Halaman

Selasa, 29 Desember 2015

nujum Revolusi Mental 2016, demokrasi tiren vs demokrasi gelonggongan

nujum Revolusi Mental 2016, demokrasi tiren vs demokrasi gelonggongan

Prestasi petenis prof, bisa naik turun. Banyaknya turnamen menyebabkan ritme latihan teruji diberbagai pertandingan. Faktor usai bukan sebagai ukuran kapan harus gantung raket. Mereka tak terlalu ambisi kejar gelar. Istilah absen, menjadi penonton, memberi semangat temannya main, bukan hal yang tabu. Tidak akan menurunkan gengsi. Mereka, petenis unggulan, sadar bisa terjegal, tumbang, tersungkur di tangan pemain baru, pemain pendatang. Bahkan seolah tak mampu memberi perlawanan yang berarti. Jika mempunyai musuh bebuyutan, tak lantas harus saling libas. Olahraga adalah sport, sehingga terwujud nilai sportifitas. Bukan tanpa sebab, karakter penonton tanding tenis beda dengan karakter penonton sepak bola.

Apa bedanya dengan pemain politik di panggung politik Nusantara. Politik memang menjanjikan. Lahir sebutan bak tata niaga politik, mulai dari industri politik sampai syahwat politik.

Pemain politik sangat beragam. Pemain karbitan, orbitan, bawaan orang tua, kader jenggot, pemain kambuhan mendominasi jiwa dan daya juang anak bangsa. Tak ada batas usai untuk “gantung raket”. Apalagi kalau sudah merasakan nikmat dan guruhnya bertengger di singgasana, nangkring dan nongkrong ditakhta, menginap gratis di istana negara. Semakin besar kepala dengan mahkota.

Memang ada nilai sportifitas di panggung politik!

Joko Widodo, serta joko-joko lainnya, faham bebasan Jawa : “surga mrucut, neraka kebacut”. Beda dengan mbah JK, punya semboyan hidup : ”siap cepat, main sikat”. Salah benar jangan dipikirkan.

Jangan heran dan ojo gumunan, di tahun 2016, masih eranya megatega, laga dan lagak petarung politik yang berani umbar suara, tepuk dada, adu nyali karena mereka memang penganut asas demokrasi tiren (mati kemarin) vs demokrasi gelonggongan. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar