jika
politikus tanpa pakem
Bagi masyarakat Jawa yang Jawa, akan
memaknai lema “pakem” dengan berbagai versi. Pakem yang dimiliki Dalang sebagai
aturan main, tentu tak sama substansinya dengan pakem untuk manusia politik.
Yang membedakan mungkin bukan pada
substansi, muatan yang diatur. Tetapi pada masa pakai, masa berlakunya sebuah
pakem.
Pakem untuk manusia politik, selain
bersifat dinamis, tidak bisa digeneralisir. Ada pakem harian. Yang utama adalah
pakem “sendiko dawuh”. Artinya siap melaksanakan kebijakan partai tanpa
menimbang atau akan dinalar dengan otak kanan atau otak kiri.
Dalang, katakan dalang wayang kulit,
jika tidak manggung, tetap akan dipanggil ki dalang. Tanpa atribut,
busana kebesaran dalang, manusianya tetap eksis. Diluar jam kerja, jam manggung
malah bisa ditanggap di berbagai acara. Mungkin karena makna dalang adalah ngudal piwulang.
Sejatinya yang disebut manusia
politik, adalah miminal sebagai anggota aktif sebuah partai politik. Jika ybs
tidak ada acara partai, kembali ke posisi sebagai rakyat pada umumnya. Kalau ybs
punya ilmu atau keahlian semacam ngudal piwulang maka tak perlu risau dengan
jati diri, pesona diri dan eksistensi diri.
Bukan berarti jika seorang manusia
politik keluar dari habitatnya, bak manusia tak ada apa-apanya. Jangan diartikan
bak wayang kulit tanpa gapit. Bukan.
Jika ikhwal ini dibahas tak akan ada
ujung pangkalnya.
Tapi justru sebagai pengingat bagi
kita. Andai manusia politik mengurus di luar habitatnya, maka akan dipastikan
akan menimbulkan bencana. Kendati ada manusia politik, seklas ketua umum, mampu
menjadi presiden, kepala negara, kepala pemerintahan, yang mana dimana total
pendekatan kekuasaan, kekuatan, kekayaan maka ya sebatas itu kawanannya akan
mendukung. Ganti musim, ganti pimpinan
maka sang loyalis akan putar haluan.
Hukum keseimbangan di industri politik
sedemikan dinamis, tak bisa diprediksi arah tujuan kebijakan partai. Apalagi lagi
di internal partai, banyak yang merasa bisa. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar