moral pe-revolusi mental Nusantara, mengatasnamakan
rakyat vs mengatasnamakan presiden/wakil presiden
Bagian akhir dari naskah
Proklamasi 17 Agustus 1945, di tulisan tangan terdapat kata “Wakil2
bangsa Indonesia”, kalau naskah hasil ketikan berupa kata “Atas
nama bangsa Indonesia”.
Entah iblis, setan, jin dari
golongan mana yang merasuki jiwa oknum abak bangsa, yang dengan gagahnya
mengatakan “atas nama rakyat” atau mengatasnamakan rakyat jika melakukan
tindakan yang dikemas secara heroik, merakyat dan pacasila banget.
Entah apa yang dibisikkan,
digosipkan setan, sehingga orasinya dengan gaya menghiba-hiba, mengharu-rasa,
seolah dirinya hanya dirinyalah yang memprihatinkan kondisi rakyat, peduli
nasib rakyat kecil, peka derita rakyat melarat, tanggap bencana yang menimpa rakyat
jelata. Seolah-olah dia berjuang, berkurban untuk kepentingan rakyat. Meng-adil
makmur-kan masyarakat.
Entah konsep apa yang
digagas, demi kepentingan nasional (baca: mulai dari kepentingan diri sendiri)
dengan enteng, ringan tangan, tanpa pikir panjang memposisikan rakyat sebagai
obyek. Nama rakyat sebagai bahan dasar, bahan baku jualan konsep politik.
Terutama dan utama pada saat kampanye pesta demokrasi, pilkada maupun
kesempatan memanfaatkan momentum peringatan bersejarah.
Entah karena kehabisan akal,
kelebihan akal, kekurangan akal, sehingga oknum komandan wakil rakyat
Nusantara, mengambil tindakan dengan mengatasanamakan presiden/wakil presiden.
Reaksi presiden dengan menyitir dan mengubah kalimat menjadi “papa minta pulsa”.
Sang wapres, plonga-plongo kehabisan kata.
Entah apakah semua ini
sebagai tanda zaman, bahwa “wis édan tenan, tetep ora
keduman”. Memang politik
menghalalkan segala pasal.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar