Halaman

Selasa, 31 Oktober 2017

Rokok, Murah Efek Dominonya Tidak Murah



Rokok, Murah Efek Dominonya Tidak Murah

Rokok memang tidak hanya menyesuaikan diri dengan selera mulut si perokok, tetapi juga memperdulikan nasib isi kantong pembeli. Bisa dibeli aceran per batang, di mana saja, kapan saja. Rakyat yang belum bekerja pun bisa membelinya dengan tenang, tanpa sembunyi-sembunyi. Gaya menghisapnya pun tidak malu-malu kucing, sudah tampak ahli, melebihi usianya.

Asumsi pemerintah sangat sederhana, simpel dan masuk akal. Tiap tahun selalu terjadi regenerasi perokok anak. Tidak perlu membuat UU dengan pasal melarang anak merokok. Kepedulian dan kebijakan pemerintah dengan tidak perlu membentuk detasemen khusus anti perokok anak.

Pemerintah memilih langkah bijak, serahkan perokok anak kepada ahlinya. Anak tidak sekedar korban iklan, korban pariwara. Kondisi keluarga yang demokratis. Lingkungan dan teman satu level, semakin membuka peluang dan akses ke rokok. Di pihak lain, industri rokok sangat proaktif, provoaktif, atraktif.

Rokok sebagai industri skala nasional, otomatis mengalahkan aspek kesehatan dan norma sosial. Perokok pasif dianggap salah sendiri tidak bisa hidup dalam lingkungan yang serba bebas. Kebebasan anak manusia mengekspreasikan jati diri, citra  tak bisa diganggu gugat. Tidak bisa ditangkap basah walau dengan bukti, diadukan atau dipidana. Kalau perlu disalurkan secara resmi dan pemerintah wajib memfasilitasinya. [HaèN]

negara hadir di belakang sang penista agama



negara hadir di belakang sang penista agama

Kisah dengan judul di atas, bukan terjadi di dunia wayang purwa, bukan pula sebagai kejadian luar biasa di zaman batu. Minimal hanya rekayasa, hasil daya imajinasi fiktif penulis.

Karena sejarah manusia, umat manusia, kemanusiaan seolah selalu berulang dengan lebih mantap, maka olahkata ini seolah mirip dengan kejadian sesungguhnya. Tak perlu disangkal dengan berbagai lapis pasal.

Jadi sangat munhgkin kandungan olahkata ini mirip dengan kejadian yang pernah ada di zaman batu. Yang mana dimana di zaman batu, memang belum ada yang namanya pemerintahan di suatu lingkungan peradaban saat itu.

Namanya kumpulan manusia yang langsung hidup di alam, berdampingan dengan makhluk lainnya dalam satu habitat besar tanpa batas administrasi. Agar wibawa penguasa lokal tidak terusik oleh persaingan antar kelompok manusia batu, maka serta merta sang penguasa memang berkepala batu.

Zaman batu, jelas masyarakat masih menyembah batu. Entah dinamisme atau animism. Penulis sejarah tak sempat menyebutkannya. Agama langit memang belum sampai ke kawasan entah berantah tersebut. Mungkin karena suasana masih kondusif, adem ayem, tata tentrem. Masih terjadi peradaban yang memang belum ada tolok ukurnya.

Karena belum ada bentuk agama atau kepercayaan akhirnya “pemerintah” saat itu menjadikan hukum siapa kuat, kaya, kuasa yang akan menentukan nasib bangsa dan negara. Katakan, menurut ki dalang Watonobo, politik menjadi agama yang dijunjung tinggi tampa perlu mikir. Laksanakan ya laksanakan.

Jadi, penguasa sangat menjunjung tinggi pihak yang mampu mengotak-atik kemampanan rakyat saat itu. Memang penguasa tidak butuh rakyat, mereka mengandalkan tangan lain untuk mengatur lalu lintas politik dalam negeri.

Penguasa saat itu mengira, jika ada tindak menistakan agama, dianggap sebagai pahlawan yang membela wibawa negara. [HaèN]

pasal intimidasi vs supremasi separatis



pasal intimidasi vs supremasi separatis

Undang-undang (UU) di NKRI memang produk politik kesepakatan antara DPR dengan pemerintah atau keadaan khusus lainnya. Sebagai produk politik tentu tergantung dari jiwa besar pihak pengusul sampai juru masaknya.

Soal bahan baku bakal calon UU, bisa didapat di kebun Nusantara. Comot sana comot sini. Bagi yang sedang belajar hukum, dapat jiplak sana jiplak sini. Adegan copas, sah-sah saja. Termasuk menerima “barang jadi” yang tinggal dipoles.

Fungsi legislasi DPR tergantung kebijakan partai. Terbuka adanya pesanan atau tepatnya ada pengaruh dari lalu lintas ekonomi lokal, nasional maupun internasional.

Pasal hukum seolah ada yang seperti menggigit padahal di UU dengan substansi yang tak jauh beda, daya gigitnya biasa-biasanya saja. Namanya manusia, apalagi mereka berjuang terikat oleh norma waktu dari kontrak politik.

Tidak hanya penjaja goreng tahu bulat dadakan, penguasa pun bisa menyajikan UU dadakan. Sebagai langkah antisipasi yang sarat antipasti, alergi terhadap gerakan rakyat yang mengkrirtisinya.

Ketika lapangan kerja akibat pembangunan nasional butuh waktu lama, maka ada anak bangsa membuka peluang usaha jasa angkutan manusia dan/atau barang yang tidak konvensional, malah dianggap bak gerakan separatis memisahkan diri dari sistem transportasi yang disediakan oleh pemerintah.

Separatis secara politik sudah membudaya liwat dinasti politik. Modus ini dengan nyata dan terang benderang telah menampilkan pemerintah bayangan.

Cerita lain, ada dukun ahli pengganda uang bisa dijerat karena pasal lain. Bukan karena “keahliannya”.

Jadi kalau pemerintah merasa jadi korban keadaan, maka dengan sigap pemerintah tanggap. Membuat langkah dan gerakan nyata. Beda kalau yang jadi korban adalah rakyat biasa, yang belum mempunyai KTP-e, dimungkinkan pemerintah adem ayem. Paling-paling hangat-hangat tahi ayam.

Ketika rasa persatuan dan kesatuan bangsa digoyang oleh tindak penistaan agama, serta merta negara hadir di belakang sang penista. [HaèN]

Senin, 30 Oktober 2017

negara hadir vs rakyat tersingkir vs wakil rakyat mangkir



negara hadir vs rakyat tersingkir vs wakil rakyat mangkir

Kausalitas, hukum sebab akibat, asas timbal balik menjadi hak wajar di industri politik Nusantara. Didukung peribahasa “ada asap ada api”, “siapa menabur benih akan memetik hasilnya”, “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”, dan masih banyak lagi.

Tak ada hubungannya dengan penista agama, malah jadi pahlawan bagi habitatnya. Mendapat dukungan nyata dari penguasa atau bagian dari skenario, konspirasi dari negara paling bersahabat. Kesampingkan dulu fakta ini. Walau bisa sebagai penguat tulisan.

Dinasti politik Nusantara sudah dibilang komplit, lengkap dan kurang apa lagi. Bukan dari bagian KKN yaitu yang menganut paham Népotisme. Memang sudah karakter, watak dasar oknum pemain, pegiat, penggila, pelaku, petugas partai. Mulai oknum ketua umum sampai bolo dupak atau rélawan.

Jika dilacak secara seksama dan barangsiapa tidak percaya hasilnya, memang buka paksaan. Rahasia umum menjadi menu umum. Saking umumnya, khalayak umum sudah tidak peduli jika ada kejadian kenegaraan semacam blusukan oleh seorang kepala negara, dianggap umum.

Anomali blusukan untuk mengimbangi kebijakan pemerintah yang katanya menterjemahkan keinginan, kebutuhan, kepentingan rakyat. Penduduk yang status sosial ekonomi diilustrasikan kedalam paramida yang terbagi 3 lapis, terletak di lapis bagian bawah yang menjadi obyek pemerintah.

Hebatnya sistem pemerintahan periode 2014-2019 yaitu secara de facto dan de jure muncul tokoh dengan segala tindak tanduk bertajuk presiden senior, adalagi punggawa istana bergaya presiden bayangan. Terdeteksi adanya sosok dengan penampilan sebagai tangan kanan, juru aman, tukang jaga fisik presiden.

Sistem keseimbangan antar penyelenggara negara tak berlaku. Antara eksekutif dengan legislatif suka-suka. Pihak lain, isi perut yudikatif sudah ada kesepakatan, sehingga diam saja tentu kebagian. Koalisi partai pendukung pemerintah hanya berlaku di pusat. Di provinsi maupun kabupaten/kota, biaya politik yang mementukan kesetiakawanan koalisi pro-Jokowi plus/minus JK.

Namanya wakil rakyat di tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi sampai tingkat nasional karena memang tulen pesuruh partai. Tak perlu diragukan lagi asas patuh, loyal, taat, setia kepada kebijakan partai. Apalagi oknum ketua umum sebuah partai politik menyandang hak prerogatif. Daya cengkeramnya pakem, untuk mengimbangi ketumpulan, kemandulan yang lain.

Tak salah lagi kawan, hubungan antar penyelenggara negara ditentukan warna politiknya. Bukan jaminan, kendati satu partai akan terjadi kolaborasi. Karena masing-masing punya kepentingan yang tidak diganggu gugat. Dua kubu di tubuh sebuah partai politik, bukan hal tabu, nista, hina atau makar. [HaèN]