Halaman

Selasa, 10 Oktober 2017

politik santun vs politik berbalas pantun



politik santun vs politik berbalas pantun

Gampang saja pembaca yang budiman. Mau tahu kadar dan isi otak manusia politik yang masih eksis di Nusantara. Simak sekilas bagaimana sang oknum ketua umum atau anggota aktif yang masuk pejabat teras, wakil rakyat yang gila hormat atau sekedar bonek.

Komen liwat media massa yang dikuasainya, bisa tayang ulang ujaran lisan oknum ketum sebuah partai, atau tayang ujaran tulis di running text. Tidak ada yang aneh, apalagi mau néko-néko.

Menghadapi tahun politik 2018 dengan salah satu ciri ada manuver politik yang membuat gerah, resah, gundah penguasa yang masih mengemban amanah atau kepercayaan dari rakyat.

Antara gonjang-ganjing politik dengan bahas, bedah, telaahnya oleh awak media massa berbayar, nyaris tak ada relevansinya. Dengan kata lain bukannya membodohi pirsawan TV yang tak perlu membayat iuran, tetapi malah pamer bego. Bego koq dipelihara, seloroh lawak jadul.

Ironis binti miris, sudah banyak manusia politik yang berujar lisan tapi tak ada respon. Tidak ada pengaruhnya bagi arus balik pemudik. Tidak memancing emosi awak media yang lebih peka dengan penggandaan berita berbasis gosip nafas sétan. Tak ayal lagi, muncul politik sétan. Beda kan dengan politik santun.

Mungkin, kata pak guru SD Inpres zaman Orde Baru, bahwa bangsa yad suka plesétan-plesétan. Mereka, manusia politik di periode 2014-2019, persétan dengan kondisi nyata NKRI. Kendati atau ditengarai kepala negara gemar blusukan dan wakil rakyat keranjingan melakukan aksi kunker ke mancanegara.

Terbukti atau nyata begitu adanya. Namun yang kita saksikan sekarang ini, sedemikian itu adanya. Apa adanya. Mau apa lagi! [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar