Halaman

Sabtu, 21 Oktober 2017

Jauhkan Modul Penistaan Agama Dari Jangkauan Anak Bangsa



Jauhkan Modul Penistaan Agama Dari Jangkauan Anak Bangsa

Generasi anak bangsa yang lahir sejak reformasi bergulir dari puncak sukses 21 Mei 1998, mengalami kontaminasi secara sistematis, konstitusional akibat kondisi peradaban berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.Diperparah dengan kondisi kejiwaan penguasa memasuki lampu kuning.

NKRI pernah dilanda deman, wacana tindak dan perilaku LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) yang belum terjangkau pasal hukum Indonesia. Pelaku LGBT sebagai individu masih bisa bebas aktif dan sesuai HAM disejajarkan dengan warga negara lainnya. Bahkan dengan modal LGBT-nya menjadi nilai jual, daya tarik pemirsa, bisa tampil atraktif, provokatif di industri hiburan, banyolan, konyolan  media TV. Peringkat media TV acap tergantung pada acara, atraksi, adegan yang melibatkan kawanan berperilaku LGBT.

Bayangkan, 24 jam dalam sehari semalam, tayangan media kaca, diperkuat ujaran penistaan tayang bebas di media massa dengan variannya, mau tak mau anak dalam kandungan sudah terkontaminasi secara sistetamtis.

Bangsa Indonesia semakin kehilangan panutan formal. Yang tampil, antara penyelenggara negara yang terhormat, bermartabat dengan penjahat klas kampung tidak ada bedanya. Sama-sama umbar kebencian dan kebodohan yang mendalam. Kalau pak RT bisa jadi tokoh dalam sinetron, film animasi atau bentuk tayangan lain,  dengan keluguan, kekonyolan, maka jangan heran di Indonesia ini, yang mantan pun bisa bertingkah aneh-aneh. Apalagi kalau merasa kursinya direbut lawan politik. Merasa dizalimi pihak lain yang pernah menjadi pembantunya.

Penista agama, bukan orang luar. Malah orang dalam, pejabat pula. Bagian utama dari penguasa nasional. Memang, profesi penista agama harus dilakukan oleh ahlinya. Minimal di bawah pengawasan ahlinya. Dibutuhkan jam terbang yang di atas kawanan ahli fitnah dunia.

Penisataan agama memenuhi syarat kekonyolan dari dua sisi. Sisi tindakan dan sisi orangnya. Tak heran, bagi golongan orang dan/atau manusia yang hidup di NKRI, sang penista agama bak pahlawan.

Periode 2014-2019, apakah sebagai titik balik rezim reformasi. Sejarah kemanusiaan, peradaban dan nasionalisme kebangsaan, sempat mengandung sejarah hitam atau goresan tinta merah. Pelakunya selain anak bangsa yang serakah, rakus, haus kekuasaan; dan pemain lokal yang ambisi, angan-angan, fantasi politiknya sudah overdosis, serta diperkuat dengan pemain asing atau malah kontrak “kesebelasan” asing.

Pemain asing atau yang karena kelahiran di Indonesia, turut menyemarakkan jalannya demokrasi. mereka sebagai korporasi yang ahli mengelola konflik. Piawai dalam memperkeruh suasana dengan gerakan aksi nyata menabur dan menebar fitnah dunia.

Putera-puteri terbaik partai politik, dininabobokan dengan rayuan bahwa untuk merebut kekuasaan secara konstitusional bisa memakai tangan dan kekuatan asing. Pokoknya dudu manis tinggal terima bersih. Namun barter politik ini tak terlunasi walau harus jual negara.

Kalau memakai asumsi historis, ternyata Orde Reformasi bukan kebetulan sebagai  akumulasi Orde Lama ditambah Orde Baru.

Kalau melihat ke depan, masa lalu bukan beban, memang generasi muda sangat diharapkan untuk tampil total,  turun gunung utawa mentas dari kawah Candradimuka.

Celaka, KKN yang tampil dengan format konstitusional, semangkin mengkontaminasi satu generasi. Kita wajib bersyukur, generasi muda masih banyak yang bisa membedakan mana kanan, mana kiri. Generasi muda yang kita harapkan perannya masih bisa membedakan mana yang haram dan mana yang halal, tidak mencampuradukkan.

Tinggal generasi tua, yang harus lilo legowo ngilo gitoké déwé.

Gempuran dan tantangan generasi muda dari luar, yang tak kalah tanpa pandang bulunya, adalah erosi budaya akibat pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sebelum waktunya. Atau ada yang melebihi kapasitas diri. Melampaui daya dukung dan daya tamping karakter diri.

Terbukti, masuk periode pasca SBY, korporasi yang menguasai politik TIK, menjadi pengganda berita bohong. Kawanan perekayasa informasi menjadi andala pihak tertentu. Akhirnya generasi muda menjadi bulanan-bulanan ambisi, fantasi politik segelintir elit bangsa. Negara tidak hanya dirugikan secara Rp tetapi negara terjual murah. Akibat barter politik dengan pihak investor politik dari negara paling bersahabat.

Pasca era mégatéga, pulihkan mental generasi pewaris masa depan.

Benang merah antara budaya peninggalan penjajah Belanda dengan budaya yang masih dilestarikan secara politis oleh anak bangsa adalah budaya 5M (baca mo limo). Masyarakat Jawa memahami dampak, efek, ekses dari perbuatan 5M. Satu M saja sudah bikin puyeng, bisa rusak satu generasi, apalagi kalau 5M  terjadi secara formal, legal dan konstitusional. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar