Jauhkan
Modul Penistaan Agama Dari Jangkauan Anak Bangsa
Generasi anak bangsa yang lahir
sejak reformasi bergulir dari puncak sukses 21 Mei 1998, mengalami kontaminasi
secara sistematis, konstitusional akibat kondisi peradaban berbangsa, bernegara
dan bermasyarakat.Diperparah dengan kondisi kejiwaan penguasa memasuki lampu kuning.
NKRI pernah dilanda deman, wacana tindak
dan perilaku LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) yang belum
terjangkau pasal hukum Indonesia. Pelaku LGBT sebagai individu masih bisa bebas
aktif dan sesuai HAM disejajarkan dengan warga negara lainnya. Bahkan dengan
modal LGBT-nya menjadi nilai jual, daya tarik pemirsa, bisa tampil atraktif,
provokatif di industri hiburan, banyolan, konyolan media TV. Peringkat media TV acap tergantung
pada acara, atraksi, adegan yang melibatkan kawanan berperilaku LGBT.
Bayangkan, 24 jam dalam sehari
semalam, tayangan media kaca, diperkuat ujaran penistaan tayang bebas di media
massa dengan variannya, mau tak mau anak dalam kandungan sudah terkontaminasi
secara sistetamtis.
Bangsa Indonesia semakin kehilangan
panutan formal. Yang tampil, antara penyelenggara negara yang terhormat,
bermartabat dengan penjahat klas kampung tidak ada bedanya. Sama-sama umbar
kebencian dan kebodohan yang mendalam. Kalau pak RT bisa jadi tokoh dalam
sinetron, film animasi atau bentuk tayangan lain, dengan keluguan, kekonyolan, maka jangan
heran di Indonesia ini, yang mantan pun bisa bertingkah aneh-aneh. Apalagi
kalau merasa kursinya direbut lawan politik. Merasa dizalimi pihak lain yang
pernah menjadi pembantunya.
Penista agama, bukan orang luar.
Malah orang dalam, pejabat pula. Bagian utama dari penguasa nasional. Memang,
profesi penista agama harus dilakukan oleh ahlinya. Minimal di bawah pengawasan
ahlinya. Dibutuhkan jam terbang yang di atas kawanan ahli fitnah dunia.
Penisataan agama memenuhi syarat
kekonyolan dari dua sisi. Sisi tindakan dan sisi orangnya. Tak heran, bagi
golongan orang dan/atau manusia yang hidup di NKRI, sang penista agama bak
pahlawan.
Periode 2014-2019, apakah sebagai
titik balik rezim reformasi. Sejarah kemanusiaan, peradaban dan nasionalisme kebangsaan,
sempat mengandung sejarah hitam atau goresan tinta merah. Pelakunya selain anak
bangsa yang serakah, rakus, haus kekuasaan; dan pemain lokal yang ambisi,
angan-angan, fantasi politiknya sudah overdosis, serta diperkuat dengan pemain
asing atau malah kontrak “kesebelasan” asing.
Pemain asing atau yang karena kelahiran di Indonesia,
turut menyemarakkan jalannya demokrasi. mereka sebagai korporasi yang ahli
mengelola konflik. Piawai dalam memperkeruh suasana dengan gerakan aksi nyata
menabur dan menebar fitnah dunia.
Putera-puteri terbaik partai
politik, dininabobokan dengan rayuan bahwa untuk merebut kekuasaan secara
konstitusional bisa memakai tangan dan kekuatan asing. Pokoknya dudu manis
tinggal terima bersih. Namun barter politik ini tak terlunasi walau harus jual
negara.
Kalau memakai asumsi historis,
ternyata Orde Reformasi bukan kebetulan sebagai
akumulasi Orde Lama ditambah Orde Baru.
Kalau melihat ke depan, masa lalu
bukan beban, memang generasi muda sangat diharapkan untuk tampil total, turun gunung utawa mentas dari kawah
Candradimuka.
Celaka, KKN yang tampil dengan
format konstitusional, semangkin mengkontaminasi satu generasi. Kita wajib
bersyukur, generasi muda masih banyak yang bisa membedakan mana kanan, mana
kiri. Generasi muda yang kita harapkan perannya masih bisa membedakan mana yang
haram dan mana yang halal, tidak mencampuradukkan.
Tinggal generasi tua, yang harus lilo legowo ngilo gitoké
déwé.
Gempuran dan tantangan generasi muda
dari luar, yang tak kalah tanpa pandang bulunya, adalah erosi budaya akibat
pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sebelum waktunya. Atau ada
yang melebihi kapasitas diri. Melampaui daya dukung dan daya tamping karakter
diri.
Terbukti, masuk periode pasca SBY,
korporasi yang menguasai politik TIK, menjadi pengganda berita bohong. Kawanan
perekayasa informasi menjadi andala pihak tertentu. Akhirnya generasi muda
menjadi bulanan-bulanan ambisi, fantasi politik segelintir elit bangsa. Negara
tidak hanya dirugikan secara Rp tetapi negara terjual murah. Akibat barter
politik dengan pihak investor politik dari negara paling bersahabat.
Pasca era mégatéga, pulihkan mental
generasi pewaris masa depan.
Benang merah antara budaya
peninggalan penjajah Belanda dengan budaya yang masih dilestarikan secara
politis oleh anak bangsa adalah budaya 5M (baca mo limo). Masyarakat Jawa
memahami dampak, efek, ekses dari perbuatan 5M. Satu M saja sudah bikin puyeng,
bisa rusak satu generasi, apalagi kalau 5M
terjadi secara formal, legal dan konstitusional. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar