demokrasi
versi pe-Revolusi Mental, suara partai vs suara rakyat
Negara
Indonesia memang negara hukum, berdasarkan hukum. Tak ayal lagi, sering kali,
acap kali terjadi “main hakim sendiri”, siapa yang kuat, kaya dan kuasa selalu benar
dan tidak bisa dipersalahkan. Penganut berhala Reformasi 3K (kuat, kaya dan
kuasa) merasa kebal hukum. Bahkan aparat penegak hukum merasa tidak boleh ada
yang menggurui apalagi dikenakan pasal hukum.
Walhasil,
urusan kebenaran ditentukan oleh siapa yang pandai, ahli, banyak bicara. Argo
pokrol bambu, silat lidah, rekayasa fakta semakin bertambah jika didukung olah
kata yang menghiba-hiba, mengharu-rasa, atau yang berapi-api. Hukum Indonesia
mengedepankan siapa yang pandai, ahli, banyak bicara dianggap manusia cerdas,
bermartabat, berklas sekaligus menunjukkan kepeduliannya.
Jangan heran
media masa berbayar, komersial dan pengejar peringkat, gemar menayangkan acara,
atraksi, adegan berbasis dialog, diskusi, debat antar pelaku. Intinya, pemirsa,
penonton, pendengar dibodohi hidup-hidup secara yuridis, legal, konstitusional.
Di periode
megatega ini, seolah yang menentukan perjalanan nasib bangsa dan negara, yang
mengendalikan masa depan generasi sekarang adalah suara partai. Rakyat hanya
meng-amin-i.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar