Halaman

Selasa, 24 Oktober 2017

ironis binti miris, generasi pribumi siap menjadi budak di negeri sendiri



ironis binti miris, generasi pribumi siap menjadi budak di negeri sendiri

Efek domino dinasti politik sudah dirasakan, dan bukan merupakan kesenjangan antara modus di pulau Jawa dengan pola operasional di luar pulau Jawa.

Pemerintah menganggap hal yang wajar, sebagai dinamika bangsa yang sedang belajar politik. Munculnya pemerintah bayangan, tidak masalah. Asal jangan sampai mewabah gerakan separatisme berbasis non-politik.

Penguasa lebih mengutamakan kedaulatan politik dalam negeri – yang tak ada hubungannya dengan kemandirian politik luar negeri – daripada mewujudkan asas adil, makmur dan sejahtera bagi semua lapisan masyarakat.

Jangan salahkan jika generasi anak bangsa yang lahir sejak reformasi bergulir dari puncak sukses 21 Mei 1998, terkontaminasi secara sistematis, konstitusional akibat kondisi peradaban berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Akibat sistem negara multipartai yang melahirkan serba multi.

Pasar bebas selain menghasilkan aliran ideologi bebas, juga menghasilkan hasil pampasan ideologi ikutan yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi yang berkhasiat untuk ramuan obat berani malu dan obat pemoles tahan lama.

Ibu Pertiwi sebagai orangtua tunggal pantang mengeluh, walau peluh mengucur deras seolah tiada tuntas. Ada saja rengekan anak bangsa. Kebanyakan wadul, pradul, tumbak cucukan sekitar takhta, harta, jelita. Seputar berhala reformasi 3K (kaya, kuat, kuasa).
Maklumat 3 November 1945 atau Maklumat No. X ini dikeluarkan pada tanggal 3 November 1945 oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta di Jakarta, menjadi cikal bakal Indonesia menjadi negara multipartai. Dengan maklumat ini kemudian berdiri berbagai partai politik (parpol), baik yang meneruskan parpol yang telah ada sejak jaman penjajahan Belanda dan jaman pendudukan Jepang, maupun parpol yang baru akan berdiri.

Faktor kemajemukan masyarakat yang homogen tetapi heterogen sekaligus yang heterogen tetapi homogen, menjadi pertimbangan utama  keniscayaan, tidak boleh tidak, bagi penerapan sistem multipartai di Indonesia. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946.

Kalau kemudian ternyata pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab. Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu 1955 dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante.

Indonesia dalam mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan, lewat pembangunan jangka menengah atau lima tahunan, memakai istilah atau batasan “kelompok masyarakat yang kurang beruntung”. Apakah batasan ini sebagai kesimpulan dari berbagai fakta lapangan yang jika dipakai apa adanya menimbulkan kesan negatif di mata dunia. Sehingga perlu mengalami proses penghalusan bahasa atau eufimisme.

Justru frasa tadi bisa menimbulkan multitafsir jika ditarik mundur, hitung mundur untuk mengetahui kondisi sebenarnya yang terjadi. Namun, ternyata masih ada lagi penerapan frasa “yang kurang beruntung” yaitu  anak kurang beruntung” dan “daerah yang kurang beruntung”.

Pemerintah tidak salah jika memposisikan rakyat kebanyakan sebagai permanent underclass. Karena populasi dan sebaran penduduk, akhirnya pemerintah seolah fokus, mengutamakan sampel penduduk yang masuk kategori temporary highclass.

Kebijakan pemerintah yang  memuliakan kartél, mengutamakan korporasi, menganakemaskan konglomerat, mengelu-elukan taipan memang tak salah dan begitulah pasal timbal baliknya. Karena dampak politik, efek domino politik transaksional, politik jual beli suara sampai politik balas jasa, balas budi bersamaan dengan politik balas dendam di pesta demokrasi 2014. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar