsir, multiarti, multianggap, multitebak, multiduga, multikira, multisangka. Tidak ada multidakwa, yang ada didakwa dengan pasal berlapis.

Jadi, memakai orang jualan barang/jasa, kalau ketua undur diri sebelum jatuh tempo, otomatis wakil ketua naik jabatan. Menggantikan sebagai ketua. Kalau wakilnya ada 4 (empat) manusia, siapa yang berhak jadi ketua. Karena satu paket, justru kalau ketua undur diri, otomatis paket tidak berlaku. Harus dilakukan pemilhan Pimpinan DPR.

Apalagi Partai Golkar, entah kubu siapa, merasa berhak hidup-hidup tanpa berkeringat atas jatah ketua DPR. Bisa terjadi dosa politik bisa dipindahkan, dilimpahkan, ditransfer ke kader berikutnya. Malaikat pencatat dosa dibikin bingung. [HaeN]

Selasa, 22 Desember 2015

moral pe-Revolusi Mental, megakasus “papa minta saham” vs megatega “mbokde merasa berhak jatah ketua dpr”

moral pe-Revolusi Mental, megakasus “papa minta saham” vs megatega “mbokde merasa berhak jatah ketua dpr”

Pasal 84 terdiri dari 10 ayat UU 17/2014 yang tenar tentang MD3 menyebutkan :
(1)       Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR.
(2)       Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang bersifat tetap.
(3)       Bakal calon pimpinan DPR berasal dari fraksi dan disampaikan dalam rapat paripurna DPR.
(4)       Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan DPR.
(5)       Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.
(6)       Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak tercapai, pimpinan DPR dipilih dengan pemungutan suara dan yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pimpinan DPR dalam rapat paripurna DPR.
(7)       Selama pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, sidang DPR pertama kali untuk menetapkan pimpinan DPR dipimpin oleh pimpinan sementara DPR.
(8)       Pimpinan sementara DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berasal dari anggota DPR yang tertua dan termuda dari fraksi yang berbeda.
(9)       Pimpinan DPR ditetapkan dengan keputusan DPR.
(10)    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan DPR diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Konon, UU 17/2014 ditetapkan pada tanggal 5 Agustus 2014 sudah mengindikasikan akan ada atau tepatnya perlu Revolusi Mental para wakil rakyat dari tingkat kabupaten/kota hingga tingkat pusat serta dan/atau wakil daerah. Terkhusus buat jabatan pimpinan DPR. Sebagai pengganti UU 27/2009 ditetapkan pada tanggal 29 Agustus 2009, khusus tentang Pimpinan DPR, yaitu pada Pasal 82 ayat (2) : “Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR.”

Walhasil partai politik juara umum pada pesta demokrasi 2014, merasa hak ketua DPR terampas secara konstitusional. Inilah, kalau mau disebut, sebagai penyebab carut-marut syahwat politik Nusantara. Ditengarai dengan terjadikan tindak perombakan Kabinet Kerja. Namun, pihak yang digadang jadi ketua DPR tetap aman di tempat. Bukti otentik adanya politik transaksional, balas jasa, balas budi.

Megakasus “papa minta saham” menyebabkan Setya Novanto mengundurkan diri dari jabatan ketua DPR akibat tekanan publik, bukan melanggar pasal hukum maupun kode etik wakil rakyat/penyelenggara negara, berdampak harus taat asas ayat (2), Pasal 84, UU 17/2014. Pimpinan DPR harus dipilih ulang, bukan otomatis jatah partai Golkar. Apalagi terdapat dua kubu di internal PG.

Jadi rakyat Indonesia akan tetap terkuras emosinya melihat adegan atau dagelan politik pencarian pengganti ketua DPR. [HaeN]

Senin, 21 Desember 2015

melacak jejak dosa politik warisan 1999-2004

melacak jejak dosa politik warisan 1999-2004

Aroma irama politik Nusantara akibat kendali mafia mental, berakibat bandar politik merasa masih belum untung, modal belum kembali. Kendati didukung laman/website Revolusi Mental (siMen) yang buka tutup 24 jam.

Wong cilik diharapkan menyalurkan asipirasi dan inspirasinya liwat laman siMen. Bahkan rakyat bisa komunikasi langsung dengan sing baurekso negoro tanpa perlu tatap muka. Prinsip pemimpin yang bijak adalah bawahan menyesuaikan diri dengan irama atasan, bukan sebaliknya.

Pentolan Reformis yang malang melintang di panggung politik seolah melupakan tragedi 1999-2004. Bisa dikatakan periode tsb sebagai puncak kebrutalanan kawanan parpolis. Muncul jargon “sesama penjegal dilarang saling menjagal” serta “sesama penjagal dilarang saling menjegal”.

Terbukti, tahun kedua 2014-2019, saling jagal, jegal sudah menjadi agenda siMen. [HaeN]

Minggu, 20 Desember 2015

dampak berguru hanya kepada satu guru

dampak berguru hanya kepada satu guru

Alon-alon waton kelakon, memang falsafah wong Jawa. Masih bisa diterapkan di zaman sekarang. Apalagi salah satu sifat profil negatif manusia adalah serba terburu, tergesa, ingin hasil instan tanpa peras keringat (apalagi peras otak), ingin bersegera. Apapun bentuk kehidupan adalah proses. Merekayasa proses, sah-sah saja. Beda dengan tata niaga, justru ada pihak ingin memperpanjang proses. Contoh terang-benderang adalah kasus dwelling time pelabuhan laut.

Sifat kesusu, grasa-grusu, waton nafsu oleh masyarakat Jawa justru sebagai hal yang disirik (Jawa, artinya disingkiri, ditampik). Pada derajat, skala tertentu malah menjadi pantangan.

Apa korelasi, keterkaitan, ketersambungannya dengan judul?

Sabar. Orang menimba ilmu, di pendidikan formal memang anak didik dididik oleh satu guru saja. Namun, satu mata pelajaran diasuh satu guru. Satu mata kuliah dipegang satu dosen, terkadang dibantu beberapa asisten.

Diluar pendidikan formal, misal dan khususnya orang belajardan sekaligus mendalami ilmu agama. Diharapkan tidak berguru kepada satu guru saja. Artinya, tuntas dalam tataran tertentu, bisa menuju guru berikutnya. Atau mendalami satu ilmu, ke beberapa guru. Tentunya harus faham betul sumber ilmunya. Islam mewajibkan umatnya dalam menerapkan agama, dalam koridor keilmuan, jangan hanya mengacu satu ayat Al-Qur’an maupun sunah Rasul.

“Satu guru, satu ilmu” tidak boleh saling mengganggu. Kita temui di acara berbasis “ilmu sihir” atau hal-hal tidak berdasar nalar, logika, akal manusia. Untuk mempercepat proses menuju tujuan, mencapai target, mewujudkan cita-cita, tak urung di panggung politik terdapat istilah “kutu loncat”.

Apakah si kutu loncat ini masuk kategori sifat kesusu, grasa-grusu, waton nafsu atau sebaliknya yaitu tidak mau berguru hanya kepada satu guru? [HaeN]

Sabtu, 19 Desember 2015

keluh tanggap sopir angkot terhadap go-jek

keluh tanggap sopir angkot terhadap go-jek

Bukan niat hati untuk survei. Beberapa kali naik angkot beda jurusan, saya lebih pilih duduk di depan di samping pak kusir yang sibuk bekerja. Suatu kali, ada sopir yang menggerutu dengan logat/dialek etnis pribuminya : “disalip go-jek, ketemu go-jek lagi”.

Dari sekian keluhan sopir atau sengaja saya ajak bincang sambil duduk bersama, mereka tidak menyalahkan go-jek. Mereka faham karena sama-sama cari makan. Bahkan ada sopir angkot alih profesi menjadi sopir go-jek. Yang mereka keluhkan tentang izin maupun pengorganisasiannya. Bahkan ada yang berguman, “coba, kalau tak ada upeti, setoran ke pemerintah, go-jek bisa bubar. coba saja lihat nanti!”

Pengalaman sopir angkot, khususnya pemilik mobil, bahwa pemasukan dianggap 4 minggu per bulan. Sisanya untuk urusan administrasi jalanan. Setoran ke koperasi, jasa untuk pak Ogah pengatur lalu lintas sampai oknum yang ogah-ogah menerima tapi tetap mau menerima. Ngetempun, tidak gratis.

“Penumpang berkurang 40% pak”, jawab sopir angkot di jalur yang tidak bisa dimasuki bis. Anak sekolah, pegawai, berangkat pagi naik go-jek. Bahkan pulang bisa diantar sampai rumah, sekali lagi, naik go-jek. Bahkan calon penumpang di pinggir jalan sambil pegang HP, artinya tunggu jemputan go-jek.

Taksi bandara Soetta, tetap adem ayem dengan keberadaan dan kemanfaatan go-jek. Yang lain, ada yang merasakan penurunan omzet.

Ironisnya, ada beberapa perumahan yang memasang spanduk “go-jek kosong dilarang masuk !!!”. Artinya, para tukang ojek tidak mau bersaing. Tidak mau rezekinya direbuat orang lain, di depan mata. Tukang ojek tidak mau meningkatkan kualitas layanan, apalagi meningkatkan penampilan dan kinerja motornya.

Jadi, kalau ada kebijakan pemerintah yang melarang profesi dan jasa angkutan model go-jek, jangan diartikan “doa” coba+coba sopir angkot di atas, manjur dan terbukti. Jangan pula ditafsirkan bahwa pemerintah tidak pro-warga miskin, yang tanpa bantuan pemerintah berupaya, berusaha, berikhtiar menjemput rezeki dari-Nya. Jangan pula dipolitisir kalau Jokowi seolah ‘memihak’ go-jek sebagai tindak pencitraan. [HaeN].

Jumat, 18 Desember 2015

lingkaran setan ketahanan politik Nasional, kebijakan partai vs tekanan publik vs kehendak pemilih

lingkaran setan ketahanan politik Nasional, kebijakan partai vs tekanan publik vs kehendak pemilih

 Konon, kebijakan pemerintah menyangkut hajat orang banyak bisa berpengaruh langsung, nyata, terukur pada pasar global. Sebagai contoh langkah cerdas, heroik, pro-rakyat menteri perhubungan melarang transportasi online, serta merta menaikkan saham transportasi konvensional. Misal pada pukul 11.37 WIB jumat 18 Desember 2015, saham emiten PT. Blue Bird Tbk dan PT. Express Trasindo Utama Tbk naik, masing-masing sejauh 8,57 persen dan 19,27 persen. (sumber : Republika.co.id Jumat, 18 Desember 2015, 12:29 WIB)

Saya percaya bin yakin, saat membaca lebih lanjut bahwa Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Djoko Sasono dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (17/12) mengatakan pelarangan beroperasi tersebut tertuang dalam Surat Pemberitahuan Nomor UM.3012/1/21/Phb/2015 yang ditandatangani oleh Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, tertanggal 9 November 2015. Bahwasanya, wakil rakyat tidak berhak mengotak-atik Surat Pemberitahuan Menteri karena tak terkait dengan fungsi legislasi.

Artinya, bukan sebagai celah, peluang, pintu masuk oknum wakil rakyat untuk bertindak atas nama rakyat, minimal aksi pro-rakyat. Mereka lebih gemar siap-siap menjegal sekaligus menjagal, jika gagal melakukan teknik merebut bola, kaki lawan, tepatnya kaki eksekutif bisa jadi sasaran empuk. Sebagai contoh nyata dan hidup, ketika oknum ketua DPR, Setya Novanto mengundurkan diri tetap merasa tak bersalah akibat tekanan publik, bukan pasal hukum atau etika wakil rakyat. Walhasil, parpol Golkar merasa sebagai hak waris jabatan ketua DPR sudah siap sejak sebelum MKD ber-“musyawarah untuk mufakat”.

Sejak argo politiknya jalan, Jokowi-JK bukannya melaksanakan janji politik saat kampanye yang merasa menampung aspirasi dan kehendak pemilih. Jebakan dan jeratan kebijakan partai, menjadikan langkah Jokowi terkendala sekaligus terkendali. Miris jika menguping betapa hasil survei pihak asing atau organisasi non profit, terhadap beberapa negara, terlihat posisi Indonesia. Asal jangan mengacu pada hasil kepercayaan publik terhadap politisi yang dilakukan World Economic Forum (WEF) atau Forum Ekonomi Dunia.

Ketahanan politik Nasional tidak bisa ditakar, diukur, ditimbang. Kartu merah yang dikeluarkan oleh bandar politik bisa menentukan nasib pemain di gelanggang politik. Pemain bisa ditarik setiap waktu, sebelum jatuh tempo, sesuai selera bandar politik. Di pihak lain, kartu merah disamakan dengan kartu tilang, bisa diselesaikan dengan negoisasi, dengan asas tahu sama tahu. Apa kata dunia! [HaeN]

ironis, keunggulan daya saing Indonesia menjadi bumerang di MEA

ironis, keunggulan daya saing Indonesia menjadi bumerang di MEA

Jangankan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang legal, formal dan merupakan kesepakatan semua negara ASEAN. Mengelola yang ilegal, non konstitusional, disintegrasi, rakyat Indonesia sudah tangguh, tahan banting dan siap segala cuaca. Menghadapi serbuan tenaga kerja asing, pajak orang kaya eksodus dan parkir di Singapura sehingga perlu pengampunan pajak, sampai perampokan kekayaan alam di depan mata, di siang bolong, dilakukan secara menerus, sistematif dan masif seperti megakasus Freeport, pemerintah nampak adem ayem.

Indonesia santai menghadapi bonus demografi. Indonesia unggul dalam pertumbuhan angkatan kerja, menduduki peringkat kelima dari 61 negara yang disurvei sesuai  penelitian berjudul “IMD (Institute of Management Development) World Talent Report 2015”.

Indonesia bangga dengan sebutan paling dominan menyumbang angka penurunan peringkat tenaga terampil Indonesia di tahun 2015. Pada tahun 2014, Indonesia masih menduduki peringkat ke-19 untuk faktor ini. Di tahun 2015, peringkat kesiapan tenaga kerja Indonesia terjerembab ke peringkat 42.

Jika disimpulkan faktor kesiapan tenaga kerja Indonesia (tenaga berbakat dan terampil) dirasa masih kurang bersaing dari negara lain di tahun 2015, jangan was-was.  Indonesia menghadapi MEA siap menjadi tuan rumah serbuan tenaga kerja asing.

Bahkan alumni PTN yang diharapkan berbakti di sektor konstruksi infrastruktur, lebih pilih berjibaku di bank, tambang, perusahaan multi nasional. Pemerintah lebih menghargai alumni yang bangga memakai jaket parpol. Asal jangan terulang modus Orba yaitu anak bangsa yang kritis, vokal disekolahkan di luar negeri agar menjadi anak mama, anak yang manis, penurut dan disayang.[HaeN]


Kamis, 17 Desember 2015

dibalik makna “papa minta saham” vs rahasia jumlah tulang manusia dan ritual wudhu

dibalik makna “papa minta saham” vs rahasia jumlah tulang manusia dan ritual wudhu

Megakasus “papa minta pulsa” tidak masuk ranah politik dan juga bukan merupakan dosa politik. Kondisi ini justru sebagai titik balik atau pintu masuk bahwa bangsa dan rakyat Indonesia mendapat teguran halus dari Allah swt.

Negara adidaya yang menjajah alam Indonesia dengan mengangkat dan mengangkut gratis ke negaranya, mengeruk dan mengeduk isi kandungan bumi sampai lapis ke tujuh (seperti langit) hanya sekedar kompensasi ke segelintir pejabat sipil maupun terlebih militer. Memang rakyat disekitar lokasi dikaryakan, agar tetap terdiam seribu bahasa.

Jangan heran bin bengeong, jika REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  - Rabu, 16 Desember 2015, 13:28 WIB  -- Presiden RI Joko Widodo menyatakan kesenjangan sosial, khususnya antara si kaya dan si miskin yang terjadi saat ini akan menimbulkan radikalisme.

"Semua pihak agar memperhatikan semua masalah yang ada," kata Presiden Jokowi saat memberikan pengarahan kepada peserta Rapat Pimpinan Tentara Nasional Indonesia (Rapim TNI) Tahun Anggaran 2016 di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (16/12).

Ia menegaskan, tantangan utama kita adalah kemiskinan, ketimpangan, baik antarwilayah maupun kesenjangan antara kaya dan miskin. "Ini adalah pekerjaan rumah (PR) kita bersama. Distribusi kesejahteraan rakyat yang belum merata," kata dia.

Jokowi menunjuk data yang dikeluarkan World Bank soal GINI Ratio Indonesia yang mencapai 0,41. Artinya, ada 1 persen rumah tangga Indonesia menguasai 50 persen kekayaan bangsa. "Kita tidak antiorang kaya raya. Kita ingin rakyat kita kaya semua. Akan tetapi, kalau ada yang superkaya dan ada yang makan saja sulit, itu ada gap. Ini harus didekatkan oleh anggaran dan kebijakan lapangan. Kemiskinan dan kesenjangan sosial, berbahaya dan jadi bahan bakar konflik sosial, separatis, radikalisme, ekstrimisme, hingga terorisme," tutur Jokowi.

Ia mengakui kesenjangan yang ada tidak hanya terjadi di Indonesia. Di negara-negara lain juga terjadi dengan perbandingan yang berbeda-beda antara kaya dan miskin. Namun, masyarakat Indonesia harus menyadari hal itu dan harus diperhatikan bersama mengingat ancaman ISIS dan terorisme salah satunya karena adanya kesenjangan yang terjadi.

"Harus deteksi dini betapa bahayanya ini. Pendataan, pendampingan, dan langkah konkret, langkah terobosan deradikalisasi harus terus-menerus dilakukan," kata Jokowi.
Sumber : Antara

Sementara di pihak lain, ada yang kita lupakan bahwasanya (sumber : Bulletin 2 JIHAD PAGI  KAJIAN ILMIAH SEPUTAR WUDHU) :

Jumlah tulang manusia dewasa ada 206 ruas (Henry Netter, 1906).Akan tetapi secara embriologis pusat penulangan semasa kehidupan janin dalam kandungan itu ada 350-an pusat penulangan (Leslie Brained Arey, 1934), yang kemudian banyak pusat –pusat penulangan yang menyatu, membentuk tulang dewasa. Bilangan pusat penulangan itu dekat dengan bilangan hari dalam satu tahun. Dalam kajian penulis, didapatkan adanya rahasia matematis tersebut.

Ada dua premis (dari hadits dan atsar) : 

a. Apabila kamu ditimpa demam satu hari, kemudian kamu bersabar, kamu akan mendapat pahala seperti ibadah satu tahun (Atsar dari Ali bin Abi Thalib).
b. Tiap – tiap ruas tulang anak adam itu ada sedekahnya setiap harinya (HR Bukhari Muslim, termasuk Hadits Arbain).

Dari dua premis tersebut dapat dihubungkan, bahwa tubuh ini mengandung sejumlah tulang yang mendekati bilangan hari dalam setahun. Tulang – tulang penyusun anggota wudhu jumlahnya tertentu, dikalikan masing – masing dengan jumlah kali pembasuhan pada ritual wudhu, akan menghasilkan sama dengan bilangan keseluruhan jumlah tulang manusia.

Coba kita perhatikan jumlah tulang penyusun bagian – bagian tubuh yang dibasuh saat wudhu :

a. Lengan dan tangan : 30 buah
b. Tungkai dan kaki : 31 buah
c. Wajah : 12 buah
d. Rongga mulut dan hidung : 41 buah
e. Kepala : 12 buah


Bagian tubuh poin a – d dijumlahkan menghasilkan angka 114. Angka tersebut dikalikan 3 oleh karena pembasuhan waktu melakukan wudhu sebanyak 3 kali, menghasilkan angka 342. Poin e tidak dikalikan 3 karena memang hanya dibasuh 1 kali. Angka 342 dijumlahkan dengan 12, didapatkan angka 345, yakni sama dengan jumlah hari dalam 1 tahun hijiriyah, sekaligus sama dengan jumlah seluruh tulang manusia. [HaeN]

Rabu, 16 Desember 2015

ketika Puan Maharani menjadi pelopor anti mafia mental

ketika Puan Maharani menjadi pelopor anti mafia mental

Kaum perempuan Indonesia harus, bahkan wajib bangga, karena hanya Puan Maharani satu-satunya menteri di Kabinet Kerja 2014-2019 yang menolak jabatan karena hanya sebagai balas jasa. Politik transaksional pada pesta demokrasi 2014 berbuah manis buat Puan. Amanah sebagai Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, karena dianggap cakap, dianggap mampu menerima warisan kekuasaan, walau hanya sebatas menteri.

Asas politik dinasti, menjadikan politisi sipil kambuhan mengkarbit dan mengorbitkan keluarganya. Sudah menjalar dan mewabah sampai tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Artinya, banyak yang merasa bahwa negara atau daerah sebagai warisan perjuangan bapak moyangnya, kakek moyangnya. Jangan heran jika kawanan parpolis Nusantara bermental jongos, pelayan, budak politik.

Akhir kata, kiprah, kontribusi, kinerja Puan Maharani bisa di atas menteri perempuan lainnya. Bahkan di atas rata-rata pembantu presiden lainnya.  Karena mental Puan Maharani dibentuk di bawah bayang-bayang ibu dan kakeknya. Tinggal tangan tengadah. [HaeN]

kiamat kecil Indonesia sesuai jebakan skenario freeport, freemason, freesex

kiamat kecil Indonesia sesuai jebakan skenario freeport, freemason, freesex

Ketahanan politik Nusantara secara de facto dan de jure lebih ditentukan oleh kinerja para penyelenggara, khususnya oleh kurir parpol sampai kawanan parpolis yang sedang praktik atau kontrak politik selama lima tahun.

Ketahanan politik Nusantara, mau tak mau, secara historis masih terkontaminasi sekaligus trauma akibat pola asuh penjajah VOC dan Belanda ditambah besutan Jepang serta serpihan Sekutu.

Ketahanan politik Nusantara, secara sadar merupakan resultan dari akumulasi perpolitikan zaman Orde Baru dengan zaman Orde Lama. Ironis, wajah politik Nusantara pasca Reformasi, malah secara sadar menggulirkan dosa politik bawaan maupun turunan.

Ketahanan politik Nusantara seolah dibuktkian dengan menjadi ajang perseteruan antara KIH denganKMP, ataupun oknum partai yang tidak berani tampil. Ada kesan pelaku politik hanya menjalankan skenario dari pelaku profesi lainnya.

Ketahanan politik Nusantara walhasil selalu menunjukkan kalah selangkah dibanding politik makro. Bisa-bisa bisa tergantung petunjuk Sing Baurekso, Sing Mandegani. Ironisnya, kawanan parpolis dengan bangga hati dan percaya diri mengikuti pancingan, hasutan, umpan menuju jebakan mereka. Mengikuti irama tabuhan gendang mereka. [HaeN]

Selasa, 15 Desember 2015

musibah lumpur Sidoarjo vs petaka tambang Freeport

musibah lumpur Sidoarjo vs petaka tambang Freeport

Saking tahan bantingnya, sudah sampai babak belur, anak bangsa Nusantara tetap bersikukuh di lubang yang sama. Termehek-mehek, mengacungkan tinju ke udara sambil berteriak: “Merdeka! Merdeka! Merdeka!”. Maksudnya?

Sebagai penghibur hati sekaligus pembuta hati, atau penglipur rasa, seorang oknum negarawati dengan pongah berceramah, dengan suara lemah bak pengharu-rasa. Selalu membanggakan jasa besar bapak moyangnya. Tanpa belajar dari fakta sejarah, bahwa penjajahan di Indonesia masih berlanjut. Kekayaan alam masih menjadi primadona daya tarik bangsa dan negara lain untuk mengurasnya.

Di tanah Papua yang sengaja dibiarkan terbelakang, agar tak bisa protes melihat betapa tambang mereka dikeduk, dikeruk sampai lapis terdalam. Pemerintah hanya peduli pada sisi keamanan petugas penjarah yang sedang beroperasi. Opo tumon?

Secara politik, bencana luberan lumpur Sidoarjo, prov Jawa Timur, jangan diartikan sebagai kompensasi bahan galian tambang Freeport yang diboyong ke Amerika Serikat, diganti oleh Allah dengan lumpur.

Sebagai selingan “derita dalam berita”, muncul sosok negarawan yang berorasi dengan suara menghiba-hiba, merasa merasakan nasib rakyat yang selalu menjadi obyek pemerintah, dari satu periode ke periode berikutnya. Tanpa ragu dan malu, menyatakan diri siap jadi pemimpin bangsa dan negara jelang pesta demokrasi 2014. Menggagas ide restorasi, yang dirasanya obat mujarab menyembuhkan luka bangsa.

Peta politik Nusantara, dengan sengaja menghilangkan jejak musibah lumpur Sidoarjo, terlebih menhghapus langkah nyata petaka tambang Freeport. [HaeN]