Halaman

Selasa, 08 Desember 2015

tindakan kebencian penyelenggara negara, menistakan diri sendiri

tindakan kebencian penyelenggara negara, menistakan diri sendiri

Sejarah mencatat, apa pun alasannya jika Handoyo Sudrajad mundur dari jabatan Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) maupun Sigit Priadi Pramudito mundur dari jabatan Direktur Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan masih kalah keren, kalah gengsi, kalah pamor, kalah tenar, kalah gaya, kalah gaul, kalah angin dibanding Joko Widodo yang mundur dari jabatan walikota Solo, provinsi Jawa Tengah dan turun di tengah jalan saat mengemban amanah sebagai gubernur DKI Jakarta. Juga tak bisa dibandingkan dengan terpaksa mundurnya Patrice Rio Capella dari jabatan bergengsi dan prestisius yaitu Sekjen Partai Nasdem. Juga tak bisa dibandingkan dengan kawanan Kabinet Kerja atau tepatnya beberapa menteri dari partai politik yang dicopot  jabatannya dan diganti dengan kader partai yang lebih layak dan lebih patut oleh presiden Jokowi.

Memang tidak ada pasal yang menjelaskan secara jelas, tindakan apa jika dilakukan oleh seorang penyelenggara negara, secara otomatis ybs layak dan patut mengundurkan diri. Apakah melanggar hukum, melakukan perbuatan yang dianggap tidak sesuai etika (etika politik), atau masuk ranah inkonstitusional, karena dilakukan oleh oknum kebal hukum, maka proses hukum hanya sekedar formalitas, seremonial.

Jika rakyat bersuara dengan bahasa lisan atau dengan bahasa tulis sebagai refleksi dari apa yang dilihatnya, sebagai wujud reaksi dari apa yang ada di depan matanya, sebagai bentuk kepedulian, kepekaan dan daya tanggap atas yang terjadi didalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dapat dikenakan sanksi Ujaran Kebencian (hate speech).

Jika penyelenggara negara melakukan tindakan yang mengundang kebencian, bahkan dari kawan seiringnya, malah menjadi konsumsi media masa. Presiden beraksi dianggap sebagai dinamika politik. Contoh nyata dan masih hidup adalah Setya Novanto. Jokowi menanggapi kasus atau tindakan Setya Novanto yang juga Ketua DPR-RI dengan menyitir sms dan diplesetkan menjadi “papa minta saham”.

Jika raport semester pertama maupun tahun pertama periode 2014-2019 masuk kategori keropos dari dalam, maka kasus luar negeri dan dalam negeri Setya Novanto akan menjurus pada kondisi mrotoli dan mreteli sedikit demi sedikit. Berjatuhan akibat ulah diri sendiri. Rontok sebelum jatuh tempo akibat akumulasi gaya politik “teganya, teganya, teganya”. Asal jangan “gugur” satu penyelenggara negara, sejuta pengganti telah antri dan menanti.

Jokowi faham betul akan makna peribahasa “becik ketitik, olo ketoro”. Berlaku di kawanan parpolis KIH maupun kawanan parpolis KMP, yaitu yang jahat akan terlihat di awal cerita, di babak pertama sampai yang jahat akan terungkap di akhir cerita, di babak penutup atau bahkan setelah ganti periode.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar