Halaman

Kamis, 24 Desember 2015

demokrasi versi pe-Revolusi Mental, suara partai vs suara rakyat

demokrasi versi pe-Revolusi Mental, suara partai vs suara rakyat

Negara Indonesia memang negara hukum, berdasarkan hukum. Tak ayal lagi, sering kali, acap kali terjadi “main hakim sendiri”,  siapa yang kuat, kaya dan kuasa selalu benar dan tidak bisa dipersalahkan. Penganut berhala Reformasi 3K (kuat, kaya dan kuasa) merasa kebal hukum. Bahkan aparat penegak hukum merasa tidak boleh ada yang menggurui apalagi dikenakan pasal hukum.

Walhasil, urusan kebenaran ditentukan oleh siapa yang pandai, ahli, banyak bicara. Argo pokrol bambu, silat lidah, rekayasa fakta semakin bertambah jika didukung olah kata yang menghiba-hiba, mengharu-rasa, atau yang berapi-api. Hukum Indonesia mengedepankan siapa yang pandai, ahli, banyak bicara dianggap manusia cerdas, bermartabat, berklas sekaligus menunjukkan kepeduliannya.

Jangan heran media masa berbayar, komersial dan pengejar peringkat, gemar menayangkan acara, atraksi, adegan berbasis dialog, diskusi, debat antar pelaku. Intinya, pemirsa, penonton, pendengar dibodohi hidup-hidup secara yuridis, legal, konstitusional.

Di periode megatega ini, seolah yang menentukan perjalanan nasib bangsa dan negara, yang mengendalikan masa depan generasi sekarang adalah suara partai. Rakyat hanya meng-amin-i.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar