Dilema
Ijazah, Bukti Prestasi vs Bukti Prestise
Di NKRI, salah satu syarat ikut pemilu legislatif,
pilpres, pilkada sampai melamar pekerjaan, acap ada syarat : berpendidikan
paling rendah tamat sekolah pendidikan menengah dan/atau pendidikan tinggi.
Bahkan syarat ijazah PTN/PTS menjadi syarat utama melamar
pekerjaan. Ditambah dengan syarat nilai IPK, kemampuan berbahasa asing, dsb. Banyak
tuah, manfaat terukur bagi pemegang ijazah. Dampak pada status kepegawaian bagi
PNS/ASN. Dampak sosial di masyarakat yang mendongkrak status sosial.
Sejalan dengan kemanfaatan ijazah sebagai syarat wajib
administrasi, membuka peluang modus “jual beli ilmu”. Mulai dari STM (sekolah
tergantung murid) bisa mencetak ijazah formal, legal dan terdaftar sampai
tingkat pendidikan menengah. Pernah dikenal dengan sebutan ijazah aspal atau’aseli
tapi palsu’. Di samping pola kejar Paket
A, B sampai C.
Ironis binti miris, lembaga pendidikan tinggi pemerintah/swasta,
mempunyai kegaiatan produktif sampingan dengan menawarkan jasa mampu mencetak
ijazah S1. S2. S3 bahkan gelar Profesor dengan sistem paket hemat.
Seolah dengan status duniawi, menjadikan orang baru
merasa prcaya diri. Merasa punya harga diri. Apalagi jika semakin tinggi tarif “jual
beli ilmu” berbanding lurus dengan strata harga diri penikmatnya. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar