Halaman

Jumat, 11 Desember 2015

fakta dan fenomena pilkada serentak rabu, 9 desember 2015

fakta dan fenomena pilkada serentak rabu, 9 desember 2015

Niat Pemerintah menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada hari rabu, 9 Desember 2015 di 9 Provinsi dan 260 Kabupaten/ Kota adalah untuk penghematan biaya. Kita tidak tahu persis, apakah biaya yang dikeluarkan sesuai rencana. Apakah harapan penghematan bisa terwujud atau bahkan sebaliknya, pemborosan uang negara/daerah.

Peta politik di tahun 2015 didominasi sajian gaduh politik yang merata dan tak ada tanda surut. Dualisme parpol walau tak menjalar sampai tingkat paling bawah, justru membuat iklim politik serba rawan. Pemerintah seolah melupakan biaya politik yang tidak bisa diprediksi, tidak bisa dilacak, dan apalagi tidak bisa dibutikan dan dipertangungjawabkan. Muncul fenomena mahar politik, barter politik, arisan politik sebagai ekses politik transaksional, politik bagi hasil. Pilkada serentak memang tidak seperti “memilih kucing dalam karung”. Namun kucing-kucing yang tampil tidak sesuai harapan rakyat.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sesuai jadwal memang belum resmi mengumumkan hasil pilkada, apalagi menetapkan pasangan terpilih. Mengacu hasil hitung cepat, pemberitaan media masa atau khususnya peristiwa di daerah yang menyelenggarakan pilkadaserentak, ada 3 (tiga) fakta dan fenomena tentang dinamika pilkada.

Pertama, sudah ada parpol yang menilai tingkat partisipasi pemilih dianggap rendah. Padahal, justru biang keroknya adalah ulah parpol yang diperiode 2014-20189 sibuk dan aktif sebagai bagian penyelenggara negara. Sikap masyarakat, khususnya yang sudah mempunyai hak pilih, kurang diantisipasi. Kinerja parpol di legislatif, eksekutif, dan yudikatif hanya unggul di atas kertas, terlebih dibalut dengan jargon Revolusi Mental. Kenyataan di lapangan masih banyak lubang besar yang harus ditambal. Masih banyak pekerjaan rumah yang terabaikan.

Kedua, ada pihak yang bangga karena ada calon dari kaum Hawa yang sementara dapat suara paling banyak. Kondisi ini tidak dianggap atau disikapi sebagai fenomena bahwa kaum Adam tidak becus mengurus dapur negara. Kasus “papa minta pulsa” bukannya tak berdampak nyata pada latar belakang pilihan.  Tingkah laku, tindak tanduk serta sepak terjang kawanan parpolis sudah diambang batas kesabaran rakyat. Presiden Jokowi saja bisa marah, apalagi rakyat. Rakyat memilih calon dari kaum Hawa bisa juga sebagai sindiran terhadap mental penyelenggara negara yang memang perlu Revolusi Mental.

Ketiga, walau tidak mewakili, namun terpilihnya beberapa artis dengan perolehan suara sementara yang unggul, menunjukkan orientasi pemilih yang terkontaminasi gaya hidup yang serba gemerlap. Merasa dirinya terwakili jika memilih artis sebagai komandan daerahnya. Merasa dirinya sebagai bagian dari dunia artis. Walau mungkin cita-cita menjadi artis belum terwujud atau tidak kesampaian, namun sudah merasa gagah hanya sekedar sebagai fans, penggemar atau pengidola. Mereka tidak berkaca dan belajar sejarah betapa  artis, selebritis maupun tukang bikin ketawa yang masuk jajaran penyelenggara negara. Mengurus negara dengan manajemen akting panggung, bergaya didepan kamera, gaya tindak dan ucap sesuai skenario.

Memang “tak ada gading yang tak retak”. Namun rakyat berharap bisa mempunyai gubernur, bupati/walikota yang retaknya masih masuk kategori retak rambut, bukan retak buaya. Apalagi sebagai gading yang seharusnya dimusnahkan. Karena tidak mempunyai nilai jual dan tidak bisa diharapkan kiprah, kontribusi, dan kinerjanya. Atau bisa-bisa menambah beban politik di tingkat daerah. Sehingga lengkap sudahlah penderitaan rakyat. Rakyat diposisikan dan dianggap sebagai obyek kebijakan politik, mulai dari urusan negara sampai urusan daerah. Konflik politik nasional bisa mewabah, merata dan menjalar sampai tingkat desa/kelurahan.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar