ironis
binti miris, generasi pribumi siap menjadi budak di negeri sendiri
Efek domino dinasti politik sudah
dirasakan, dan bukan merupakan kesenjangan antara modus di pulau Jawa dengan
pola operasional di luar pulau Jawa.
Pemerintah menganggap hal yang
wajar, sebagai dinamika bangsa yang sedang belajar politik. Munculnya pemerintah
bayangan, tidak masalah. Asal jangan sampai mewabah gerakan separatisme berbasis
non-politik.
Penguasa lebih mengutamakan
kedaulatan politik dalam negeri – yang tak ada hubungannya dengan kemandirian
politik luar negeri – daripada mewujudkan asas adil, makmur dan sejahtera bagi
semua lapisan masyarakat.
Jangan salahkan jika generasi anak
bangsa yang lahir sejak reformasi bergulir dari puncak sukses 21 Mei 1998, terkontaminasi
secara sistematis, konstitusional akibat kondisi peradaban berbangsa, bernegara
dan bermasyarakat. Akibat sistem negara multipartai yang melahirkan serba
multi.
Pasar bebas selain menghasilkan
aliran ideologi bebas, juga menghasilkan hasil pampasan ideologi ikutan yang
mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi yang berkhasiat untuk ramuan obat berani
malu dan obat pemoles tahan lama.
Ibu Pertiwi sebagai orangtua tunggal
pantang mengeluh, walau peluh mengucur deras seolah tiada tuntas. Ada saja
rengekan anak bangsa. Kebanyakan wadul, pradul, tumbak cucukan sekitar takhta,
harta, jelita. Seputar berhala reformasi 3K (kaya, kuat, kuasa).
Maklumat 3 November 1945 atau
Maklumat No. X ini dikeluarkan pada tanggal 3 November 1945 oleh Wakil Presiden
Mohammad Hatta di Jakarta, menjadi cikal bakal Indonesia menjadi negara
multipartai. Dengan maklumat ini kemudian berdiri berbagai partai politik
(parpol), baik yang meneruskan parpol yang telah ada sejak jaman penjajahan
Belanda dan jaman pendudukan Jepang, maupun parpol yang baru akan berdiri.
Faktor kemajemukan masyarakat yang homogen tetapi
heterogen sekaligus yang heterogen tetapi homogen, menjadi pertimbangan
utama keniscayaan, tidak boleh tidak,
bagi penerapan sistem multipartai di Indonesia. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk memilih
anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946.
Kalau
kemudian ternyata pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh
tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab. Tetapi, berbeda dengan tujuan
yang dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu 1955 dilakukan dua kali. Yang pertama,
pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15
Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Dalam Maklumat
X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan diadakan Januari 1946 adalah untuk
memilih angota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante.
Indonesia dalam mewujudkan
pemerataan pembangunan dan berkeadilan, lewat pembangunan jangka menengah atau
lima tahunan, memakai istilah atau batasan “kelompok masyarakat yang kurang
beruntung”. Apakah batasan ini sebagai kesimpulan dari berbagai fakta lapangan
yang jika dipakai apa adanya menimbulkan kesan negatif di mata dunia. Sehingga
perlu mengalami proses penghalusan bahasa atau eufimisme.
Justru frasa tadi bisa menimbulkan
multitafsir jika ditarik mundur, hitung mundur untuk mengetahui kondisi
sebenarnya yang terjadi. Namun, ternyata masih ada lagi penerapan frasa “yang
kurang beruntung” yaitu “anak kurang beruntung” dan “daerah yang kurang
beruntung”.
Pemerintah
tidak salah jika memposisikan rakyat kebanyakan sebagai permanent underclass.
Karena populasi dan sebaran penduduk, akhirnya pemerintah seolah fokus,
mengutamakan sampel penduduk yang masuk kategori temporary highclass.
Kebijakan
pemerintah yang memuliakan kartél,
mengutamakan korporasi, menganakemaskan konglomerat, mengelu-elukan taipan
memang tak salah dan begitulah pasal timbal baliknya. Karena dampak politik,
efek domino politik transaksional, politik jual beli suara sampai politik balas
jasa, balas budi bersamaan dengan politik balas dendam di pesta demokrasi 2014.
[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar