Halaman

Senin, 30 Oktober 2017

negara hadir vs rakyat tersingkir vs wakil rakyat mangkir



negara hadir vs rakyat tersingkir vs wakil rakyat mangkir

Kausalitas, hukum sebab akibat, asas timbal balik menjadi hak wajar di industri politik Nusantara. Didukung peribahasa “ada asap ada api”, “siapa menabur benih akan memetik hasilnya”, “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”, dan masih banyak lagi.

Tak ada hubungannya dengan penista agama, malah jadi pahlawan bagi habitatnya. Mendapat dukungan nyata dari penguasa atau bagian dari skenario, konspirasi dari negara paling bersahabat. Kesampingkan dulu fakta ini. Walau bisa sebagai penguat tulisan.

Dinasti politik Nusantara sudah dibilang komplit, lengkap dan kurang apa lagi. Bukan dari bagian KKN yaitu yang menganut paham Népotisme. Memang sudah karakter, watak dasar oknum pemain, pegiat, penggila, pelaku, petugas partai. Mulai oknum ketua umum sampai bolo dupak atau rélawan.

Jika dilacak secara seksama dan barangsiapa tidak percaya hasilnya, memang buka paksaan. Rahasia umum menjadi menu umum. Saking umumnya, khalayak umum sudah tidak peduli jika ada kejadian kenegaraan semacam blusukan oleh seorang kepala negara, dianggap umum.

Anomali blusukan untuk mengimbangi kebijakan pemerintah yang katanya menterjemahkan keinginan, kebutuhan, kepentingan rakyat. Penduduk yang status sosial ekonomi diilustrasikan kedalam paramida yang terbagi 3 lapis, terletak di lapis bagian bawah yang menjadi obyek pemerintah.

Hebatnya sistem pemerintahan periode 2014-2019 yaitu secara de facto dan de jure muncul tokoh dengan segala tindak tanduk bertajuk presiden senior, adalagi punggawa istana bergaya presiden bayangan. Terdeteksi adanya sosok dengan penampilan sebagai tangan kanan, juru aman, tukang jaga fisik presiden.

Sistem keseimbangan antar penyelenggara negara tak berlaku. Antara eksekutif dengan legislatif suka-suka. Pihak lain, isi perut yudikatif sudah ada kesepakatan, sehingga diam saja tentu kebagian. Koalisi partai pendukung pemerintah hanya berlaku di pusat. Di provinsi maupun kabupaten/kota, biaya politik yang mementukan kesetiakawanan koalisi pro-Jokowi plus/minus JK.

Namanya wakil rakyat di tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi sampai tingkat nasional karena memang tulen pesuruh partai. Tak perlu diragukan lagi asas patuh, loyal, taat, setia kepada kebijakan partai. Apalagi oknum ketua umum sebuah partai politik menyandang hak prerogatif. Daya cengkeramnya pakem, untuk mengimbangi ketumpulan, kemandulan yang lain.

Tak salah lagi kawan, hubungan antar penyelenggara negara ditentukan warna politiknya. Bukan jaminan, kendati satu partai akan terjadi kolaborasi. Karena masing-masing punya kepentingan yang tidak diganggu gugat. Dua kubu di tubuh sebuah partai politik, bukan hal tabu, nista, hina atau makar. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar