politik
santun vs politik berbalas pantun
Gampang saja pembaca yang budiman.
Mau tahu kadar dan isi otak manusia politik yang masih eksis di Nusantara.
Simak sekilas bagaimana sang oknum ketua umum atau anggota aktif yang masuk pejabat teras, wakil rakyat yang
gila hormat atau sekedar bonek.
Komen liwat media massa yang
dikuasainya, bisa tayang ulang ujaran lisan oknum ketum sebuah partai, atau
tayang ujaran tulis di running text. Tidak ada yang aneh, apalagi mau néko-néko.
Menghadapi tahun politik 2018 dengan
salah satu ciri ada manuver politik yang
membuat gerah, resah, gundah penguasa yang masih mengemban amanah atau
kepercayaan dari rakyat.
Antara gonjang-ganjing politik
dengan bahas, bedah, telaahnya oleh awak media massa berbayar, nyaris tak ada relevansinya. Dengan kata lain
bukannya membodohi pirsawan TV yang tak perlu membayat iuran, tetapi malah
pamer bego. Bego koq dipelihara, seloroh lawak jadul.
Ironis binti miris, sudah banyak
manusia politik yang berujar lisan tapi tak ada respon. Tidak ada pengaruhnya
bagi arus balik pemudik. Tidak memancing emosi awak media yang lebih peka
dengan penggandaan berita berbasis gosip nafas sétan. Tak ayal lagi, muncul
politik sétan. Beda kan dengan politik santun.
Mungkin, kata pak guru SD Inpres
zaman Orde Baru, bahwa bangsa yad suka plesétan-plesétan. Mereka, manusia
politik di periode 2014-2019, persétan dengan kondisi nyata NKRI. Kendati atau
ditengarai kepala negara gemar blusukan dan wakil rakyat keranjingan melakukan
aksi kunker ke mancanegara.
Terbukti atau nyata begitu adanya.
Namun yang kita saksikan sekarang ini, sedemikian itu adanya. Apa adanya. Mau
apa lagi! [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar