moral pe-Revolusi Mental, megakasus “papa minta saham” vs
megatega “mbokde merasa berhak jatah ketua dpr”
Pasal 84 terdiri dari 10
ayat UU 17/2014 yang tenar tentang MD3 menyebutkan :
(1)
Pimpinan
DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang
dipilih dari dan oleh anggota DPR.
(2)
Pimpinan
DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang bersifat tetap.
(3)
Bakal
calon pimpinan DPR berasal dari fraksi dan disampaikan dalam rapat paripurna
DPR.
(4)
Setiap
fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mengajukan 1 (satu) orang bakal
calon pimpinan DPR.
(5)
Pimpinan
DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih secara musyawarah untuk mufakat
dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.
(6)
Dalam
hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak tercapai,
pimpinan DPR dipilih dengan pemungutan suara dan yang memperoleh suara
terbanyak ditetapkan sebagai pimpinan DPR dalam rapat paripurna DPR.
(7)
Selama
pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, sidang DPR
pertama kali untuk menetapkan pimpinan DPR dipimpin oleh pimpinan sementara
DPR.
(8)
Pimpinan
sementara DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berasal dari anggota DPR yang
tertua dan termuda dari fraksi yang berbeda.
(9)
Pimpinan
DPR ditetapkan dengan keputusan DPR.
(10)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan DPR diatur dalam peraturan
DPR tentang tata tertib.
Konon, UU 17/2014 ditetapkan pada tanggal 5 Agustus 2014 sudah
mengindikasikan akan ada atau tepatnya perlu Revolusi Mental para wakil rakyat dari
tingkat kabupaten/kota hingga tingkat pusat serta dan/atau wakil daerah.
Terkhusus buat jabatan pimpinan DPR. Sebagai pengganti UU 27/2009 ditetapkan
pada tanggal 29 Agustus 2009, khusus tentang Pimpinan DPR, yaitu pada Pasal 82
ayat (2) : “Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik
yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR.”
Walhasil partai politik juara umum pada pesta demokrasi 2014,
merasa hak ketua DPR terampas secara konstitusional. Inilah, kalau mau disebut,
sebagai penyebab carut-marut syahwat politik Nusantara. Ditengarai dengan
terjadikan tindak perombakan Kabinet Kerja. Namun, pihak yang digadang jadi
ketua DPR tetap aman di tempat. Bukti otentik adanya politik transaksional,
balas jasa, balas budi.
Megakasus “papa minta saham” menyebabkan Setya Novanto
mengundurkan diri dari jabatan ketua DPR akibat tekanan publik, bukan melanggar
pasal hukum maupun kode etik wakil rakyat/penyelenggara negara, berdampak harus
taat asas ayat (2), Pasal 84, UU 17/2014. Pimpinan DPR harus dipilih ulang,
bukan otomatis jatah partai Golkar. Apalagi terdapat dua kubu di internal PG.
Jadi rakyat Indonesia akan tetap terkuras emosinya melihat
adegan atau dagelan politik pencarian pengganti ketua DPR. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar