Dilema
Komersialisasi Pendidikan, Plagiator vs Duplikator
Pertanyaan mendasar tentang sekitar “bola panas” ilmu
adalah, i) bagaimana cara menempuh pendidikannya dan/atau ii) untuk apa ilmu
itu. Di dunia militer sudah dikenal istilah umum “the man behind the gun”.
Jadi, bagaimana hubungan ilmu dengan manusia yang
berilmu, tergantung aspek atau sudut pandangnya. Dua pertanyaan yang nadanya
mirip, namun beda makna. Bandingkan secara analog, antara : siapa yang menjadi
presiden? dengan siapa presidennya?. Walau jawabannya sama, terasa ada
perbedaan yang menyengat.
Karena ilmu sifatnya jamak, multi disiplin, tidak
bersifat tunggal dan pasti.
Di panggung politik, bisa juga muncul dua pertanyaan yang
saling berkait, mirip dengan “bola panas”ilmu di atas.
Tepatnya, di pesta demokrasi lima tahunan. Pertanyaan i)
bagaimana cara mendapatkan kekuasaan, jabatan konstitusional tsb, lanjut dengan
pertanyaan ii) dimanfaatkan untuk apa saja kekuasaan, jabatan konstitusional
tsb.
Ilmu melekat pada diri seseorang yang tak tergantung
waktu pakai atau periode jabatan. Menjadi milik pribadi, bukan milik dinas atau
fasilitas pemerintah bak senjata di tangan militer.
Jika suatu ilmu disebut bermanfaat karena mampu
mendongkrak siapa pemegang ilmu atau gelar akademis tersebut, maka terjadi
gagal paham. Semakin gagal paham jika terdapat faktor kemudahan untuk meraih
gelar, faktor percepatan dalam menempuh
pendidikan. Tak salah jika pendidikan formal itu butuh biaya yang mencekik
leher, butuh waktu yang menyita usia, butuh enerji yang menguras jiwa raga.
Tak salah, atau bias paham, jika pemilik ilmu mampu memanfaatkan
ilmunya secara multiguna. Terlebih jika sang anak didik memaknai hakikat berguru
jangan hanya pada satu guru.
Jika sekarang ini kita memasuki dimensi kehidupan bak
pepatah “mau hasilnya tapi tak mau berkeringat”, maka segala cara, metode,
modus menjadi halal, legal, sah secara
hukum, konstitusional serta tidak merugikan negara.[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar