negara
hadir di belakang sang penista agama
Kisah dengan judul di atas, bukan
terjadi di dunia wayang purwa, bukan pula sebagai kejadian luar biasa di zaman
batu. Minimal hanya rekayasa, hasil daya imajinasi fiktif penulis.
Karena sejarah manusia, umat
manusia, kemanusiaan seolah selalu berulang dengan lebih mantap, maka olahkata
ini seolah mirip dengan kejadian sesungguhnya. Tak perlu disangkal dengan
berbagai lapis pasal.
Jadi sangat munhgkin kandungan
olahkata ini mirip dengan kejadian yang pernah ada di zaman batu. Yang mana
dimana di zaman batu, memang belum ada yang namanya pemerintahan di suatu
lingkungan peradaban saat itu.
Namanya kumpulan manusia yang
langsung hidup di alam, berdampingan dengan makhluk lainnya dalam satu habitat
besar tanpa batas administrasi. Agar wibawa penguasa lokal tidak terusik oleh
persaingan antar kelompok manusia batu, maka serta merta sang penguasa memang
berkepala batu.
Zaman batu, jelas masyarakat masih
menyembah batu. Entah dinamisme atau animism. Penulis sejarah tak sempat
menyebutkannya. Agama langit memang belum sampai ke kawasan entah berantah
tersebut. Mungkin karena suasana masih kondusif, adem ayem, tata tentrem. Masih
terjadi peradaban yang memang belum ada tolok ukurnya.
Karena belum ada bentuk agama atau
kepercayaan akhirnya “pemerintah” saat itu menjadikan hukum siapa kuat, kaya,
kuasa yang akan menentukan nasib bangsa dan negara. Katakan, menurut ki dalang
Watonobo, politik menjadi agama yang dijunjung tinggi tampa perlu mikir. Laksanakan
ya laksanakan.
Jadi, penguasa sangat menjunjung
tinggi pihak yang mampu mengotak-atik kemampanan rakyat saat itu. Memang penguasa
tidak butuh rakyat, mereka mengandalkan tangan lain untuk mengatur lalu lintas
politik dalam negeri.
Penguasa saat itu mengira, jika ada
tindak menistakan agama, dianggap sebagai pahlawan yang membela wibawa negara. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar