nujum Revolusi Mental 2016, demokrasi tiren vs demokrasi
gelonggongan
Prestasi petenis prof, bisa naik turun.
Banyaknya turnamen menyebabkan ritme latihan teruji diberbagai pertandingan.
Faktor usai bukan sebagai ukuran kapan harus gantung raket. Mereka tak terlalu
ambisi kejar gelar. Istilah absen, menjadi penonton, memberi semangat temannya
main, bukan hal yang tabu. Tidak akan menurunkan gengsi. Mereka, petenis
unggulan, sadar bisa terjegal, tumbang, tersungkur di tangan pemain baru,
pemain pendatang. Bahkan seolah tak mampu memberi perlawanan yang berarti. Jika
mempunyai musuh bebuyutan, tak lantas harus saling libas. Olahraga adalah
sport, sehingga terwujud nilai sportifitas. Bukan tanpa sebab, karakter
penonton tanding tenis beda dengan karakter penonton sepak bola.
Apa bedanya dengan pemain politik di panggung
politik Nusantara. Politik memang menjanjikan. Lahir sebutan bak tata niaga
politik, mulai dari industri politik sampai syahwat politik.
Pemain politik sangat beragam. Pemain
karbitan, orbitan, bawaan orang tua, kader jenggot, pemain kambuhan mendominasi
jiwa dan daya juang anak bangsa. Tak ada batas usai untuk “gantung raket”.
Apalagi kalau sudah merasakan nikmat dan guruhnya bertengger di singgasana, nangkring
dan nongkrong ditakhta, menginap gratis di istana negara. Semakin besar kepala
dengan mahkota.
Memang ada nilai sportifitas di panggung
politik!
Joko Widodo, serta joko-joko lainnya, faham
bebasan Jawa : “surga
mrucut, neraka kebacut”. Beda dengan mbah JK, punya semboyan hidup
: ”siap cepat, main sikat”. Salah benar jangan dipikirkan.
Jangan heran dan ojo gumunan, di tahun 2016, masih
eranya megatega, laga dan lagak petarung politik yang berani umbar suara, tepuk
dada, adu nyali karena mereka memang penganut asas demokrasi tiren (mati
kemarin) vs demokrasi gelonggongan. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar