Halaman

Selasa, 31 Oktober 2017

negara hadir di belakang sang penista agama



negara hadir di belakang sang penista agama

Kisah dengan judul di atas, bukan terjadi di dunia wayang purwa, bukan pula sebagai kejadian luar biasa di zaman batu. Minimal hanya rekayasa, hasil daya imajinasi fiktif penulis.

Karena sejarah manusia, umat manusia, kemanusiaan seolah selalu berulang dengan lebih mantap, maka olahkata ini seolah mirip dengan kejadian sesungguhnya. Tak perlu disangkal dengan berbagai lapis pasal.

Jadi sangat munhgkin kandungan olahkata ini mirip dengan kejadian yang pernah ada di zaman batu. Yang mana dimana di zaman batu, memang belum ada yang namanya pemerintahan di suatu lingkungan peradaban saat itu.

Namanya kumpulan manusia yang langsung hidup di alam, berdampingan dengan makhluk lainnya dalam satu habitat besar tanpa batas administrasi. Agar wibawa penguasa lokal tidak terusik oleh persaingan antar kelompok manusia batu, maka serta merta sang penguasa memang berkepala batu.

Zaman batu, jelas masyarakat masih menyembah batu. Entah dinamisme atau animism. Penulis sejarah tak sempat menyebutkannya. Agama langit memang belum sampai ke kawasan entah berantah tersebut. Mungkin karena suasana masih kondusif, adem ayem, tata tentrem. Masih terjadi peradaban yang memang belum ada tolok ukurnya.

Karena belum ada bentuk agama atau kepercayaan akhirnya “pemerintah” saat itu menjadikan hukum siapa kuat, kaya, kuasa yang akan menentukan nasib bangsa dan negara. Katakan, menurut ki dalang Watonobo, politik menjadi agama yang dijunjung tinggi tampa perlu mikir. Laksanakan ya laksanakan.

Jadi, penguasa sangat menjunjung tinggi pihak yang mampu mengotak-atik kemampanan rakyat saat itu. Memang penguasa tidak butuh rakyat, mereka mengandalkan tangan lain untuk mengatur lalu lintas politik dalam negeri.

Penguasa saat itu mengira, jika ada tindak menistakan agama, dianggap sebagai pahlawan yang membela wibawa negara. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar