mewaspadai jebakan dan jeratan pasal
pemilihan pimpinan DPR
Saya memang bukan ahli
hukum, tepatnya bukan sarjana hukum, akan tetapi bukan berarti buta hukum. Apa disiplin ilmu saya, koq berani berhukum ria.
Begini
kisahnya, konon ketika oknum ketua DPR RI 2014-2019 Setya Novanto mengundurkan
diri dari jabatan ketua DPR akibat tekanan publik, bukan melanggar pasal hukum
maupun kode etik wakil rakyat/penyelenggara negara, berdampak DPR harus taat
asas ayat (1) dan ayat (2), Pasal 84, UU 17/2014yang
tenar tentang MD3 menyebutkan :
Pasal 84
terdiri dari 10 ayat UU 17/2014
(1)
Pimpinan
DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang
dipilih dari dan oleh anggota DPR.
(2)
Pimpinan
DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang bersifat tetap.
Sial, celaka, apesnya, UU 17/2014 dalam penjelasannya
tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “satu paket yang berisifat tetap”.
Yang tertera malah “uang
paket”.
Bisa-bisa bisa kemungkinan memang bahasa hukum itu
multitafsir, multiarti, multianggap, multitebak, multiduga, multikira,
multisangka. Tidak ada multidakwa, yang ada didakwa dengan pasal berlapis.
Jadi, memakai orang jualan barang/jasa, kalau ketua undur
diri sebelum jatuh tempo, otomatis wakil ketua naik jabatan. Menggantikan
sebagai ketua. Kalau wakilnya ada 4 (empat) manusia, siapa yang berhak jadi
ketua. Karena satu paket, justru kalau ketua undur diri, otomatis paket tidak berlaku.
Harus dilakukan pemilhan Pimpinan DPR.
Apalagi Partai Golkar, entah kubu siapa, merasa berhak
hidup-hidup tanpa berkeringat atas jatah ketua DPR. Bisa terjadi dosa politik
bisa dipindahkan, dilimpahkan, ditransfer ke kader berikutnya. Malaikat
pencatat dosa dibikin bingung. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar