musibah lumpur Sidoarjo vs petaka
tambang Freeport
Saking tahan bantingnya,
sudah sampai babak belur, anak bangsa Nusantara tetap bersikukuh di lubang yang
sama. Termehek-mehek, mengacungkan tinju ke udara sambil berteriak: “Merdeka!
Merdeka! Merdeka!”. Maksudnya?
Sebagai penghibur hati
sekaligus pembuta hati, atau penglipur rasa, seorang oknum negarawati dengan
pongah berceramah, dengan suara lemah bak pengharu-rasa. Selalu membanggakan
jasa besar bapak moyangnya. Tanpa belajar dari fakta sejarah, bahwa penjajahan
di Indonesia masih berlanjut. Kekayaan alam masih menjadi primadona daya tarik
bangsa dan negara lain untuk mengurasnya.
Di tanah Papua yang sengaja
dibiarkan terbelakang, agar tak bisa protes melihat betapa tambang mereka
dikeduk, dikeruk sampai lapis terdalam. Pemerintah hanya peduli pada sisi
keamanan petugas penjarah yang sedang beroperasi. Opo tumon?
Secara politik, bencana
luberan lumpur Sidoarjo, prov Jawa Timur, jangan diartikan sebagai kompensasi
bahan galian tambang Freeport yang diboyong ke Amerika Serikat, diganti oleh
Allah dengan lumpur.
Sebagai selingan “derita
dalam berita”, muncul sosok negarawan yang berorasi dengan suara menghiba-hiba,
merasa merasakan nasib rakyat yang selalu menjadi obyek pemerintah, dari satu
periode ke periode berikutnya. Tanpa ragu dan malu, menyatakan diri siap jadi
pemimpin bangsa dan negara jelang pesta demokrasi 2014. Menggagas ide
restorasi, yang dirasanya obat mujarab menyembuhkan luka bangsa.
Peta politik Nusantara,
dengan sengaja menghilangkan jejak musibah lumpur Sidoarjo, terlebih menhghapus
langkah nyata petaka tambang Freeport. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar