Halaman

Selasa, 22 Desember 2015

moral pe-Revolusi Mental, megakasus “papa minta saham” vs megatega “mbokde merasa berhak jatah ketua dpr”

moral pe-Revolusi Mental, megakasus “papa minta saham” vs megatega “mbokde merasa berhak jatah ketua dpr”

Pasal 84 terdiri dari 10 ayat UU 17/2014 yang tenar tentang MD3 menyebutkan :
(1)       Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR.
(2)       Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang bersifat tetap.
(3)       Bakal calon pimpinan DPR berasal dari fraksi dan disampaikan dalam rapat paripurna DPR.
(4)       Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan DPR.
(5)       Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.
(6)       Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak tercapai, pimpinan DPR dipilih dengan pemungutan suara dan yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pimpinan DPR dalam rapat paripurna DPR.
(7)       Selama pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, sidang DPR pertama kali untuk menetapkan pimpinan DPR dipimpin oleh pimpinan sementara DPR.
(8)       Pimpinan sementara DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berasal dari anggota DPR yang tertua dan termuda dari fraksi yang berbeda.
(9)       Pimpinan DPR ditetapkan dengan keputusan DPR.
(10)    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan DPR diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Konon, UU 17/2014 ditetapkan pada tanggal 5 Agustus 2014 sudah mengindikasikan akan ada atau tepatnya perlu Revolusi Mental para wakil rakyat dari tingkat kabupaten/kota hingga tingkat pusat serta dan/atau wakil daerah. Terkhusus buat jabatan pimpinan DPR. Sebagai pengganti UU 27/2009 ditetapkan pada tanggal 29 Agustus 2009, khusus tentang Pimpinan DPR, yaitu pada Pasal 82 ayat (2) : “Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR.”

Walhasil partai politik juara umum pada pesta demokrasi 2014, merasa hak ketua DPR terampas secara konstitusional. Inilah, kalau mau disebut, sebagai penyebab carut-marut syahwat politik Nusantara. Ditengarai dengan terjadikan tindak perombakan Kabinet Kerja. Namun, pihak yang digadang jadi ketua DPR tetap aman di tempat. Bukti otentik adanya politik transaksional, balas jasa, balas budi.

Megakasus “papa minta saham” menyebabkan Setya Novanto mengundurkan diri dari jabatan ketua DPR akibat tekanan publik, bukan melanggar pasal hukum maupun kode etik wakil rakyat/penyelenggara negara, berdampak harus taat asas ayat (2), Pasal 84, UU 17/2014. Pimpinan DPR harus dipilih ulang, bukan otomatis jatah partai Golkar. Apalagi terdapat dua kubu di internal PG.

Jadi rakyat Indonesia akan tetap terkuras emosinya melihat adegan atau dagelan politik pencarian pengganti ketua DPR. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar