Halaman

Rabu, 23 Desember 2015

mewaspadai jebakan dan jeratan pasal pemilihan pimpinan DPR

mewaspadai jebakan dan jeratan pasal pemilihan pimpinan DPR

Saya memang bukan ahli hukum, tepatnya bukan sarjana hukum, akan tetapi bukan berarti buta hukum. Apa disiplin ilmu saya, koq berani berhukum ria.

Begini kisahnya, konon ketika oknum ketua DPR RI 2014-2019 Setya Novanto mengundurkan diri dari jabatan ketua DPR akibat tekanan publik, bukan melanggar pasal hukum maupun kode etik wakil rakyat/penyelenggara negara, berdampak DPR harus taat asas ayat (1) dan ayat (2), Pasal 84, UU 17/2014yang tenar tentang MD3 menyebutkan :

Pasal 84 terdiri dari 10 ayat UU 17/2014
(1)       Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR.
(2)       Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang bersifat tetap.

Sial, celaka, apesnya, UU 17/2014 dalam penjelasannya tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “satu paket yang berisifat tetap”. Yang tertera malah “uang paket”.

Bisa-bisa bisa kemungkinan memang bahasa hukum itu multitafsir, multiarti, multianggap, multitebak, multiduga, multikira, multisangka. Tidak ada multidakwa, yang ada didakwa dengan pasal berlapis.

Jadi, memakai orang jualan barang/jasa, kalau ketua undur diri sebelum jatuh tempo, otomatis wakil ketua naik jabatan. Menggantikan sebagai ketua. Kalau wakilnya ada 4 (empat) manusia, siapa yang berhak jadi ketua. Karena satu paket, justru kalau ketua undur diri, otomatis paket tidak berlaku. Harus dilakukan pemilhan Pimpinan DPR.

Apalagi Partai Golkar, entah kubu siapa, merasa berhak hidup-hidup tanpa berkeringat atas jatah ketua DPR. Bisa terjadi dosa politik bisa dipindahkan, dilimpahkan, ditransfer ke kader berikutnya. Malaikat pencatat dosa dibikin bingung. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar