Halaman

Senin, 07 Desember 2015

moral pe-revolusi mental Nusantara, mengatasnamakan rakyat vs mengatasnamakan presiden/wakil presiden

moral pe-revolusi mental Nusantara, mengatasnamakan rakyat vs mengatasnamakan presiden/wakil presiden

Bagian akhir dari naskah Proklamasi 17 Agustus 1945, di tulisan tangan terdapat kata “Wakil2 bangsa Indonesia”, kalau naskah hasil ketikan berupa kata “Atas nama bangsa Indonesia”.

Entah iblis, setan, jin dari golongan mana yang merasuki jiwa oknum abak bangsa, yang dengan gagahnya mengatakan “atas nama rakyat” atau mengatasnamakan rakyat jika melakukan tindakan yang dikemas secara heroik, merakyat dan pacasila banget.

Entah apa yang dibisikkan, digosipkan setan, sehingga orasinya dengan gaya menghiba-hiba, mengharu-rasa, seolah dirinya hanya dirinyalah yang memprihatinkan kondisi rakyat, peduli nasib rakyat kecil, peka derita rakyat melarat, tanggap bencana yang menimpa rakyat jelata. Seolah-olah dia berjuang, berkurban untuk kepentingan rakyat. Meng-adil makmur-kan masyarakat.

Entah konsep apa yang digagas, demi kepentingan nasional (baca: mulai dari kepentingan diri sendiri) dengan enteng, ringan tangan, tanpa pikir panjang memposisikan rakyat sebagai obyek. Nama rakyat sebagai bahan dasar, bahan baku jualan konsep politik. Terutama dan utama pada saat kampanye pesta demokrasi, pilkada maupun kesempatan memanfaatkan momentum peringatan bersejarah.

Entah karena kehabisan akal, kelebihan akal, kekurangan akal, sehingga oknum komandan wakil rakyat Nusantara, mengambil tindakan dengan mengatasanamakan presiden/wakil presiden. Reaksi presiden dengan menyitir dan mengubah kalimat menjadi “papa minta pulsa”. Sang wapres, plonga-plongo kehabisan kata.

Entah apakah semua ini sebagai tanda zaman, bahwa “wis édan tenan, tetep ora keduman”. Memang politik menghalalkan segala pasal.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar