negara
hadir vs rakyat tersingkir vs wakil rakyat mangkir
Kausalitas, hukum sebab akibat, asas
timbal balik menjadi hak wajar di industri politik Nusantara. Didukung peribahasa
“ada asap ada api”, “siapa menabur benih akan memetik hasilnya”, “buah jatuh
tak jauh dari pohonnya”, dan masih banyak lagi.
Tak ada hubungannya dengan penista
agama, malah jadi pahlawan bagi habitatnya. Mendapat dukungan nyata dari
penguasa atau bagian dari skenario, konspirasi dari negara paling bersahabat. Kesampingkan
dulu fakta ini. Walau bisa sebagai penguat tulisan.
Dinasti politik Nusantara sudah
dibilang komplit, lengkap dan kurang apa lagi. Bukan dari bagian KKN yaitu yang
menganut paham Népotisme. Memang sudah karakter, watak dasar oknum pemain,
pegiat, penggila, pelaku, petugas partai. Mulai oknum ketua umum sampai bolo
dupak atau rélawan.
Jika dilacak secara seksama dan
barangsiapa tidak percaya hasilnya, memang buka paksaan. Rahasia umum menjadi
menu umum. Saking umumnya, khalayak umum sudah tidak peduli jika ada kejadian
kenegaraan semacam blusukan oleh seorang kepala negara, dianggap umum.
Anomali blusukan untuk mengimbangi
kebijakan pemerintah yang katanya menterjemahkan keinginan, kebutuhan,
kepentingan rakyat. Penduduk yang status sosial ekonomi diilustrasikan kedalam paramida
yang terbagi 3 lapis, terletak di lapis bagian bawah yang menjadi obyek
pemerintah.
Hebatnya sistem pemerintahan periode
2014-2019 yaitu secara de facto dan de jure muncul tokoh dengan
segala tindak tanduk bertajuk presiden senior, adalagi punggawa istana bergaya
presiden bayangan. Terdeteksi adanya sosok dengan penampilan sebagai tangan
kanan, juru aman, tukang jaga fisik presiden.
Sistem keseimbangan antar
penyelenggara negara tak berlaku. Antara eksekutif dengan legislatif suka-suka.
Pihak lain, isi perut yudikatif sudah ada kesepakatan, sehingga diam saja tentu
kebagian. Koalisi partai pendukung pemerintah hanya berlaku di pusat. Di provinsi
maupun kabupaten/kota, biaya politik yang mementukan kesetiakawanan koalisi
pro-Jokowi plus/minus JK.
Namanya wakil rakyat di tingkat
kabupaten/kota, tingkat provinsi sampai tingkat nasional karena memang tulen
pesuruh partai. Tak perlu diragukan lagi asas patuh, loyal, taat, setia kepada
kebijakan partai. Apalagi oknum ketua umum sebuah partai politik menyandang hak
prerogatif. Daya cengkeramnya pakem, untuk mengimbangi ketumpulan, kemandulan
yang lain.
Tak salah lagi kawan, hubungan antar
penyelenggara negara ditentukan warna politiknya. Bukan jaminan, kendati satu
partai akan terjadi kolaborasi. Karena masing-masing punya kepentingan yang
tidak diganggu gugat. Dua kubu di tubuh sebuah partai politik, bukan hal tabu,
nista, hina atau makar. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar