tindakan kebencian
penyelenggara negara, menistakan diri sendiri
Sejarah mencatat, apa pun alasannya jika Handoyo
Sudrajad mundur dari jabatan Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) maupun Sigit
Priadi Pramudito mundur
dari jabatan Direktur Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan masih kalah keren,
kalah gengsi, kalah pamor, kalah tenar, kalah gaya, kalah gaul, kalah angin
dibanding Joko Widodo
yang mundur dari jabatan walikota Solo, provinsi Jawa Tengah dan turun di
tengah jalan saat mengemban amanah sebagai gubernur DKI Jakarta. Juga tak bisa
dibandingkan dengan terpaksa mundurnya Patrice Rio
Capella dari jabatan
bergengsi dan prestisius yaitu Sekjen Partai Nasdem. Juga tak bisa dibandingkan
dengan kawanan Kabinet Kerja atau tepatnya beberapa menteri dari partai politik
yang dicopot jabatannya dan diganti
dengan kader partai yang lebih layak dan lebih patut oleh presiden Jokowi.
Memang tidak ada pasal yang menjelaskan
secara jelas, tindakan apa jika dilakukan oleh seorang penyelenggara negara,
secara otomatis ybs layak dan patut mengundurkan diri. Apakah melanggar hukum,
melakukan perbuatan yang dianggap tidak sesuai etika (etika politik), atau masuk
ranah inkonstitusional, karena dilakukan oleh oknum kebal hukum, maka proses
hukum hanya sekedar formalitas, seremonial.
Jika rakyat bersuara dengan bahasa
lisan atau dengan bahasa tulis sebagai refleksi dari apa yang dilihatnya, sebagai
wujud reaksi dari apa yang ada di depan matanya, sebagai bentuk kepedulian,
kepekaan dan daya tanggap atas yang terjadi didalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, dapat dikenakan sanksi Ujaran Kebencian (hate
speech).
Jika penyelenggara negara
melakukan tindakan yang mengundang kebencian, bahkan dari kawan seiringnya, malah
menjadi konsumsi media masa. Presiden beraksi dianggap sebagai dinamika
politik. Contoh nyata dan masih hidup adalah Setya Novanto. Jokowi menanggapi
kasus atau tindakan Setya Novanto yang juga Ketua DPR-RI dengan menyitir sms
dan diplesetkan menjadi “papa minta saham”.
Jika raport semester pertama
maupun tahun pertama periode 2014-2019 masuk kategori keropos dari dalam, maka
kasus luar negeri dan dalam negeri Setya Novanto akan menjurus pada kondisi mrotoli
dan mreteli sedikit demi sedikit. Berjatuhan akibat ulah diri sendiri. Rontok
sebelum jatuh tempo akibat akumulasi gaya politik “teganya, teganya, teganya”. Asal
jangan “gugur” satu penyelenggara negara, sejuta pengganti telah antri dan
menanti.
Jokowi faham betul akan makna peribahasa “becik ketitik, olo ketoro”.
Berlaku di kawanan parpolis KIH maupun kawanan parpolis KMP, yaitu yang jahat
akan terlihat di awal cerita, di babak pertama sampai yang jahat akan terungkap
di akhir cerita, di babak penutup atau bahkan setelah ganti periode.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar